Sedang Membaca
Cara Menjadi Muslim Kaffah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Cara Menjadi Muslim Kaffah

Biasanya, seseorang dapat dikatakan sebagai shaleh atau baik dalam beragama jika mampu mengerjakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Di dalam surat An-Nisa ayat 36 terdapat sepuluh perintah Allah yang apabila dikerjakan maka seseorang dapat dikategorikan sebagai shaleh. Inilah cara agar mampu menjadi seorang Muslim yang kaffah.

Namun, dari kesepuluh perintah Allah itu hanya satu yang berdimensi hablumminallah. Sementara sembilan yang lain, berkaitan dengan hablumminannas. Cara menjadi Muslim yang kaffah dalam surat An-Nisa ayat 36 ini berkedudukan sama karena merupakan perintah Allah.

Hal tersebut dijelaskan Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Provinsi DKI Jakarta KH Ali Sibromalisi dalam Pengajian Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT) bertema ‘Membangun Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial’, Senin (31/5).

“Artinya, jika kita ingin menjadi Muslim yang kaffah seperti perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208 (Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah). Caranya, terdapat di dalam surat An-Nisa ayat 36,” tutur Kiai Ali.

Menurutnya, saat ini banyak orang yang hanya mampu membangun keshalehan ritual tetapi gagal dalam membangun keshalehan sosial. Jika seperti itu yang terjadi maka keshalehan ritualnya akan sia-sia.

Perintah pertama dalam ayat tersebut adalah agar menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu apa pun. Soal ini, Kiai Ali yakin, banyak umat Islam yang sudah matang dalam bertauhid dan penyembahannya kepada Allah.

Baca juga:  Sajian Khusus: Sejarah Diturunkannya Syari’at

“Karena ketika shalat, kita baca inna shalati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil alamin. Kemudian kita tidak akan melakukan kemusyrikan. Karena kita tahu Allah akan mengampuni dosa-dosa kita kecuali dosa musyrik. Tapi ingat, ini baru satu,” ujarnya.

Setelah perintah yang berdimensi hablumminallah itu, Allah kemudian memerintahkan umat Islam agar berbuat baik atau berbakti kepada orang tua yakni bapak dan ibu. Ditegaskan bahwa ukuran keshalehan seseorang itu bukan hanya shalat tetapi juga baktinya kepada orang tua.

“Apakah kita sudah shaleh kalau dilihat dari segi bakti kita kepada ibu dan bapak kita? Shalat oke, kita bisa sampai khusyuk. Tetapi bagaimana ketika ditinjau dari bakti kita sama bapak dan ibu,” terang Kiai Ali.

Selanjutnya, umat Islam diperintahkan agar berbuat baik kepada kerabat dekat atau keluarga. Di yaumul hisab kelak, seseorang pasti akan diberi pertanyaan soal hubungannya dengan keluarga. Inilah yang akan menjadikan seseorang menjadi shaleh.

“Kemudian (berbuat baik kepada anak yatim). Di samping kiri-kanan kita ada anak-anak yatim. Apakah kita pernah memikirkan siapa anak-anak yatim di sekitar kita yang putus sekolah? Apakah kita pernah bicarakan kepada istri kita, siapa di antara anak-anak yatim yang tahun ini kita biayai supaya bisa melanjutkan sekolahnya?” tanya Kiai Ali.

Baca juga:  Sajian Khusus: Kekerasan Seksual

Ia lantas membacakan surat Al-Ma’un bahwa seorang pendusta agama adalah mereka yang tidak peduli dengan anak yatim. Padahal, memiliki tabungan sangat banyak, terkadang makan saja bisa berlebih, dan bahkan ada makanan-makanan yang mubazir sementara masih banyak saudara anak yatim di sekitar lingkungan yang perlu diperhatikan.

“Selanjutnya kepada orang-orang miskin. Apakah kita ini termasuk orang shaleh, bila nanti diverifikasi oleh Allah bagaimana hubungan kita dengan orang-orang miskin,” jelas Kiai Ali.

Lalu Allah memerintah umat Islam agar pula berbuat baik kepada tetangga dekat. Bahkan, Rasulullah pun sampai memberikan ukuran beriman yang dilihat dari kebaikan atau hubungannya dengan tetangga.

“Man kaana yuminu billahi wal yaumil akhir fal yukrim jaarah. Siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka cirinya adalah dia memuliakan tetangganya. Kemudian perintah Allah selanjutnya adalah bagaimana kita harus berbuat baik kepada tetangga yang jauh,” ujar Kiai Ali.

Perintah Allah yang menurut Kiai Ali penting adalah berbuat baik kepada teman sejawat. Bahkan yang disebut teman itu bukan hanya seakidah sekalipun memang betul ada ayat innamal mu’minuna ikhwatun (sesungguhnya sesama orang beriman itu adalah saudara).

Dijelaskan Kiai Ali, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi para sahabat yang memiliki profesi sebagai pedagang. Sahabat-sahabat Nabi itu hendak berkonsultasi lantaran saat berdagang ke luar Madinah, teman-teman seprofesinya adalah non-Muslim yang terlihat pada saat akad jual-beli.

Baca juga:  Sajian Khusus: Mbah Shodiq Kiai Sat-set

Lalu para sahabat pun bertanya kepada Rasulullah tentang melakukan kerja sama dengan non-Muslim. Namun pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab dan kemudian turun firman Allah yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 75.

“Artinya, ayat ini membolehkan kita berhubungan dengan di luar Iislam ketika bicara muamalah, transaksi, jual beli. Selanjutnya, berbuat baik juga kepada ibnu sabil,” terang Kiai Ali.

Berikutnya, seseorang akan bisa disebut sebagai shaleh jika mampu memenuhi perintah Allah dengan berbuat baik kepada orang-orang yang memiliki status sosial lebih rendah. Seperti seorang atasan yang peduli kepada bawahannya.

“Kalau seandainya hal-hal itu bisa kita lakukan, maka berarti kita telah mampu membangun dua keshalehan yakni shaleh sosial dan shaleh ritual,” tuturnya.

Namun Kiai Ali menyayangkan karena saat ini banyak umat Islam yang mengaku dan digelari shaleh tetapi sebenarnya hanya mampu sekadar mengerjakan hablumminallah saja, sementara hablumminannas belum dikerjakan.

“Ini begitu hebatnya ajaran Islam. Artinya, jangan sampai keshalehan ritual yang kita kerjakan itu, ternyata bisa hancur disebabkan kita tidak mampu membangun keshalehan sosial. Jadi surat An-Nisa ayat 36 ini adalah jawaban dari surat Al-Baqarah ayat 208. Ini cara agar menjadi Muslim kaffah,” pungkasnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top