Sedang Membaca
Perspektif Kultural atas Diskon Hukuman Para Koruptor
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Perspektif Kultural atas Diskon Hukuman Para Koruptor

koruptor korupsi

Jika biasanya di akhir tahun digelar diskon besar-besaran berupa potongan harga suatu barang di mall, supermarket atau pusat-pusat perbelanjaan, di negara ini, korting hukuman juga akan diberlakukan bagi para koruptor.

Hal ini muncul dari wacana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto yang berniat menghapus hukuman yang diterima para koruptor dengan syarat mereka mengembalikan kerugian negara. Wacana memaafkan koruptor adalah bagian dari kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada setidaknya 44 ribu narapidana.

Menteri Koordinator Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Izha Mahendra, dalam keterangan tertulis kepada pers, 19 Desember lalu menyebut narapidana yang akan menerima pengampunan adalah yang terjerat kasus penggunaan narkotik, penghinaan kepala negara, persoalan makar Papua, dan juga korupsi. Menurut Yusril, penegakan hukum dalam kasus korupsi “harus membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan hanya menekankan penghukuman kepada para pelaku.”

Para ahli mengkritisi kebijakan ini. Pengembalian kerugian keuangan negara, menurut penjelasan Pasal 4 UU Tipikor, hanya bisa dijadikan sebagai salah satu faktor yang meringankan hukuman. Juga karena secara kontruksi, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Korupsi dari awal memiliki niat jahat untuk melakukan pengambilan keuangan negara atau melakukan hal-hal yang berkaitan, seperti suap, penggelapan dan lain sebagainya sehingga dalam penanganannya tentu tidak bisa seperti kejahatan biasa.

Preseden Buruk

Meskipun sudah “diralat”, “dijelaskan” bahkan dihentikan oleh para pejabat, mulai dari Menko, Menteri Hukum hingga Presiden, bahasa yang digunakan terkesan ambigu bahkan saling bertentangan. Di satu sisi, kenyataan ini membuktikan bahwa koordinasi internal pemerintah sendiri tidak seragam, juga telah memunculkan polemik yang tidak arif di awal pemerintahan mereka,

Baca juga:  NU dan Jihad Santri Jayakan Negeri

Diskon hukuman bagi para pelaku korupsi ini bisa menjadi preseden buruk bagi usaha penegakan hukum di Indonesia – suatu hal yang masih terus menjadi masalah dan belum terselesaikan dalam setiap pemerintahan berganti. Setelah kekuatan lembaga negara anti rasuah harapan rakyat terhadap pemberantasan korupsi digerogoti oleh kepentingan berbagai pihak, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia seperti sedang berada di titik nadir.

Secara etis, korupsi memiliki daya destruktif yang sangat masif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi menguburkan demokrasi dan kedaulatan hukum, karena ia adalah akar dari pelanggaran-pelanggaran HAM, menghancurkan tatanan ekonomi pasar, menurunkan kualitas hidup dan menyuburkan kejahatan terorganisasi, dan ancaman-ancaman kemanusiaan lainnya (Yansen, 2021). Korupsi bisa makin merajalela dengan tergerusnya efek jera para pelaku kejahatan.

Paus Fransiskus mengibaratkan korupsi sebagai tumor ganas yang hanya mungkin disembuhkan lewat mukjizat. “Dosa akan diampuni, tetapi korupsi tidak.” Dosa individu koruptor, seperti tumor, kemudian menyebar ke seluruh tatanan sosial hingga akhirnya berkembang menjadi dosa struktural. Jika korupsi sudah membudaya, dia akan merambah ke semua lapisan sosial (Gusti, 2018).

Moralitas

Seluruh permasalahan ini menuju pada satu solusi yang kita tahu sejak lama: penegakan supremasi hukum. Tapi jika kenyataannya bertolak belakang dengan niatannya, maka semua hanya menjadi kebisingan struktural yang tak berarti apa-apa.

Merujuk pada pepatah Romawi kuno quid leges sine moribus yang bermakna: ‘apa artinya hukum jika tanpa moralitas’. Suratman (2019) menyebut moralitas menjadi roh dari supremasi pemberantasan korupsi karena dalam praktiknya hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan moralitas dan etika.

Hal ini karena korupsi itu nyolong pethek. Istilah bahasa Jawa ini berarti sesuatu yang tidak cocok dengan terkaan kita; sesuatu yang lain samasekali dari apa yang kita duga, sehingga kita salah menilai. Seperti seorang yang kesannya baik dan pas untuk menjalankan tugas mulia mengurusi bantuan sosial, tapi justru mengorupsinya. Rakyat tidak lupa ketika seorang menteri yang harusnya mengurus bantuan untuk rakyat bangsa yang sedang kepayahan melawan pandemi, justru bersiasat di balik layar dengan pengusaha penyedia bantuan, demi memperkaya diri sendiri.

Baca juga:  Memaknai Mukjizat di Tengah Problematika Global

Padahal budaya kita telah mengajarkan tentang kualitas sikap hidup ini. Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 15 menyebut bahwa salah satu ukuran kualitas hidup manusia adalah wirya, yang berarti “keluhuran, kekuasaan”. Orang yang luhur berarti seseorang yang dihormati orang banyak. Tapi orang dihormati karena keutamaannya, bukan kekuasaannya. Demikian pula kuasa, bukan berarti kebebasan melakukan apa saja, memaksakan kehendak untuk dituruti semua orang, yang berujung kesewenang-wenangan.

Kekuasaan harus digunakan sebaik-baiknya karena hal itu merupakan amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya. Karena amanah yang tidak dijalankan dengan baik berarti menurunkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Kita menjadi rendah dimata nilai-nilai kualitas hidup.

Seperti ketika hakim yang bertugas mengadili terdakwa korupsi tapi justru meringankan hukumannya, sebenarnya ia sedang merendahkan dirinya sendiri, apalagi jika si terdakwa juga bagian dari penegak hukum. Pimpinan lembaga pemberantasan korupsi juga menghina dirinya sendiri jika bersekongkol mengompongkan pemberantasan korupsi. Menghina kemuliaan dirinya sebagai manusia sekaligus menghina kemuliaan profesi yang disandangnya (Mahfudz, 2021). Dengannya, gagasan mengenai penegakan hukum seperti menguap.

Rakyat sudah hapal dan capek dengan segala seruan seragam yang (seakan) positif itu: semua sama di mata hukum, membela kebenaran, menegakkan supremasi hukum, melakukan perubahan, antikorupsi. Semua itu tak ubahnya pasar malam. Seluruh instansi terkait hukum membuka lapak dagangan slogan dan jargon yang ramai diteriakkan untuk menarik simpati massa. Bising tapi tak berarti apa-apa.

Baca juga:  Sains, Puisi, Visi Kehidupan

Hal ini berlangsung secara sistematis karena perubahan dalam penyikapan terhadap politik-demokrasi global, pembangunan yang berorientasi profit dan pasar, sistem edukasi kultural yang amburadul serta perkembangan jaman yang membuat hidup menjadi pragmatis.

Penjaga Kemanusiaan

Kita perlu menguatkan lagi sikap keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Sikap menegakkan keadilan berdasar kenyataan yang sesungguhnya, tidak pandang bulu dalam upaya menegakkan kebenaran bagi semua orang serta tidak memanfaatkan kapasitasnya sebagai pengambil keputusan hukum demi kepentingan sepihak, mutlak diperlukan. Semua itu karena seluruh elemen perangkat hukum, termasuk Presiden, sesungguhnya adalah penjaga kemanusiaan dengan tegak dan kokohnya kebenaran dan keadilan di muka bumi.

Hal ini bisa terwujud, bukan dengan memberikan pengampunan bagi koruptor, tapi strategi pemberantasan korupsi. Merujuk UU no 7/2006 tentang ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Anti Korupsi, paradigma besar dalam pemberantasan korupsi adalah pencegahan, penegakan hukum, dan assets recovery. Hal itu bisa dituangkan dalam RUU perampasan aset yang sebenarnya sudah ada di meja parlemen dan menunggu persetujuan DPR dan pengesahan Presiden.

KPK sebagai leading sector, bersama kepolisian dan kejaksaan harus memastikan bahwa langkah-langkah hukum yang dilakukan betul-betul dalam konteks pemberantasan korupsi, bukan demi jual beli kepentingan politis.

Presiden mesti menyampaikan kabar baik bahwa musim diskon hukuman bagi para koruptor dihentikan dan diganti dengan angin segar penegakan hukum terhadap perampas kedaulatan pemilik tertinggi kekuasaan milik rakyat Indonesia. Itu akan jadi kado tahun baru yang benar-benar membahagiakan bagi semua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top