Sebelum munculnya Pandemi Covid-19, para cendekiawan muslim sudah banyak membicarakan urgensi dari sains, terutama sains dan teknologi. Salah satunya Jalaluddin Rakhmat atau yang sering kita kenal dengan panggilan “Kang Jalal”. Kang Jalal dalam dua masterpiecenya Islam Alternatif dan Islam Aktual memaparkan dengan baik bagaimana pentingnya umat Islam untuk melek akan sains dan teknologi.
Sains yang dimaksud di sini adalah sains Islam yang tidak lepas dari ruh dan tuntunan agama. Karena sebagian para saintis menghilangkan unsur agama dalam proses eksperimen mereka untuk menghasilkan temuan baru terkait sains dan ilmu pengetahuan. Untuk sementara agama disingkirkan bahkan tidak dipakai sama sekali, dengan hal ini mereka memurnikan sains dan ilmu pengetahuan yang bersifat naturalisme, empirisme, dan materialisme. Sehingga tidak setarikan nafas lagi dengan ajaran agama seperti sains Islam di masa silam.
Kita ketahui bersama sains dan agama bukan suatu realitas yang biner, di mana satu dengan yang lain saling bersinggungan. Bagi Mehdi Gholsani agama dan sains masing-masing memiliki titik gradual yang keduanya sama-sama dapat menjadi instrumen untuk memahami dan mengenal Tuhan. Dengan begitu ilmu pengetahuan dan sains yang dihasilkan adalah ilmu pengetahuan dan sains yang bersifat manusiawi.
Banyak anggapan kesalahan utama dijantung saintisme dan naturalisme adalah reduksionalisme, suatu prinsip metodologis yang menyatakan bahwa semua bidang pengetahuan dapat direduksi menjadi bidang-bidang di bawahnya. Dengan anggapan semacam demikian, apapun yang dikatakan oleh ilmuwan dianggap semuanya benar dan mutlak serta masyarakat yang menganggap para ilmuwan dengan dukung sumber daya dan kebebasannya dapat menciptakan sebagai penemu yang menakjubkan.
Kang Jalal, dalam bukunya Islam Aktual memaparkan bagaimana urgensi sains dan teknologi yang bersifat manusiawi demi kemaslahatan bersama. Karena tidak semua persoalan di dunia ini bisa diselesaikan dengan sains dan ilmu pengetahuan semata, tapi ada kejadian yang bersifat suprahuman dan supranatural yang harus dipahami oleh semua saintis (Jalaluddin Rakhmat, 1992:34). Dengan menggunakan cara-cara manusiawi, sejatinya sains akan menjadi pelengkap hidup manusia dan sangat dibutuhkan di semua golongan, terlebih umat beragama.
Namun, dengan sifat keserakahan manusia seolah-olah mereka (saintis) yang berkuasa di atas segalanya, tidak ada kekuatan yang bisa melampaui kekuatan dirinya sendiri. Islam tidak mengajarkan hal itu, karena manusia hanya bagian kecil dari dunia ini yang bersifat mikrokosmos dari Sang Maha Tunggal yang bersifat makrokosmos. Bagi Kang Jalal dengan melihat perkembangan teknologi yang begitu pesat di abad modern ini, maka yang harus dilakukan bagi para cendekiawan dan saintis muslim adalah gerakan Revolusi Teknologi.
Kang Jalal dalam bukunya Islam Alternatif menegaskan semua teknologi adalah pedang bermata dunia. Ia dapat digunakan untuk tujuan baik dan jahat sekaligus. Tetapi bagi Kang Jalal teknologi muktahir menimbulkan banyak manfaat, dan mudarat yang lebih banyak lagi (Jalaluddin Rakhmat, 1986:149). Seperti halnya genetic engineering yang sangat merisaukan kita, dengan cara ini dimungkinkan untuk membuat bayi manusia yang tidak sesuai dengan kodrat Tuhan. Hal ini tentu sangat berbahaya ketika tidak dilandasi ajaran agama untuk mendampingi ide-ide semacam demikian.
Dalam penemuan sains seharusnya al-Quran ditegaskan dan dipergunakan untuk menggantikan pandangan dunia Barat yang selama ini menguasai pengembangan sains di dunia Islam. Dimensi normativitas dan etika di dalam al-Quran yang bersifat fardu’ain, imperatif kategorial tetap sama dari dulu sampai sekarang, dalam situasi dan kondisi apa pun. Karena ketika seorang saintis menemukan temuan baru tetapi tidak dibarengi dengan keimanan yang kuat tentu yang dihasilkan akan membawa dampak yang buruk bagi umat manusia.
Seiring merebaknya sains murni yang bersifat sekuler, tentu seiring itu juga timbul kesadaran betapa pentinya memperlihatkan etika dalam pengembangan sains. Maka negara maju yang mengembangkan sains seperti Amerika mendirikan lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains. Karena mereka semakin sadar ketika sains tidak dibarengi dengan etika atau ajaran agama maka yang ada hanyalah senjata makan tuan bagi dirinya sendiri.
Bagi saintis muslim tentu harus dibarengi dengan etika Islam. Kita tau bahwa etika Islam, bukan hanya sekedar teori, tetapi juga menjadi etika terapan yang dipraktekkan oleh setiap insan muslim dalam suatau zaman, sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam yang berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah tentu tidak akan menyesatkan mereka yang menerapkannya dalam pikiran dan tindakan. Orang yang berlandaskan al-Quran dan Sunnah ketika dia menjadi seorang saintis ataupun seorang cendekiawan, maka ia akan berhasil membawa dunia pada perdamaian dan kebahagiaan.
Perluasan wilayah ilmiah tentu akan memaksa kita (umat Islam) untuk merekosntruksi pemahaman kita tentang Islam. Dalam wilayah ilmu hadis misalnya, mungkin bisa computerized dan diajarkan seperti kita mengajarkan “computerized architecture”. Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Dengan begitu harus ada lembaga baru untuk mengintegrasi-interkoneksi antara lembaga pendidikan Islam seperti UIN dan Pesantren dengan lembaga sains seperti ITB, ITS, dan sebagainya.
Selain harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dan sains lembaga ini pun harus memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang harus diprioritaskan, atau hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan etis dan teknologi. Dengan negara yang mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa mewujudkan lembaga ini karena Indonesia memiliki Pesantren dan PTKIN serta Institut Teknologi yang begitu melimpah ruah.