Sedang Membaca
Kitab Kedung Kebo: Cakranagara dan Perlawanan kepada Dipanagara
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Kitab Kedung Kebo: Cakranagara dan Perlawanan kepada Dipanagara

Kedung kebo

Perang Jawa yang terjadi antara tahun 1825-1830 merupakan perang legitimasi keagamaan yang dilakukan oleh Diponegoro dan jaringan tarekat yang berada di belakangnya. Perang ini merupakan perang sabil kelompok pesantren melawan kolonial yang dibelakangnya ada jaringan penginjil. Tentu hampir bisa dipastikan perang Jawa ini merupakan perang soal keyakinan yang dianut oleh masyarakat Jawa melawan keyakinan yang dibawa oleh para pendatang dalam hal ini VOC.

Kitab Kedung Kebo, salah satu kitab yang menarasikan sosok Pangeran Dipanagara beserta latarnya baik mulai Keraton Yogyakarta, jaringan keagamaannya, peta kekuatannya dan narasi peperangan yang diwedarkan, tidak ketinggalan intrik-intrik penghianatan yang ada di dalamnya. Pendeskripsian terkait Pangeran Dipanagara tidak hanya melalui Kita Kedung Kebo ada juga Babad Dipanagara yang ditulis langsung oleh sang Pangeran ketika di pengasingan dan Babad Keraton Surakarta.

Penulisan Kitab Kedung Kebo masih mengalami simpang siur siapa yang benar-benar menuliskan kitab tersebut. Dikatakan, Cakranagara  yang menuliskan kitab tersebut sebagai simbol kekecewaan terhadap Pangeran Dipanagara sekaligus sebagai legitimasi pemberontakan dirinya terhadap sang pangeran. Dengan melihat narasi-narasi yang disampaikan muskil kiranya Cakranagara  yang menuliskan langsung, mungkin dia hanya memberikan gambaran secara umum apa yang harus diceritakan di dalam kitab tersebut.

Tokoh yang lain, Ali Basah Pangalasan, tokoh yang menjadi bagian penting dalam Perang Jawa yang berlangsung. Ali Basah Pangalasan panglima yang dipercaya oleh Pangeran Dipanagara dalam memimpin peperangan melawan VOC. Namun seiring berjalannya waktu, silang pendapat antara Pangeran dengan Ali Basah Pangalasan tidak terhindarkan yang menyebabkan Ali Basah Pangalasan keluar dari barisan Diponagara dan melakukan perundingan dengan VOC mencari tempat yang aman bagi dirinya.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (11): Djenné, Debu-Debu yang Disucikan

Terkait Kitab Kedung Kebo, bisa saja yang menuliskan langsung adalah Ali Basah Pangalasan selaku Panglima yang mengetahui seluk beluk seputar Pangeran Dipanagara dan peristiwa Perang Jawa yang terjadi. Pengalasan memainkan perang yang penting dalam pertahanan Selarong selama bulan-bulan di musim panas tahun 1825 bersama-sama dengan Tumenggung Jayasuyuda. Setelah pertempuran di tahun 1825 pada bulan November dan terjadinya reorganisasi, Pangeran Diponegoro mengangkat Pangalasan menjadi Ali Basah dengan nama Ngabdulatip, yang menyebabkan gelar ini akan dicatat dalam sejarah dan ingatan warga masyarakat Jawa atas jasa-jasanya.

Selama tahun-tahun terakhir Perang Jawa, Pengalasan secara ekslusif hanya beroperasi di daerah Bagelen (Purworejo) saja, bahkan oleh Kolonel Cleerens ia dirujuk sebagai komandan terpenting dalam pemberontakan di daerah itu. Ia tetap setia kepada Diponegoro seperti Basah yang lainnya sebelum malapetaka kekalahan-kekalahan yang terjadi pada kurun waktu bulan September 1829. Setelah kekalahan itu, ia mengirimkan surat kepada karibnya pada tanggal 25 September 1829 yakni Tumenggung Cakrareja di mana inti surat tersebut terkait kesediaan Pengalasan untuk berpihak kepada Belanda.

Kitab Kedung Kebo, Narasi Perlawanan

Apakah benar, yang mengarang Kitab Kedung Kebo adalah Cakranegara yang dulu pernah menjadi prajurit Kusumayuda selaku pemimpin di daerah Surakarta dalam Perang Jawa tersebut, kita lihat misalnya dalam perbandingan naskah yang lain dengan bunyi:

Mangun prang neng tanah Jawi// Dede tingkah paing Kojah// ceritek sadayane// cangking Raden Ali Basah gih Kerta Pengalasan// Ing uni punggawanepun// Pangeran Diponegoro// Lajeng rinitpna Ing kawi// rinenggeng seekar macapat// supados rahab kang maos.

Melihat kata pengantar yang terdapat dalam Kitab Kedung Kebo, tentu pengarang dari Kitab Kedung Kebo bukanlah Cakranegara, yang dikemudian hari kitab ini dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal Belanda A.J Duymer van Twist (1851-1856). Melainkan pengarang kitab ini adalah Ali Basah Pengalasan panglima yang paing getol memerangi Belanda namun dikemudian hari justru berbalik arah menyerang dan memusuhi Pangeran Dipanagara.

Baca juga:  21 Januari 1985, Borobudur Dibom

Petter Carey menyatakan bahwa pengarang Kitab ini dua orang yakni Cakranegara dan Ali Basah Pengalasan (Carrey, 1986:31). Ali Basah Pengalasan sebagai pembabar bagian pertama narasi-narasi yang terkait dengan sketsa sang Pangeran sedangkan Cakranagara melengkapi apa yang belum ada di dalam kitab tersebut. Bahkan narasi perlawanan yang ada di dalamnya kebanyakan narasi yang didengungkan oleh Cakranagara.

Kita lihat misalnya di dalam Kitab Kedung Kebo dinarasikan, ketika Pangeran Dipanagara ingin mendapatkan tanda-tanda keperpihakan kepada dirinya mengenai Wali Wudhar, ia mengutus Jayamustapa disertai oleh tiga orang yang lain yakni Kiai Janodin, Abukasan dan Kiai Mopid untuk mencari tanda-tanda Erucakra (ratu adil) dan Wali Wudhar ke tanah Cilacap dan pulangnya harus melalui jalur Utara yakni Bagelen dan Kedhu. Di tambah Cilacap mereka diutus untuk menemukan kembang Wijayakusuma sebagai sebagai simbol representasi kedudukan seorang raja, namun itu tak sampai, gagal. Akhirnya utusan itu, memutuskan untuk mencari jalan lain mencari Wahyu Keprabon dengan cara singgah dan bersemedi di tempat-tempat yang disucikan.

Ketika mereka sampai di Kedhu dan beristirahat di Masjid Kuweron, Ki Ageng Selo muncul dalam mimpinya Kiai Mopid. Di mana Ki Ageng Selo menyebutkan bahwa Dipanagara benar ia akan memerintah di tanah Jawa serta menjalankan hukum Islam (ngrata agama salak), tetapi kalau ia terjerumus dalam sikap angkuh dan sombong atau pongah maka rahmat dan petunjuk Tuhan pastilah akan menghilang. Seperti yang dinarasikan dalam naskahnya sebagai berikut:

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (8): Allahabad-India, yang Tetap dan yang Berubah

Dipanagara besuk// Mesa aren amurweng urip// ngrata agama sarak// jinurung Al-Subur// siung rahmat ingkang mulya// pesati luluse karepe// yen adon saking iku// lamun ranjang patang praksis// rahmat hidayat beng gang// wangsul wahyunepun.

Dengan ramalan demikianlah Cakranagara mempermasalahkan sifat pamrih yang ada. Bagi Cakranagara kegagal yang dialami oleh Dipanagara dalam Perang Jawa dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa motif-motif untuk melakukan pemberontakan itu tidaklah murni secara keseluruhan, tetapi dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri dan ambisi pribadi. Kemudian ketika ia melukiskan pangeran Dipanagara di Selarong, secara ekplisit Cakranegara mengemukakan bahwa Dipanagara terpengaruh oleh sikap pongah (kagepok takabur) atas gelar yang didapatkannya sebagai Wali Wudhar.

Sikap yang diperlihatkan oleh Cakranegara terhadap Dipanagara dimungkinkan dari perlawanan antara sesama murid kebatinan atau pengikut tarekat yang sangat mengagumi kesaktian orang yang sezaman itu, tetapi biarpun begitu kegagalan yang dialami Dipanagara itu kepada ketidakmampuannya untuk menguasai dan mengendalikan sifat pamrihnya. Walaupun demikian Cakranagara berhasil menarasikan dengan baik kekagumannya atas pribadi Dipanagara dan di sisi yang lain membenarkan tindakan-tindakannya melawan Pangeran selama Perang Jawa berlangsung.

Dengan begitu, keterangan-keterangan yang berkenaan dengan siapa yang mengarang Kitab Kedung Kebo tetap bersifat kira-kira belaka, mengingat tidak hanya keterangan yang benar-benar kuat tentang masa-masa penulisan serta penyusunannya. Kendati demikian seperti yang sudah didedahkan di atas, Pengalasanlah yang mendedahkan informasi kepada Cakranegara dalam penyusunan kitab ini.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top