Dalam penanggalan Hijriyah, Sya’ban adalah bulan sebelum Ramadan. Orang Jawa menyebut bulan Sya’ban sebagai bulan Ruwah. Tidak seperti pada bulan-bulan lainnya, Sya’ban mendapat pemaknaan penting dalam kehidupan orang Jawa.
Di bulan ini umat Islam di Jawa melakukan ritual rakyat yang khas yaitu nyadran berupa pertemuan keluarga, kenduri (doa dan makan bersama), lalu dilanjutkan berziarah ke makam leluhur.
Prosesi nyadran diawali dengan kenduri (doa bersama) yang dipimpin oleh modin (pemimpin agama) atau orang yang dituakan, lalu dilanjutkan tukar menukar makanan yang sudah dipersiapkan oleh masing-masing keluarga. Di beberapa tempat, selain lebih sering diadakan di masjid, kenduri juga dilangsungkan di gedung pertemuan atau balai desa.
Di situ, tidak hanya masyarakat dalam satu wilayah, sanak keluarga dari rantau pulang dan bertemu dalam momentum kekeluargaan, silaturahmi dan komunikasi sosial yang penting ini. Nyadran menjadi bentuk kohesi sosial yang menguatkan makna kebersamaan.
Prosesi dilanjutkan dengan ziarah ke makam orang tua, leluhur, atau nenek moyang, untuk membersihkan, berdoa, lalu menabur bunga di atas pusaranya. Dalam hal ini makam tidak semata dipahami sebagai peristirahatan terakhir, tapi juga menjadi perbatasan antara dunia dan akhirat, semacam pintu masuk pada pemahaman kehidupan yang abadi.
Tradisi ini menautkan orang-orang dalam memori masa lalu dengan menghormati leluhur yang terjalin melalui garis keturunan. Atas nama kekerabatan, orang-orang berkumpul dan berdoa tanpa kelas sosial, golongan ekonomi hingga pandangan politik. Semua sama tanpa stratifikasi dan diferensiasi.
Binhad Nurrohmat (2012) melukiskan ziarah kubur merupakan persapaan antara dunia ini dan setelah ini. Kuburan merupakan situs simbolis tempat rendezvous (“perjumpaan”) yang hidup dan yang pernah hidup sehingga ziarah kubur melebur yang logis dan yang mistis, yang material dan yang immaterial.
Makna dari ziarah adalah yang mati tak dilupakan oleh yang hidup. Hal ini penting untuk merawat kesadaran bahwa masa depan yang hidup adalah kematian.
Saat ziarah, doa-doa dipanjatkan agar yang dikubur diampunkan dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan lebih tabah menghadapi kehidupan. Dengannya, kita telah berbakti pada leluhur dan berharap mereka membantu menyampaikan permohonan kita kepada Tuhan.
Arwah leluhur dianggap berada lebih dekat dengan Tuhan sehingga permohonan untuk keberhasilan dan kesuksesan kita dalam hidup lebih cepat tersampaikan. Makam menjadi tonggak logika untuk merawat masa lalu sekaligus meruwat masa depan melalui doa dan harapan.
Pada saat yang sama, ziarah dapat dibaca sebagai aktifitas kultural dan spiritual atau religius sekaligus. Orang berefleksi atas kefanaan hidup, antara dosa dan nilai-nilai kebaikan ketika berziarah di makam. Ziarah meningkatkan kesadaran kualitas hubungan Tuhan dan mahlukNya.
Makam juga dapat dibaca sebagai simbolisme eksistensial. Ia tidak sekedar gundukan tanah tempat raga yang telah mati dikubur. Makam justru menjadi representasi kehadiran yang telah mati. Hal ini semakin lengkap dengan pahatan nama yang ada di nisannya.
Pengakuan ini diwujudkan dengan taburan bunga yang dilakukan ketika berziarah. Bunga menjadi bahasa penghubung antara peziarah dan yang dikubur, sekaligus sebagai simbolisme estetik yang bermakna cinta atau kasih sayang.
Padusan
Di akhir bulan Ruwah, kaum Muslim (di Jawa khususnya) melaksanakan tradisi padusan yaitu melakukan adus/mandi sehari sebelum Ramadhan. Padusan dimaksudkan sebagai persiapan fisik, mental dan spiritual untuk membersihkan dan menyucikan pikiran dari nafsu dasar sebelum menjalankan ibadah suci puasa.
Simbolisme yang dibawanya menyiratkan ruang kontemplatif dalam ruang pembersihan (baca: penyucian) melalui air yang terus mengalir. Itulah sebabnya padusan di Jawa kerap diadakan di tuk, sendhang ataupun umbul sebagai sumber air berwujud kolam yang mengalir.
Lewat air pembersih badan dari benda-benda kotor, pada saat yang sama kita juga membasuh hati menentukan niat suci untuk mencapai kualitas makna hidup dengan mengekang hawa nafsu di bulan Ramadhan.
Dalam budaya kita mengenal proses penyucian dimana air menjadi medium untuk penyembuhan berbagai macam penyakit, keberkahan, kekebalan hingga “pembersihan” dari mantra jahat. Kita mengenal prosesi jamasan (pembersihan, penyucian) pusaka kraton-kraton di Jawa dimana air bekas cucian senjata itu menjadi benda berharga.
Cerita wayang juga memuat simbolisme nilai proses penyucian diri. Episode Bima Suci berkisah mengenai Bima yang mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air yang bisa memberi hidup abadi.
Air suci itu mewujud dalam bentuk Dewaruci, yang memberi wejangan tentang nilai kebaikan dan kebajikan. Bima mencapai jatidiri sebagai manusia melalui medium air.
Seturut Saidi (2015), disamping fungsinya yang esensial dalam konteks kebudayaan, air menempati posisi penting dalam agama. Dalam Islam, air bukan hanya medium pembersih fisik, tapi untuk menyucikan diri dari kotoran nonfisik (hadas) yang menghalangi sahnya shalat.
Vitalitas air dalam Islam dapat dibaca dalam logika oposisi biner dengan api. Sebagaimana diketahui, api adalah zat yang digunakan Tuhan untuk menciptakan iblis, nenek moyang sang penggoda manusia. Maka, membasuh wajah dengan air (berwudu) dapat berarti menyucikan “sifat-sifat setan” di dalam diri.
Air dapat dilihat sebagai agen pemurni yang dapat menghidupkan kembali sebuah ”kehidupan” yang terdegradasi. Dalam jumlah besar, air pulalah yang digunakan Tuhan untuk menyeleksi umat yang beriman pada zaman Nabi Nuh. Pun demikian ketika Tuhan menyelamatkan Musa dan pengikutnya ketika dikejar pasukan Firaun. Di dalam air pula pasukan Firaun dikuburkan. Sodom dan Gomora juga ditenggelamkan ke dalam laut.
Nyadran dan padusan menjadi agenda Ruwahan yang membuktikan akulturasi harmonis antara Islam dan Jawa. Ruwahan adalah cara orang Jawa dalam memahami esensi Islam sekaligus menjadi formasi kultural eklektis, yang mampu memaknai toleransi dan humanisme serta mengakomodir berbagai kepentingan dan budaya yang berbeda.
Pemahaman ini penting untuk memaknai kehidupan yang semakin kacau karena klaim kebenaran sepihak yang kerap berujung sengketa dan perpecahan. (SI)