Sedang Membaca
TGH. Hasanain Djuaini, Ulama Pelopor Reboisasi
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

TGH. Hasanain Djuaini, Ulama Pelopor Reboisasi

Ketika ia kembali ke kampung halamannya usai menuntut ilmu di Jawa, yang ia pikirkan bukan hanya mengamalkan ilmunya, melainkan juga melakukan penghijauan di atas puluhan hektar lahan yang tandus. Atas jerih payahnya selama dua dekade, berbagai penghargaan telah ia terima.

Namanya Hasanain Djuaini, Tuan Guru Haji adalah gelar yang disematkan di depan namanya oleh masyarakat sekitar. Selain mengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang dihuni ratusan santri, ia juga menjadi aktivis di berbagai kegiatan sosial, dari menjadi Ketua KPU hingga menjadi ketua Forum Kerukunan Umat Beragama.

Namun yang paling fenomenal adalah usahanya menggerakkan warga masyarakat dan para santrinya melakukan penghijauan di puluhan hektar lahan yang sebelumnya gundul.

Rabu kemarin (20/02/17), saya berjumpa dengan beliau dalam acara di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Beliau bercerita program terbarunya: penyelamatan lingkungan dari popok bayi sekali pakai (Pampers). Demi kelancaran program ini beliau membentuk jaringan sukarelawan yang setiap hari mengambil pampers ini dari rumah warga.

Menurutnya, popok ini bisa dimanfaatkan untuk kesuburan tanaman dengan pola tanam yang khas. Beliau menjelaskannya dengan sisipan beberapa istilah kimia. Saya hanya manggut-manggut. Mengangguk meski tidak begitu paham. Tak masalah sih. Sebab, melihat kiprah beliau dalam durasi dua puluh tahun terakhir, rasanya sangat layak jika beliau disebut penggerak fiqh al-biah, alias fiqh lingkungan. Praktis, aplikatif.

Ketika melakukan gerakan reboisasi puluhan tahun silam, tak ada yang menggubris. Usahanya ini dianggap sia-sia oleh masyarakat sekitarnya, mengingat luasnya lahan gundul yang bakal dihijaukan. Penebangan hutan dan tidak adanya upaya mengganti pohon yang ditebang dengan tanaman baru semakin mengkhawatirkan bakal gersangnya daerah yang ia huni.

“Padahal sebelumnya kawasan di sini subur, daerah hutan,” tutur Tuan Guru Hasanain. Kekayaan alam ini malah membuat sebagian masyarakat bersikap manja. Sehingga mereka mele molah doang (mau enaknya saja).

“Kita mau membangun rumah tinggal tebang pohon di hutan. Padahal, hitung-hitungan kasarnya, setiap individu telah mengutang (mengambil) kayu untuk membangun rumah dan perabotan lain sebanyak 127 batang. Maka, kewajiban setiap orang membayar utangnya itu dengan menanam kembali,” katanya.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (3): Menahan Haus dan Lapar

Menurut tokoh agama dari Lombok ini, banyak hambatan yang ia terima di awal mula perintisan. Misalnya, program yang disebut “sejuta pohon” yang dicanangkan pemerintah, ternyata tidak cocok namanya. Karena yang harus ditanam bukan hanya sejuta, tapi jutaan.

Selain itu ia menilai, program tersebut lebih menekankan pohon ketimbang manusia. Ia pun melancarkan kritik, “Sistem proyek cukup merusak,” tambahnya. Pasalnya, sistem ini terlalu menekankan pada uang. Di samping itu, waktu penanaman pohon tidak cocok dengan musim. “Mestinya timing itu melihat musim,” simpulnya.

Masalah kultural juga ia perhitungkan. Orang Sasak, jelasnya, sangat mementingkan peranan tauladan seorang pemimpin. Tuan Guru Hasanain mengutip pepatah dalam bahasa Lombok yang artinya: “Kalau saya belum melihat kamu sendiri melakukannya, pantang aku akan mengikut anjurannmu.”

Maka dari itu, tiada kata lain, ia sendirilah yang harus menjadi pelopor, pendobrak, dan teladan dalam mewujudkan cita-cita reboisasi.

Bukan kerja, Tapi Ngamuk!

Guna mengubah sikap masyarakat itu, Tuan Guru Hasanain menemui warga dan mengajak mereka berdialog. Pertengahan 1990-an ia memulai usaha penghijauan ini. Ia membuka cakrawala berpikir mereka melalui pengajian, bahkan memfasilitasinya dengan dana.

“Saya terpaksa membawa kalkulator ke mana-mana,” katanya mengenang upayanya meyakinkan warga tentang nilai ekonomi jika mereka mau melakukan penghijauan. Ia mengingat, total materi yang ia habiskan dalam pembelian bibit dan usaha pembinaan warga ini sekitar Rp 4,3 miliar.

“Nah, sudah habis biaya segitu masak nggak mau dilanjutkan. Tanggung kan?” katanya sembari tersenyum.

Sudah kepalang basah. Tekad ia canangkan. Hambatan ia terobos. Total, butuh sekitar sembilan tahun untuk merasakan sejuknya suasana hutan yang telah ia rintis bersama warga dan para santri. “Saya sendiri mengatakan, sembilan tahun lalu bukan kerja, tapi ngamuk. Melihat tanah tinggal ampasnya saja,” jelasnya, seraya mengenang peristiwa saat-saat dia baru pulang ke rumah pukul dua dini hari, setelah waktunya dihabiskan di hutan.

“Pionir itu,” kata Tuan Guru Hasanain, “harus mengambil bagian yang paling berat, bagian paling susah, dan bagian paling berisiko.”

Selesaikah masalah yang ia hadapi? Belum. Banyak warga yang punya tanah luas, tapi tidak memiliki dana untuk mengelolanya. “Maka kami beri bantuan tehnis. Tapi tidak cukup juga. Makanya kita beri bantuan bibit.”

Baca juga:  Ekoteologi dan Keadaan Bumi Kita

Tak hanya itu, ia juga pionir dalam bidang pemberdayaan warga masyarakat. Di Dusun Gunung Jahe, kawasan Hutan Sesaot, Lombok Barat, misalnya, dia menyediakan 2.000 pohon bagi satu kepala keluarga, 5 sapi, dan 1.000 ayam disertai kewajiban menanam lahan yang gundul dengan pohon yang disediakan itu. Hasil pengembangannya sapi dan ayam tersebut sebagian besar diambil warga. Efeknya, sekitar 36 hektar kawasan itu dihutankan kembali.

Untuk warga di Dusun Batumulik, dia membuatkan demplot pembibitan tanaman. Warga diajari teknis pembibitan. Sedangkan sumber bibitnya dianakan dalam hutan. Secara gratis warga mendapatkan hasil perbanyakan bibit untuk ditanam lagi di ladang dan kebun mereka.

“Dulu, bibit masih kami antar ke rumah mereka, dan mereka pun harus kami bayar agar mau menanam,” kenang Tuan Guru Hasanain sambil tertawa.

“Kuncinya di pendekatan. Orang jangan sampai dilarang menebang pohon, karena manusia hidup pada dasarnya kan butuh pohon,” tuturnya. Menurutnya, orang boleh menebang pohon asalkan mau menanam lebih banyak daripada jumlah yang ditebangnya. “Kalau menebang satu, ya tanam 100,” lanjut pria yang aktif dalam dialog antar agama ini.

Dia juga setuju hutan lindung tidak boleh diganggu. Kepada masyarakat perlu dijelaskan pohon mana yang boleh ditebang, mana yang tidak boleh. Sebagai contoh ia menyebut pohon asam. Pohon asam sulit untuk ditanam dan membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. “Saya ingin agar mereka mencintai pohon asam, agar mereka tidak menebangnya. Selama ini pohon asam banyak ditebangi untuk membakar tembakau,” katanya.

Karena kerja kerasnya ini, lahan kering puluhan hektar di lembah kembali hijau. Masyarakat menyebutnya Lembah Madani. Sedangkan kompleks Ponpes Nurul Haramain semakin asri dan tampak dikepung hutan mahoni. Di lokasi ini juga sering digelar berbagai acara, dari sarasehan alam, rekreasi, kegiatan perkemahan, dan sebagainya. Uniknya, pesantren ini malah tampak seperi pesantren yang terletak di tengah hutan.

Baca juga:  Jelang 100 Tahun Saifuddin Zuhri: Berdakwah dan Berpolitik

Ramon Magsaysay Award

Kerja kerasnya dalam penghijauan dan pemberdayaan masyarakat membuatnya diganjar “Nobel Asia” alias Ramon Magsaysay Award, yang ia terima di gedung Pusat Kebudayaan Filipina di Manila, 31 Agustus 2011. Memang, ini sebuah penghargaan prestisius. Di Indonesia sendiri hanya ada beberapa orang yang pernah mendapatkan anugerah ini, seperi Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Pesantren Pabelan, dan sebagainya.

Menurut situs Ramon Magsaysay Award Foundation, Tuan Guru Hasanain terpilih karena, “Kepeduliannya terhadap masyarakat berbasis pendekatan pendidikan pesantren di Indonesia, kreatif mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender, kerukunan beragama, pelestarian lingkungan, prestasi individu, serta keterlibatan masyarakat di kalangan mahasiswa muda dan komunitas mereka.”

Sebelumnya, pada 2003 ia menerima penghargaan Medali Ashoka Internasional untuk Social Entrepreneur karena terobosan inovasi persoalan sosial, pluralisme, dan perspektif gender di pondok pesantren dan kehidupan Islam.

Selama tiga tahun ia mendapatkan dana Rp 3,6 juta sebulan yang akhirnya dikembangkan, sehingga memperoleh Maarif Award 2008 dari Institut Kebudayaan dan Kemanusiaan Maarif Indonesia.

Di tingkat lokal ia mendapatkan penghargaan dari Bupati Lombok Barat pada 2004 untuk sekolah Islam yang berusaha keras melestarikan hutan dan air konservasi. Tuan Guru Hasanain dinilai sebagai pengasuh pesantren yang konsisten terhadap konservasi hutan kegiatan murah udara.

Dalam pidato kehormatan penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina, Tuan Guru Hasanain Juaini berkata:

“Kepada anak-anakku di Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri, Narmada, dan untuk seluruh murid-murid perempuan di Indonesia, hadiah Ramon Magsaysay ini untuk kalian semua. Ketahuilah bahwa dalam piagam ini ada goresan tangan wanita cerdas berprestasi, Mrs. Carmencita T. Abella, dan goresan tangan Yang Terhormat Presiden Wanita bermental baja, Gloria Macapagal Arroyo.

Beliau berdua telah turut membuka jalan bagi kalian untuk maju seperti mereka. Teruslah berjuang dan teriakkanlah kepada dunia bahwa tanpa kami kaum perempuan maka tiang-tiang peradaban akan runtuh”.

Luar biasa!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top