Nuzula Nailul Faiz
Penulis Kolom

Mondok di PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa di Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Agama dan Kebahagiaan Sederhana Kaum Marjinal

Tradisi Gedhogan Suku Osing Desa Wisata Banyuwangi

Dalam salah satu penampilan stand up comedy-nya, Komika Abdur Arsyad pernah menceritakan pengalamanya bakti sosial di Desa Ranupani, yang berada di kaki Gunung Semeru. Ia mengisahkan ketika ia menanyakan cita-cita pada anak-anak di sana yang sedang bermain bola, ada seorang anak yang memiliki mimpi sederhana: pengen menjadi petani seperti bapaknya. Abdur kemudian mengomentari, “Sekejam apa negara kita, sampai anak sekecil ini pun tidak berani bermimpi.”

Anak dalam cerita tersebut, bisa menjadi gambaran bagaimana orang-orang desa hidup. Bahkan dalam bermimpi pun, mereka tak ingin muluk-muluk. Sederhana saja. Mimpi yang mungkin bagi orang-orang lain di luar sana, merupakan sesuatu yang mudah untuk digapai. Kesederhanaan dalam bermimpi itu, tentu tidak lepas dari kehidupan sosial dan budaya yang melingkupi mereka.

Lailul Ilham dan Ach. Farid dalam Kebahagiaan dalam Perspektif Masyarakat Marjinal (2019) menggambarkan bagaimana masyarakat marjinal memiliki standar kebahagiaan hidup yang dapat diidentifikasi dalam beberapa aspek: ekonomi, pendidikan, profesi/pekerjaan, dan akses layanan publik. Standar kebahagiaan masyarakat marjinal berdasarkan penelitian tersebut, secara materiil cenderung lebih terjangkau dibanding masyarakat menengah ke atas. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kaum marjinal memiliki standar kebahagiaan yang sederhana.

Kaum Marjinal

Mayarakat atau kaum marjinal merupakan suatu diskursus dalam Sosiologi untuk menyebutkan masyarakat yang pada umumnya memiliki kondisi ekonomi lemah serta tinggal di wilayah pinggiran seperti pedesaan, dimana mereka kurang leluasa dalam mengakses teknologi modern yang menjadi salah satu tolak ukur peradaban manusia. Kaum marjinal juga bisa didefinisikan sebagai masyarakat yang terperangkap dalam lima unsur perangkap kemiskinan (deprativion trap), yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan (Suyanto, 2005).

Eksistensi kaum marjinal dapat terjadi, karena adanya marginalisasi atau peminggiran, penyingkiran, diskriminasi, atau eksploitasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, yang dilakukan oleh kelompok yang lebih kuat secara sosial, sehingga membuat kaum marjinal tidak berdaya dalam mengembangkan potensi diri. Kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai kaum marjinal menurut City Development Strategy (CDS) yaitu: pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar, pinata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen).

Baca juga:  Mengenal Usul Fikih (3): Mapping Pembelajaran Usul Fikih

Kaum marjinal berasal dari golongan yang umumnya tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labour), tidak memiliki tempat tinggal tetap dan pekerjaan yang tidak layak, serta adanya ketergantungan yang kuat dari pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya (Wingnyosoebroto, 2005 & Suparlan, 2014). Selain aspek ekonomi sebagaimana yang dijelaskan di atas, termasuk yang dikategorikan sebagai kaum marjinal yaitu mereka yang selalu terpinggirkan dari berbagai aspek lain, seperti gender, biologis, dan agama. Sehingga komunitas-komunitas seperti komunitas difabel, komunitas waria dan transgender, dan kelompok agama minoritas, dapat dikategorikan dalam kaum marjinal.

Standar Kebahagiaan Kaum Marjinal

Ada beberapa aspek yang diteliti untuk menggambarkan standar kebahagiaan kaum marjinal, yaitu ekonomi, pendidikan, profesi/pekerjaan, dan akses layanan publik. Dalam aspek ekonomi, kaum marjinal sudah merasa tenang dan bahagia jika mereka mampu bekerja (apapun pekerjaan itu), dan hasilnya dapat dikelola untuk mencukupi kebutuhan pokok hidup, seperti kebutuhan makan dan mampu membeli atau memperbaiki peralatan-peralatan rumah.

Untuk aspek pendidikan, kaum marjinal merasa bahagia bila dapat menyekolahkan anak-anaknya, mampu membayar biaya pendidikan (SPP) dan kebutuhan sekolah lainya, serta uang jajan harian anaknya. Itulah mengapa mereka merasa terbantu sekali dengan adanya BOS dan program beasiswa bagi anak yang tidak mampu dari Pemerintah.

Dalam aspek profesi, kaum marjinal sudah cukup bahagia, ketika mampu terserap lapangan pekerjaan di perusahaan tertentu tanpa mempersoalkan jenis dan posisi kerjanya. Ini membuat mereka sadar akan pentingnya pendidikan, sehingga mendorong anak-anaknya untuk bersekolah. Sementara dalam aspek layanan publik, kaum marjinal merasa bahagia dengan sistem pelayanan yang baik dan ramah, dalam pemerintah daerah (Ilham & Farid, 2019).

Baca juga:  Pemetik Puisi (6): Azan dan Peristiwa

Dari pemaparan standar kebahagiaan kaum marjinal itu, bisa dilihat bagaimana sederhananya kebahagiaan mereka. Namun, apakah kebahagaiaan mereka yang sederhana itu sudah diwujudkan bersama oleh penguasa, orang-orang kaya, kaum terpelajar, dan kita semua?

Peran Agama

Agama mempunyai peran krusial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Agama sendiri memiliki potensi besar dalam dirinya untuk berkontribusi dalam mengatasi problem manusia. Menilik dari sejarahnya, agama-agama lahir dan besar dengan bersinggungan masalah-masalah yang disebabkan kezaliman sistem sosial ekonomi masyarakat waktu itu. Melihat itu, agama perlu didalami peranya dalam mewujudkan mimpi sederhana kaum marjinal.

Menurut Ritzer, agama dapat memberikan keyakinan baru bagi manusia, berupa spiritualitas yang bisa mendasari perilaku dan tindakan-tindakan baru dalam mengubah lingkungan alam dan sosial (George Ritzer, 1980). Karena itu, tindakan-tindakan peminggiran terhadap komunitas tertentu dalam berbagai aspek sosial yang dilakukan kelompok yang lebih kuat, bisa direm oleh legitimasi spiritualitas agama yang membela kaum marjinal. Apalagi agama menjadi faktor yang kuat dalam membentuk solidaritas sosial, yang itu bisa menjadi kekuatan besar untuk meminimalisir konflik-konflik yang terjadi di masyarakat.

Masyarakat agama memang tidak bisa menghindar dari stratifikasi kelas sosial. Namun bagi kelompok menengah ke bawah, agama dianggap sebagai representasi kekuatan yang mampu mengakomodasi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Yang seyogyanya tidak hanya dibuat untuk menutupi kelemahan mereka dengan ritual keagamaan belaka (Pals, 1996), namun juga dibuat untuk menggalang kekuatan untuk mengatasi problem struktural yang menimpa mereka secara sistematis.

Dalam mewujudkan mimpi sederhana kaum marjinal, agama bisa berperan untuk memberikan panduan moral dalam bertindak yang bersifat universal sehingga muncul bentuk-bentuk tertentu sebagai mainstream (Rahman, 2019). Bagi kaum marjinal sendiri, agama bisa menjadi kompas mereka dalam memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara bagi masyarakat secara umum, agama menjadi panduan bagi mereka untuk menolak dan melawan segala bentuk peminggiran kelompok oleh kelompok lainya, serta untuk mewujudkan kehidupan yang adil bagi semua pihak.

Baca juga:  Anak dan Sekolah

Dalam Islam, Al-Qur’an mengutuk sikap ekonomi yang tidak produktif dan egois (QS. At-Taubah: 34-35). Semangat itu konsisten dengan semangat keadilan berdasarkan persamaan manusia (egaletarianisme) yang juga ada pada Islam dan agama-agama monoteis lainya. Islam mengakui adanya variasi kemampuan tingkatan ekonomi manusia, sehingga Islam mendorong setiap individu untuk bekerja secara optimal sesuai kemampuanya dan mewujudkan peraturan sosial-ekonomis yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Islam melarang adanya pembenaran pada “struktur atas”, khususnya sistem pemerintahan dan perundangan, terhadap praktik penindasan (QS. Al-Baqarah: 188).

Selanjutnya, dilembagakanlah kewajiban zakat dan shodaqoh yang dilabeli sebagai penggunaan harta “di Jalan Tuhan”, karena memang sejalan dengan misi kemanusiaan yang diemban kenabian. Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai finishing touch usaha pemerataan ekonomi masyarakat (Madjid, 2019). Agama memiliki kelengkapan pesan moral, sumber peraturan sosial ekonomis yang adil dan egaliter, serta kelembagaan filantropi sebagai usaha pemerataan, yang punya potensi besar mewujudkan mimpi sederhana kaum marjinal. Ini sejalan dengan visi agama untuk memanusiakan manusia.

Wallahu a’lam bish showab.

 

Referensi

Ilham, Lailul dan Farid, Ach. “Kebahagiaan dalam Perspektif Masyarakat Marjinal (Studi Masyarakat Desa Hadipolo Argopuro Kudus Jawa Tengah”. Jurnal Sosiologi Agama, Vol. XIII, 2019.

Madjid, Nurcholish. Karya Lengkap Nurcholish Madjid. Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019.

Pals, Daniel L. Seven Theories Of  Religion. New York: Oxford  University  Press, 1996.

Rahman, Ratnah. “Peran Agama dalam Masyarakat Marginal”. Sosioreligius, Vol. I, Juni 2019.

Ritzer, George. Sociology, A Multiple Paradigm Science. London :Allyn And Bacon Inc, 1980.

Suparlan, P. Orang Gelandangan di Jakarta. Jakarta: Sinar Harapan, 2014.

Suyanto, B. “Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Marginal di Perkotaan” dalam Moh. Ali Aziz (dkk.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: LKIS, 2015.

Wingnyosoebroto, S. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top