Sedang Membaca
Melawan dengan Lelucon, Dewasa Lewat Guyon
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Melawan dengan Lelucon, Dewasa Lewat Guyon

humor tokoh bangsa

Dari sudut antropologi, humor merupakan praktik kultural yang mencerminkan struktur sosial masyarakat. Clifford Geertz menyebut simbol budaya sebagai ekspresi sistem makna. Guyonan, baik verbal, gestural, maupun performatif, menyimpan makna-makna yang kompleks: dari keresahan, ketimpangan, hingga resistensi.

Filsuf Henri Bergson menyebut bahwa tawa adalah mekanisme koreksi sosial: ia muncul ketika ada penyimpangan dari norma yang dianggap lucu, namun dalam saat bersamaan menegaskan norma itu sendiri. Sementara itu, Jacques Derrida mungkin akan bertanya lebih radikal: siapa yang punya kuasa menentukan apa yang layak ditertawakan, dan siapa yang jadi objek tertawaan itu? Humor tak pernah netral. Ia selalu berada dalam medan tarik-menarik relasi kuasa, budaya, dan bahasa.

Guyonan Gus Dur tentang polisi yang bisa menilang malaikat adalah contoh bagaimana humor berfungsi sebagai kritik terhadap institusi hukum secara jenaka namun menusuk. Ketika ia berkata, “Hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng,” ia sedang menertawakan kekuasaan dari dalam sebagai ekspresi kegelisahan terhadap sistem politik—bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menyadarkan.

Jokowi pun pernah menggunakan humor saat pandemi Covid-19 dengan menyamakan virus dengan tokoh fiksi. Sebagian tertawa, sebagian mengernyit. Humor Megawati yang menyebut ciri fisik orang Papua dan menyentil tukang bakso, justru memicu reaksi sebaliknya: bukan tawa, tapi luka. Guyonan yang gagal memahami konteks, posisi, dan sensitivitas sosial bisa berubah menjadi bumerang.

Baca juga:  Gliyak-Gliyak Tumindak, Sareh Pikoleh

Namun bentuk humor yang berkembang sering kali slapstick—lawakan tubuh, olok-olok fisik, stereotipe etnis atau gender. Humor seperti ini mudah dicerna, cepat mengundang tawa, namun sering mengabaikan substansi.

Konstruksi Sosial

Thomas Hobbes menyebut bahwa tawa muncul dari rasa superioritas: kita tertawa karena merasa lebih baik dari yang ditertawakan. Pierre Bourdieu menambahkan bahwa selera humor merupakan hasil konstruksi sosial. Apa yang dianggap lucu tak lepas dari habitus seseorang—kelas sosial, pendidikan, dan latar budaya.

Nurrochman (2018) menyitir Bourdieu bahwa selera estetis tidak pernah bebas nilai. Apa yang kita anggap lucu mencerminkan struktur sosial yang membentuk kita. Inilah mengapa model guyonan slapstick tetap dominan di tengah masyarakat miskin literasi dan rendah daya kritis.

Dalam ruang politik, humor bisa menjadi alat strategis untuk meraih simpati, mencairkan ketegangan, atau menyindir lawan. Sejak zaman Romawi, Cicero sudah menunjukkan bahwa humor bisa menjadi senjata retorika.

Namun, seperti senjata lain, ia harus digunakan dengan presisi. Humor yang keliru bukan hanya gagal memantik tawa, tapi bisa memantik konflik karena sentimen sosial, rasisme struktural dan dekonstruksi komunal.

Di era digital, humor tak lagi berhenti di panggung. Ia viral, dikomentari, dipelintir, dan diabadikan dalam jejak digital. Inilah yang membuat humor hari ini menuntut tanggung jawab lebih besar. Guyonan yang dulu hanya terbatas pada warung kopi, kini bisa menciptakan gelombang perdebatan nasional. Humor harus kontekstual dan etis.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (7): Ingat MUI, Ingat Hadiah

Itulah mengapa guyonan seorang Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah), misalnya, semestinya diuji sensitivitasnya. Dalam satu forum keagamaan, ia ‘mengolok’ profesi penjual es, yang kemudian menuai kritik publik. Sekalipun bermaksud jenaka, guyonan yang melanggengkan stigma terhadap kelompok marginal tidak bisa dibenarkan. Karena humor bukan semata soal lucu atau tidak, melainkan: oleh siapa, untuk siapa, dan dalam konteks apa.

Agnes Setyowati (2022) mencatat bahwa banyak tokoh politik dunia—seperti Cicero di Roma, Charlie Chaplin di Hollywood hingga Volodymyr Zelensky di Ukraina—menggunakan humor untuk membangun kedekatan publik. Namun yang mereka lakukan adalah humor dengan misi sosial: menjembatani, bukan membatasi; menyatukan, bukan melukai. Humor yang berhasil adalah humor yang membebaskan nalar dari sekat kekuasaan, bukan menertawakan mereka yang tak bisa membalas.

Nalar Kolektif

Guyonan semestinya bukan sekadar lelucon, tetapi cermin yang memantulkan nalar kolektif kita. Humor yang sehat mampu mendorong masyarakat berpikir ulang atas kebijakan, ketimpangan, atau bahkan absurditas dalam kehidupan sehari-hari. Humor bukan hanya ruang pelarian, tapi juga ruang pembelajaran. Dalam polarisasi politik yang tajam, humor bisa menjadi jembatan dialog dan rekonsiliasi.

Namun sebaliknya, jika humor digunakan untuk menegaskan superioritas kelompok tertentu, ia justru memperdalam jurang. Maka tugas para politisi, pejabat publik, dan tokoh masyarakat bukan hanya memahami humor, tetapi juga memahami dampaknya. Mereka bukan stand-up komika yang memancing tawa di panggung open mic, tetapi negarawan yang semestinya membuat rakyat tertawa bahagia lewat kebijakan yang adil dan membebaskan.

Baca juga:  Anak dan Kamus

Tertawa, kata Nietzsche, adalah bentuk tertinggi dari harapan. Dalam tawa yang cerdas dan penuh empati, tersimpan kekuatan untuk membangun bangsa. Bangsa yang mampu menertawakan dirinya secara kritis adalah bangsa yang sedang belajar dewasa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top