Makinuddin Samin
Penulis Kolom

Sastrawan. Novelnya yang sudah terbit antara lain, Ranggalawe dan Ahangkara. Aktivis Lesbumi Cirebon.

Kita dan Tragedi 65 (6): Gestapu dan Arwah Para Jenderal

Jendral

Sebelum pecah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965, dalam tubuh Angkatan Darat (AD) terdapat empat faksi; 1) Kubu Jenderal Nasution; 2) Kubu Jenderal Yani; 3) Kubu Jenderal Suharto; dan 4) Kelompok perwira binaan Biro Khusus PKI. Keempat kelompok itu saling bermusuhan, secara terang-terangan maupun diam-diam.

Januari 1965 Letnan Jenderal Yani, saat itu Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah seorang deputinya untuk menangkap Jenderal Nasution yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf ABRI (Menko Hankam Kasab). Menanggapi rencana itu, seperti dituturkan Brigadir Jenderal Abdul Kadir Besar kepada Salim Said dalam “Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Suharto”, kubu Nasution telah menyiapkan senjata untuk melawan secara fisik jika Jenderal Nasution jadi ditangkap atas perintah Jenderal Yani. Bentrok dua kekuatan ini batal terjadi setelah sejumlah jenderal senior ikut melerai.

Rencana penangkapan Jenderal Nasution oleh Jenderal Yani itu bukan peristiwa pertama yang menunjukkan permusuhan kedua kubu tersebut. Di penghujung 1964 Jenderal Yani juga pernah menunjukkan permusuhannya dengan cara menarik pasukan AD yang berjaga di rumah Jenderal Nasution. Jenderal Muchlas Rowi dalam “Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Pemahaman M. Muchlas Rowi” memberikan kesaksian tentang ketidaksukaan Jenderal Yani kepada Jenderal Nasution. Jenderal Yani mengatakan kepada Jenderal Rowi “Asal Kamu tahu saja, bahwa saya tidak respek lagi kepada Jenderal Nasution, karena dia berani menentang perintah Presiden. Saya tidak akan menginjakkan kaki lagi di kantor Menko Hankam.”

Baca juga:  Jokowi, Putin, dan Kemenangan Kapitalisme

Jenderal Yani juga menjadi sasaran kritik dan ketidaksukaan para perwira binaan Biro Khusus PKI, khususnya para perwira yang bertugas di Jawa Tengah. Banyak perwira yang tidak suka dengan gaya hidup Menpangad yang disebut mewah dan jauh dari sederhana di banding mereka yang berada di daerah.

Pada 1956 Jenderal Nasution, saat itu sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) berusaha membersihkan AD dari korupsi, Kolonel Suharto menjadi salah satu yang diperiksa oleh Inspektorat Jenderal AD dalam rencana bersih-bersih tersebut. Brigadir Jenderal Sungkono, orang yang memimpin pemeriksaan keuangan Kodam IV/Diponegoro menemukan penyelewengan yang dilakukan Kolonel Suharto selaku panglima Kodam. Menurut Jenderal Pranoto Reksosamudro dalam “Catatan Jenderal Pranoto Reksosamudro”, Suharto telah melakukan barter liar gula dengan beras Thailand, dia juga melakukan monopoli cengkih dari asosiasi pabrik rokok di Jawa Tengah, dan penjualan besi tua.

Akibat temuan Inspektorat Jenderal AD, Kolonel Suharto hampir dipecat Jenderal Nasution, karena campur tangan Jenderal Gatot Subroto, saat itu wakil KASAD, Kolonel Suharto tak jadi dipecat dari militer. Suharto akhirnya “dibuang” di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SEKOAD) di Bandung. Peristiwa itu membuat Suharto tak terlalu suka kepada Jenderal Nasution. Menurut Salim Said, Jenderal Nasution menyebut Jenderal Suharto sebagai oportunis sejak zaman revolusi.

Baca juga:  Mimbar Jumat Roestam Hardjodipoero

Pada saat Yani diangkat menjadi KASAD menggantikan Jenderal Nasution, Jenderal Suharto sangat kecewa sebab Yani hanya seorang kolonel sedangkan dirinya sudah Brigadir Jenderal. Seperti ditulis oleh Daud Sinyal dalam “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”, Suharto mengadukan kekecewaanya itu kepada Jenderal Gatot Subroto. Saat itu Jenderal Gatot hanya bisa menghibur dengan mangatakan “Waktumu akan sampai, malah akan mencapai kedudukan yang lebih tinggi.”

Salim Said menulis bahwa Yani atau orang-orang sekitar Menpangad menilai Suharto sebagai “jenderal bodoh.” Mungkin Suharto tahu bahwa dirinya diolok-olok oleh kubu Jenderal Yani, mengingat jenderal dari Kemusuk itu dikelilingi oleh para prajurit-intelijen cerdas seperti Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Yoga Sugama, dan lain-lain.

Tidak seperti ketidaksukaan Jenderal Yani kepada Jenderal Nasution yang ditunjukkan secara terang-terangan. Alih-alih menunjukkan ketidaksukaan kepada orang lain, Jenderal Suharto justru menyembunyikan ketidaksukaannya kepada Jenderal Nasution maupun kepada Jenderal Yani dengan sangat rapi.

Sejarah kemudian mencatat bahwa orang yang hampir dipecat oleh Jenderal Nasution dari dinas ketentaraan dan dijuluki sebagai “jenderal bodoh” oleh kubu Jenderal Yani ternyata mampu memenangkan perebutan kekuasaan pasca G30S. Salim Said benar, bahwa sebelum Gestapu sikap kelompok Suharto terhadap Sukarno dan PKI memang tak mudah dicium. Termasuk sikapnya kepada kubu Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang tak pernah ditunjukkan warnanya. Alfatiha untuk arwah para jenderal dan para korban lainnya.

Baca juga:  Gagasan Komite Hijaz Jilid II
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top