Sedang Membaca
Khutbah Jumat: Menumbuhkan Rasa Optimisme di Tahun Pandemi
Noor Sholeh
Penulis Kolom

Penulis pernah mengajar di SMKN 2 Jepara, dan mengabdi di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Jepara. Pernah juga diamanahi menjadi Ketua MWC NU Kota Jepara. Kolom Khutbah Jumat adalah kumpulan naskah-naskah yang pernah disampaikan oleh almarhum dalam mimbar Jumat. Naskah itu kini diketik ulang supaya bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Lahu-alfaatihah..

Khutbah Jumat: Menumbuhkan Rasa Optimisme di Tahun Pandemi

1 A Masjid

Tidak terasa, kita sudah berada di penghujung akhir bulan Muharram 1442 H. Semoga di tahun ini apa yang kita harapkan mampu kita wujudkan. Tentunya, harapan tersebut harus dibarengi dengan penyesalan. Karena tahun kemarin berbagai kesalahan banyak kita lakukan, dan berbagai kebaikan yang belum sempat kita kerjakan.

Berangkat dari penyesalan itulah kita bangun harapan setinggi-tingginya, harapan untuk mengurangi kesalahan dan menambah pundi-pundi amal kebaikan. Oleh karena itu marilah kita berhijrah, jangan sampai kita menjadi orang yang merugi. Orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Harapan dan do’a, pada hakikatnya adalah bagaimana kita menatap masa depan yang lebih baik, semoga do’a dan harapan yang belum kita raih, segera terwujudkan di tahun ini. Amien Ya Rabbal ‘Alamien.

Jama’ah sidang jum’ah yang berbahagia.

Di tahun pandemi seperti sekarang ini, kita harus optimis. Dengan optimis insya Allah segala permasalahan yang terjadi di depan kita mampu terselesaikan dengan baik. Jika profesi kita sebagai guru, jadilah guru yang baik yang bisa menginspirasi anak didiknya. Jika profesi kita sebagai polisi, bantulah masyarakat semaksimal mungkin dan terus berbuat kebaikan untuk membantu sesama. Jika profesi kita sebagai pejabat publik, selalu berbuat jujur di mana pun berada dan berikan yang terbaik untuk masyarakat. Dan bagi adik-adik yang masih sekolah, raihlah prestasi dengan tekun belajar. Hindari kegalauan dan rasa putus asa.

Baca juga:  Masjid Raudhatul Muttaqin: antara yang Tetap dan yang Berubah

Pepatah arab mengatakan, Man Jadda Wajada, barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan berhasil. Dengan begitu, jika bangsa kita bersatu melakukan kebaikan, melakukan perubahan dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang sudah baik ditingkatkan terus kebaikannya, maka kita akan mampu mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar yang dapat menentukan arah masa depan. Sebab itulah kenapa Tuhan menyebut manusia di muka bumi ini sebagai khalifah fil ardh. Yakni sebagai wakil Tuhan di bumi. Karena karakter dari khalifah itu sendiri yang mampu memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sidang jum’ah yang berbahagia..

Kembali dalam memaknai tahun baru hijriyah, tentu sangat berbeda dengan tahun baru masehi. Dari akar filsafat bahasa, masehi diciptakan dari kata yang mempunyai arti “mengusap”, karena salah satu mukjizat Nabi Isa al-masih adalah mengobati orang sakit dengan cara mengusap dan berhasil, sedangkan asal kata hijriah adalah sebuah tindakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang tentunya ke tempat yang lebih prestatif. Perbedaannya adalah masehi berbasis mukjizat, sedangkan hijriah berbasis prestasi dari usaha.

Pertanyaan kita, seberapa besar mukjizat yang hadir dalam diri kita dibanding dengan usaha untuk menghasilkan prestasi kita? Tentu, yang lebih dekat dengan kita adalah usaha, bukan mukjizat, karena kita bukan nabi, tetapi kita adalah manusia yang hidup di alam rasional yang pengaruh hukum sebab-akibat ketimbang hukum “khowarikul adat” yang irrasional. Karenanya, mari kita rayakan tahun baru hijriyah ini dengan memperbanyak usaha, berikhtiar semaksimal mungkin, dan tidak berpangku pada keajaiban. Apalagi hanya sebagai penonton dan tukang komentar. Jangan hanya melihat kesuksesan dari hasil, tetapi lihatlah bagaimana prosesnya.

Baca juga:  Langgam Artistik dan Simbolik Masjid Baitus Shobur

Dengan datangnya pergantian tahun juga, kita telah diingatkan kembali tentang betapa pentingnya waktu. “Karena Siapa yang mengetahui arti waktu berarti mengetahui arti kehidupan. Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri”. Dengan begitu, orang-orang yang selalu menyia-nyiakan waktu dan umurnya adalah orang yang tidak memahami arti hidup. Ulama kharismatik, Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Al-Waqtu fi Hayat al-Muslim menjelaskan tentang tiga ciri waktu. Pertama, waktu itu cepat berlalunya. Kedua, waktu yang berlalu tidak akan mungkin kembali lagi. Dan ketiga, waktu itu adalah harta yang paling mahal bagi seorang Muslim.

Rasulullah dalam sabdanya,

خَيْرُ النًّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“’Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya,

وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَ سَاءَ عَمَلُهُ

sedangkan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya tetapi buruk amal perbuatannya.”’ (HR Tirmidzi).

Dari hadis di atas tergambarkan bahwa kita dituntut untuk menjadi manusia yang pterbaik, yang bisa memanfaatkan usianya dengan memberi dampak positif kepada masyarakat sekitar. Hidup ini sangatlah singkat, sangat sayang jika tidak kita pergunakan sebaik mungkin.

Semoga di tengah ujian yang sedang kita hadapi saat ini, kita semakin sadar betapa Maha Besarnya Allah Swt, yang dengan mudahnya membungkam kesombongan manusia melalui virus yang tak sakat mata. Mari kita memrogramkan diri dengan benteng keimanan dan semaksimal mungkin berusaha melawan hawa nafsu.  Semoga saja, masa kini serta masa yang akan datang, kita semua selalu dalam bimbingan Alloh SWT dan diselamatkan dari tipu daya syetan dan wabah penyakit. Amin Ya robbal Alamin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top