Dalam salah satu episode drakor Hospital Playlist (2020), Joon-wan sambil mengolok teman-temanya mengatakan akan tidak masuk akal bila telepon genggam nantinya bisa digunakan untuk belanja dan mentransfer uang. Scene flashback pada waktu sebelum era smartphone itu seolah ingin menunjukkan bagaimana zaman digital membawa kehidupan kita menggelinding begitu cepat. Hal-hal yang sulit dibayangkan di masa lalu, menjadi hal yang lumrah di masa sekarang. Handhpone yang dulu hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan dan menelepon, sekarang bisa menjadi alat serbaguna untuk membantu pekerjaan manusia. Begitupula berbagai teknologi lainya.
Namun kemudahan yang dirasakan manusia itu, bukanya tanpa resiko. Media sosial yang membuat komunikasi jarak jauh bukan hanya mudah, tetapi juga murah dan bisa diakses siapapun, mempunyai malapateka tersendiri bagi manusia. Sebab ternyata bukan hanya komunikasi yang menjadi semakin masif, penyebaran hoax dan ujaran kebencian juga tidak kalah cepat penyebaranya. Walhasil, polarisasi masyarakat tidak lagi dapat dielakkan. Belum lagi meningkatnya berbagai permasalahan mental, seperti anak-anak yang kecanduan gadget, anak muda yang gampang insecure, sampai meningkatnya angka pengidap depresi serius gara-gara sosial media. (Lebih lengkapnya mengenai dampak media sosial pada kehidupan manusia, silahkan tonton film dokumenter The Social Dilemma (2020)). Ditambah, kejahatan digital juga semakin marak, serta berbagai dampak negatif lainya.
Masyarakat Industri dan Dehumanisasi
Masyarakat industri diartikan sebagai sebuah masyarakat yang dalam proses produksinya didorong penggunaan teknologi modern dan selalu berkaitan erat dengan modernitas. Industrialisasi sendiri tidak bisa terelakkan, ia menjadi keniscayaan bagi seluruh negara dewasa ini, dan dianggap sebagai jalan pintas menuju kemajuan. Sementara itu, transformasi sistem ekonomi dari pertanian tradisional ke bidang industri dan jasa menjadi faktor pendorong perubahan masyarakat dengan karakteristik tersendiri. Karakteristik masyarakat industrial itu antara lain pola hubungan kerja menjadi lebih modern, interaksi sosialnya didorong meraih profit, kesadaran investasi yang tinggi akibat gaya hidup yang hedon, lebih konsumtif akibat dari stabilitas pendapatan, serta persaingan ketat antar masyarakatnya dalam meraih pekerjaan. Karakteristik itu tentunya berkonsekuensi pada kehidupan sosial mereka secara umum, termasuk berimplikasi pada teknologi yang mengalienasi mereka.
Modernisasi yang ditandai dengan masifnya industrialisasi dan berkembang pesatnya teknologi, pada awalnya ditugasi sebagai pembebas bagi manusia dari kerja berat. Namun pada akhirnya, teknologi malah menjadi sesuatu yang mengalienasi manusia. Bukan teknologi yang dikuasai manusia untuk dimanfaatkan dalam membantu kerjanya, tapi justru teknologi yang menguasai manusia. Misalnya fenomena tidak bisa lepasnya kita dari braholo (bahasa Jawa:berhala, cara orang Jawa menyebut gadget dalam konotasi negatif). Teknologi yang mestinya membantu kita dari pekerjaan berat, justru malah malah melahirkan berbagai problematika gawatnya bagi manusia.
Industrialisasi misalnya, memang membuka banyak lahan pekerjaan bagi banyak orang, tetapi ia juga menyebabkan polusi udara perkotaan, serta berbagai pencemaran lingkungan lainya. Praktik kapitalisme dalam ekonomi, membawa pada semakin lebarnya jurang kesenjangan sosial. Media-media informasi mengeksploitasi sentimen paling rendah dan kasar dari manusia, untuk mengejar keuntungan perusahaan, dengan memproduksi berita-berita gosip dan clickbait. Dana besar dikucurkan justru untuk peperangan, meningkatnya angka pengidap penyakit mental, krisis identitas, dan mundurnya demokrasi dengan kepemimpinan politik yang cenderung otoriter, merupakan beberapa contoh problematika gawat akibat modernisasi dan industrialisasi.
Untuk itu, menurut Nurcholis Madjid dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), kita memerlukan sesuatu yang bisa mengerem laju industrialisasi dan modernisasi yang justru menimbulkan dehumanisasi. Diperlukan sesuatu yang menjawab tujuan hidup manusia, yang bisa merubah persepsi mereka secara radikal, untuk membentuk kehidupan yang lebih manusiawi. Jawaban itu menurut Cak Nur bisa ditemukan pada agama. Namun, agama yang Ia maksudkan bukanlah agama dalam arti sosiologis, tapi dalam arti universal. Karena kita tahu, terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara nilai-nilai agama dan perilaku umat beragama.
Agama sebagai Rem
Agama memiliki pangkal-pangkal (terminologi Islam: ushul ad-din) atau ajaran pokok yang memberikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupan mereka. Ajaran pokok itu bila diresapi dan termanisfestasi dalam kehidupan mereka, akan menjauhkan mereka dari berbagai problematika gawat yang mereka hadapi akibat industrialisasi dan modernisasi. Agama menekankan manusia untuh butuh dan percaya pada Tuhan dengan segala sifat kemahakuasaanNya, serta datang dengan doktrin untuk menyadarkan fungsi sosial harta kekayaannya. Agama tidak mendorong manusia untuk meraih profit sebanyak-banyaknya, apalagi sampai mengeksploitasi alam dan makhluk lain. Agama menekankan manusia untuk mengelola bumi seisinya dan mengejar kehidupan abadi setelah kematian dengan beribadah pada Tuhan dan mencintai makhluk-nya.
Dengan pemahaman yang seperti itu, masyarakat industri akan memikirkan dan mengevaluasi kembali cara hidup mereka. Mereka tetap bisa kreatif dalam mengembangkan teknologi, tapi teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi yang mendorong pada perawatan lingkungan, bukan untuk mengeksploitasinya demi keutungan personal. Tujuan prioritas manusia nantinya bukan lagi untuk mengumpulkan sebanyak mungkin profit, tetapi untuk bermanfaat pada sesama. Berbagai aspek dalam kegiatan industri tidak lepas dari prioritas untuk memanusiakan manusia.
Namun, masih banyak pekerjaan rumah bagi umat beragama untuk mewujudkan itu. Agama justru pada kenyataanya malah dijadikan alasan untuk membenci sesama. Sudah jadi rahasia umum, banyak peperangan dan konflik besar terjadi atas nama agama. Lalu, bagaimana bisa agama menjadi solusi bagi dehumanisasi, bila umat beragama justru semakin memperkeruhnya dengan ulah intoleransi mereka? Belum lagi, persoalan umat beragama yang masih pasif dalam menghadapi dehumanisasi teknologi dan industrialisasi secara umum. Umat beragama masih hanya sekedar melakukan penolakan-penolakan pada kebijakan yang dianggap tidak manusiawi, namun tidak terlibat aktif dalam transformasi industrialisasi dan menciptakan teknologi yang mengakomodasi nilai-nilai agama.
Para tokoh agama dan umat beragama secara umum, mempunyai tanggungjawab untuk mendidik umat dengan nilai-nilai pokok agama yang universal, sehingga agama bisa menjadi pendorong kehidupan yang lebih manusiawi atau setidaknya bisa menjadi pengerem bagi laju dehumanisasi dari proses industrialisasi dan modernisasi. Agama jangan hanya terpaku pada pembahasan halal-haram atau hukum suatu masalah, tapi juga bisa mendorong untuk menciptakan solusi, sehingga tercapai maslahah. Di tengah dehumanisasi akibat teknologi dan era industri ini, masyarakat menunggu agama untuk mendorong manusia memanusiakan manusia dalam segala aspek kehidupanya.