
Hari Tari Dunia 29 April biasanya dirayakan dengan festival, parade, atau (per)ingatan tentang “tubuh yang bergerak.” Tapi selebrasi itu sering melupakan pertanyaan yang lebih radikal: apa arti tari hari ini dalam dunia yang tercerabut dari spiritualitasnya, dalam masyarakat yang menjadikan religiositas sebagai komoditas simbolik? Apa makna tubuh menari di tengah masyarakat yang tubuhnya sendiri semakin dipisahkan dari pengalaman spiritual yang sejati?
Tari, dalam sejarah manusia, lahir bukan sebagai hiburan, melainkan sebagai bahasa spiritual. Gerak tubuh adalah ekspresi doa, ekstase, perayaan, bahkan ketakutan kosmis. Dalam banyak kebudayaan Nusantara, misalnya, menari adalah upaya merawat harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasatmata—suatu jalinan spiritualitas yang mengakar dalam praksis sehari-hari.
Tapi dalam dunia hari ini, tari lebih sering direduksi menjadi tontonan koreografi atau kompetisi teknis. Tubuh yang menari, alih-alih menjadi jembatan dengan yang ilahi, justru menjadi komoditas estetika nirmakna.
Di era neoliberalisme global ini, bahkan spiritualitas pun harus tampil atraktif, dikemas, dan bisa dijual. Kita hidup di zaman yang spiritual namun tanpa spirit, religius namun tanpa pengalaman transenden. Maka, tari—yang pada dasarnya adalah afirmasi radikal atas tubuh dan keberadaannya dalam kosmos—harus dilihat sebagai medan pertarungan: antara tubuh yang dikomodifikasi dan tubuh yang berusaha merebut kembali spiritualitasnya.
Tubuh sebagai Arena Spiritualitas
Dalam banyak tradisi kuno, tubuh bukanlah entitas terpisah dari jiwa. Tubuh adalah medium pengalaman spiritual. Ketika seorang penari Topeng Bali, Gandrung Banyuwangi, atau Lengger Banyumas bergerak, ia bukan sedang “menampilkan” tarian, melainkan sedang membiarkan tubuhnya menjadi ruang pertemuan antara manusia dan yang tak kelihatan.
Tapi di masyarakat modern, tubuh dipahami secara kapitalistik: sebagai obyek produksi (kerja), konsumsi (estetika), dan kontrol (disiplin). Tubuh penari hari ini seringkali menjadi obyek pelatihan keras, diet ketat, dan kompetisi performatif yang mengutamakan akurasi gerak ketimbang resonansi spiritual. Dalam banyak pertunjukan tari kontemporer, yang ditampilkan bukan ekstase, tapi kalkulasi.
Ini membuat pertanyaan spiritualitas menjadi genting: adakah ruang bagi tubuh untuk “bergetar” dengan makna, bukan sekadar “bergerak” untuk penilaian? Apakah masih mungkin tari menjadi medium melintasi realitas harian menuju pengalaman yang transenden—tanpa harus jatuh ke dalam kitsch spiritualitas palsu yang dikemas untuk festival budaya atau iklan pariwisata?
Religiositas dan Kekerasan atas Tubuh
Lebih jauh, konteks religiositas hari ini justru sering memperumit relasi antara tari dan spiritualitas. Di banyak tempat, tari dituding sebagai “maksiat,” “aurat,” “penyimpangan,” atau “pemujaan sesat.” Tubuh yang bergerak bebas dianggap ancaman terhadap tatanan moral. Di Arab Saudi, misalnya, tari hanya diterima dalam batas-batas koreografi resmi dan diawasi negara. Di Indonesia sendiri, sejumlah praktik tari tradisi dihadapkan pada tekanan moralistik yang ingin menyeragamkan ekspresi tubuh dalam norma-norma syariat tertentu.
Religiositas dalam bentuk ini tidak lagi menjadi jalan menuju keterbukaan spiritual, melainkan menjadi instrumen kontrol atas tubuh. Tubuh perempuan, khususnya, menjadi medan utama: tubuh yang menari dianggap harus dikekang, disensor, bahkan dihapus, karena dianggap membangkitkan “fitnah.”
Ironinya, dalam banyak tradisi tari Nusantara—dari tari Bedhaya hingga Lengger Lanang—justru tubuh dianggap ruang pertemuan yang suci: antara maskulinitas dan feminitas, antara dunia nyata dan dunia halus, antara manusia dan ilahi. Penari tidak mempertontonkan tubuhnya, melainkan membiarkan tubuhnya dihuni oleh kekuatan yang lebih besar.
Dengan kata lain, penghapusan tari dari ruang publik atas nama religiositas justru mengingkari potensi transendental tubuh itu sendiri. Di sini, tubuh menjadi saksi atas pertarungan besar antara spiritualitas yang membebaskan dan religiositas yang mengekang.
Tari sebagai Perlawanan
Dalam konteks kekinian, tari bisa (dan seharusnya) dibaca sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap disintegrasi tubuh dari spirit. Perlawanan terhadap komodifikasi moralistik tubuh. Setiap tubuh yang menari hari ini—terutama yang melawan narasi dominan tentang bagaimana tubuh harus hadir—adalah tubuh yang bersaksi: tentang kerinduan akan makna yang lebih dalam, tentang hak atas ekstase, tentang keberanian mengada di dunia yang dingin dan seragam.
Kita bisa melihat ini pada geliat tari kontemporer yang berani menabrak batas-batas konvensional: tari yang mengolah trauma kekerasan, tari yang menyuarakan tubuh minoritas, tari yang mengembalikan gerak ke pengalaman hidup konkret, bukan sekadar eksersis estetika. Tari menjadi medium mengajukan pertanyaan: siapa yang berhak bergerak? Tubuh siapa yang diakui? Spiritualitas macam apa yang masih mungkin dalam dunia yang menindas tubuh dan memisahkannya dari roh?
Hari Tari Dunia, jika ingin lebih bermakna dan kontekstual, seharusnya tidak berhenti pada parade tari atau flash-mob koreografis. Ia harus menjadi momen untuk merefleksikan krisis spiritualitas tubuh hari ini. Ia harus mengingatkan kita bahwa tubuh bukan sekadar moda ekspresi, melainkan rumah pengalaman spiritual yang paling purba.
Dalam dunia di mana segala hal diukur dalam klik, views, dan jual-beli identitas, tubuh yang menari dengan kesadaran spiritual adalah bentuk radikal dari keberadaan. Tubuh yang bergerak bukan demi produksi nilai, bukan demi persetujuan moral, bukan demi aplaus, melainkan demi membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dunia yang serba terukur: vibrasi, resonansi, ekstase, keterhubungan dengan yang ilahi.
Maka menari hari ini adalah sebuah tindakan subversif: merayakan tubuh bukan sebagai obyek, tapi sebagai subyek spiritual yang bebas. Di setiap hentakan kaki, setiap gelombang tangan, setiap gemetar tubuh, kita menyatakan: tubuh ini hidup, tubuh ini sakral, tubuh ini meng-ada.