Lebih dari lebih dari 20.000 manuskrip dari Indonesia disimpan oleh Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Hal ini disebutkan pada sebuah diskusi bertema “Mutiara yang Terabaikan dalam Manuskrip Indonesia” pada 11 September 2017 bersama Dick van der Meij (Peneliti Independen) dan Peter Worsley (Profesor dari Universitas Sydney) di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Jumlah yang sangat melimpah itu memberikan sebuah harapan besar. Informasi yang dikandung manuskrip sebanyak itu tentu akan mampu menyingkap sejarah tentang jati diri bangsa kepulauan ini. Namun sayangnya, sebagaimana disimpulkan dari diskusi itu, sebagian besar koleksi tersebut jarang sekali diakses.
Bahkan mayoritas belum pernah dikaji sama sekali, kecuali untuk kepentingan katalogisasi. Barangkali permasalahan yang sangat pelik, misalnya, adalah aksara dan bahasa dari sejumlah besar koleksi tersebut sudah lama mati.
Sejak kapan manuskrip Nusantara mendarat di Leiden? Manuskrip pertama dari Indonesia yang menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden tercatat pada 1597. Manuskrip lontar ini telah dikaji oleh Gerardus Willebrordus Joannes Drewes (w. 1992) dan terbit dengan judul An early Javanese code of Muslim Ethics oleh penerbit Nijhoff pada 1978.
Manuskrip berkode Or. 266 ini berisi dua tema. Bagian yang pertama adalah doa-doa dan azimat atau lebih dikenal di masyarakat dengan kitab primbon. Bagian yang kedua–yang dianggap oleh Drewes lebih penting daripada bagian sebelumnya–adalah panduan-panduan akhlak terpuji bagi seorang Muslim.
Pada bagian yang kedua ini kita dapat melihat betapa kitab Ihya’ Imam al-Ghazali begitu familiar di masyarakat Jawa paling tidak pada abad ke-16 (Drewes, 1978).
Manuskrip ini adalah hadiah dari van Dulmen, seorang petualang dan pedagang yang datang ke Indonesia dalam sebuah ekspedisi-Belanda yang pertama kali dilakukan menuju Asia Tenggara (Jan Just Witkam, 2007, h. 109).
Sepuluh manuskrip Nusantara yang paling awal dibawa ke Eropa pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 berisi tentang kajian keislaman. Semuanya pada awalnya berkaitan dengan Universitas Leiden di Belanda. Namun sekarang, Belanda mengumpulkan hanya empat manuskrip. Enam lainnya berpindah ke Inggris.
Selain manuskrip berkode Or. 266 di atas, manuskrip dengan kode Or. 1928 hadir menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden melalui perolehan dari Bonaventura Vulcanius yang merupakan profesor bahasa Yunani di Universitas Leiden pada 1578-1614 (Drewes, 1969, h. 1).
Kemungkinan besar manuskrip ini juga berasal dari ekspedisi-Belanda yang pertama. Schrike, peneliti pertama manuskrip ini, menyebutkan bahwa manuskrip ini berasal dari Tuban. Manuskrip ini juga telah dikaji ulang secara mendalam oleh Drewes dan terbit dengan judul Kitab Bonang: The Admonitions of Seh Bari; 16th Century Javanese Muslim Text Attributed to the Saint of Bonan oleh penerbit M. Nijhoff di Den Haag pada 1969.
Satu manuskrip lainnya adalah milik Jan Theunisz, profesor bahasa Arab di Universitas Leiden pada 1612-1613. Manuskrip ini dia beli pada 1610 dan sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam. Manuskrip ini mengandung teks kitab fikih yang terkenal di masyarakat Indonesia, at-Taqrīb fil-Fiqh karya Imam Abu Syuja’ al-Isfahani. Manuskrip ini disertai dengan makna gandul dari kitab tersebut dalam aksara Pegon berbahasa Jawa (Drewes, 1969, h. 2).
Karena dibeli pada 1610 sehingga pasti berasal dari masa sebelumnya, maka ia adalah manuskrip Pegon Jawa paling tua yang bisa dikenali, lebih tua dari manuskrip kitab Muqaddimah al-Hadramiyyah bertarikh 1623 yang tersimpan di Perpustakaan Inggris Raya dan yang sebelumnya dianggap manuskrip Pegon tertua (baca Inikah Manuskrip Pegon Tertua di Dunia?). Dengan jumlah besar dari manuskrip Pegon yang belum diteliti, sangat mungkin akan ditemukan manuskrip Pegon yang lebih tua dari manuskrip ini.
Satu manuskrip paling awal lainnya tersimpan di Perpustakaan Amsterdam (Drewes, 1969, h. 2). Ia adalah kitab fikih al-’Idah fil Fiqh.
Tidak dijelaskan kitab ini karya siapa. Namun ada beberapa kitab yang mirip dengan judul al-’Idah dalam bidang fikih. Yang pertama adalah kitab Nūrul ’Idah fil Fiqh ‘Ala Mazhabi Imam Abi Hanifah karya Hasan bin ‘Ammar as-Surunbulali (w.1659).
Namun ini sangat kecil kemungkinannya. Pertama kitab terakhir menganut mazhab Hanafiyah yang tidak berkembang di Indonesia. Kedua, penulisnya Imam as-Surunbulali wafat sekitar lima puluh tahun setelah manuskrip ini sampai di Belanda.
Kitab yang lebih mungkin adalah al-’Idah Fi Manasikil Ḥajji wal ‘Umrah karya Imam Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi (w. 1277) dikenal di Nusantara sebagai Imam Nawawi. Beliau adalah pembesar mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selain itu, banyak karya beliau yang masih dikaji di pesantren hingga kini. Bagaimana pun, kajian terhadap manuskrip ini, yang sayangnya belum dilakukan, akan mengungkap kitab apa sebenarnya yang dikandung itu manuskrip penting ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa ia adalah kitab karya ulama Nusantara sendiri.
Enam manuskrip paling awal yang mendarat di Eropa lainnya tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge di Inggris.
Mereka semua pada mulanya adalah koleksi dari profesor bahasa Arab di Universitas Leiden, Erpenius (w. 1614), dan disebutkan bahwa tiga di antaranya diperoleh di Aceh pada tahun 1604.
Namun tidak ada informasi bagaimana manuskrip-manuskrip itu bisa berpindah dari Leiden ke Perpustakaan Universitas Cambridge. Bahkan sampai hari ini, sejauh tahu saya, belum ada kajian mengenai enam manuskrip ini.
Dari sini dapat digambarkan bahwa pada abad ke-16, Islam sudah membumi kuat di Nusantara, sehingga kitab-kitab yang beredar di masyarakat sehingga mudah dibeli oleh pendatang asing adalah kitab-kitab keislaman. Hal ini membantah bahwa manuskrip-manuskrip Islam pada masa itu hanya dikuasai segelintir orang Arab saja.
Kembali ke 20.000 manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Saya sangat beruntung bahwa saya memiliki waktu enam bulan tinggal di kota ini pada 2017. Meskipun harus menempuh jarak sekira 40 km setiap kali harus kuliah ke Amsterdam, saya tetap bersyukur. Pasalnya dalam tempo enam bulan tersebut saya telah mengabadikan cukup banyak manuskrip Nusantara yang disimpan di perpustakaan ini.
Dalam tulisan singkat yang insyaallah akan ditampilkan secara berkala di situs kesayangan Anda ini, saya akan mengulasnya sedikit demi sedikit. Memang jauh dari angka 20.000 mansukrip, namun usaha kecil ini semoga bisa membantu menyingkap mutiara yang terabaikan itu.
Diharapkan kita dapat mengintip proses penjagaan dan pengembangan nilai-nilai Islam di sepanjang sejarah yang dilalui masyarakat kita, serta bagaimana dialog yang terjadi antara unsur-unsur kebudayaan yang ada dengan nilai-nilai Islam yang dikembangkan. Semoga.
Penyumbang manuskrip (Nusantara) paling banyak di Perpus Leiden, adalah Snouck Hurgronje, disusul Van der Tuuk. Info ini dapat ditemukan di buku karya Edwin Wieringa.
moga2 banyak para pelajar-profesor mau membuka tabir sejarah&keilmuan yg ada di bumi Nusantara tercinta ini agar lebih mengenali jatidiri bangsa ini
Amin.