Sedang Membaca
Guru Madrasah Berprestasi (4): Mbah Guru Ishaq, Lillahi Ta’ala Mengajar Melampaui Batas Usia
Nidlomatum MR
Penulis Kolom

Penulis dan kontributor NU Online Bogor.

Guru Madrasah Berprestasi (4): Mbah Guru Ishaq, Lillahi Ta’ala Mengajar Melampaui Batas Usia

Whatsapp Image 2022 11 22 At 14.58.28

Momentum pensiun sering kali dinanti untuk beristirahat menikmati masa-masa tua. Namun, tampaknya hal itu tak berlaku bagi Muhammad Ishaq, guru Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Sarangan, Desa Sarangan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro. Di usia 65 tahun dia tetap semangat mengajar dan membuktikan bahwa niat lillahi ta’ala itu masih menyala.   

Secara administrasi, Muhammad Ishaq sudah sejak tahun 2016 lalu tidak bisa menerima sertifikasi sebagai guru Bahasa Jawa, karena usia lebih 58 tahun. Namun, karena sulitnya mencari guru Bahasa Jawa yang kompeten, dan juga pihak sekolah butuh sesepuh yang bisa membimbing serta karena dedikasinya, Mbah Guru, demikian biasa disapa anak didiknya tetap berlanjut mengajar sampai saat ini.

Konsisten Ikhlas Mengajar 

Hingga kini, kakek kelahiran Bojonegoro, 2 Mei 1957 itu tetap mengamalkan ilmunya meski harus membagi waktu dengan aktivitas sehari-harinya sebagai petani dan juga imam masjid di desanya. Setiap pagi sebelum ke sekolah, dia menyempatkan diri ke sawah terlebih dahulu, pulang sekolah pun mulai sibuk dengan aktivitasnya sebagai imam masjid. Meskipun anak-anaknya sudah sukses dengan pekerjaannya masing-masing, namun Mbah Guru tak ingin berhenti mengajar. Pengabdian di dunia pendidikan konsisten dilakukan karena memegang teguh pesan dari KH. Sholeh, pendiri Pondok Pesantren Attanwir Talun Sumberrejo Bojonegoro, tempat Mbah Guru menimba ilmu.

“Dulu kiai saya, Mbah Yai Sholeh, Pondok Pesantren Attanwir, Sumberrejo, Bojonegoro berpesan untuk menghidupkan dan mengabdi di dunia pendidikan, insyaallah diberikan keberkahan, akhirnya setelah lulus sekolah saya mulai ngajar di Dusun Jombang Kapal, Desa Bumirejo, Kecamatan Kepohbaru, Bojonegoro,” ujar Mbah Guru Ishaq mulai berkisah.

Baca juga:  Mirabeau dan Tan Malaka: Teruntuk Gus Im

Mbah Guru pun masih ingat dengan jelas pertama kali mengajar yakni 2 Mei tahun 1977, atau bertepatan saat ulang tahun ke-20. Kala itu, menurutnya, tidak ada istilah gaji atau “bisyaroh”, yang ada guru diberi imbalan dengan iuran sembako bergilir, atau hasil bumi dari wali murid yang diajar. Karena sistem ini pula, sering kali tak banyak yang mau mengajar dan lebih memilih untuk bertani atau berkebun dengan hasil yang lebih menjanjikan.

“Pada awal-awal mengajar tidak ada honor apa pun, (kecuali) hanya untuk beli sabun, dan tidak ada perhatian dari pemerintah pada saat itu,”  ujarnya.

Namun, karena niat mengamalkan ilmu, Mbah Guru pun bersemangat mengajar di Kepohbaru hingga menikah dengan Khomsatun, orang asli sana. Kemudian, ketika istrinya hamil, dan hendak melahirkan pulanglah Mbah Guru ke kampung asalnya di Desa Sarangan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro dan mengajar di MI. Ketika mengajar di Sarangan, Mbah Guru sempat ditawari pekerjaan sebagai pegawai bank di daerah Kabupaten Tuban dan dia terima sehingga melepas pekerjaannya sebagai guru.

Profesi sebagai pegawai bank pun tidak berjalan lama, karena dalam hatinya masih berat meninggalkan murid-muridnya. Akhirnya, ia ini mengundurkan diri dan kembali mengajar di MI Sarangan sebagai guru Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Jawa. Mbah Guru mengaku, paling terkesan mengajar di MI karena melihat tingkah-tingkah lugu anak-anak.

Baca juga:  Kala Kiai As'ad Dikriminalisasi

“Kadang-kadang ketika diterangkan anak-anak ngantuk, kalau kelas 1 banyak anak yang kencing di celana,” imbuhnya sambil menahan tawa.

Meski mengajar, Mbah Guru yang dikarunia tiga orang anak ini, sejak dulu tetap melakukan aktivitas lain untuk menghidupi keluarganya. Pernah dulu menjadi tengkulak gaplek (singkong yang dikeringkan) dan mengambilnya keliling ke rumah-rumah petani singkong di Kabupaten Tuban. Kebetulan, kediaman Mbah Guru berada di bantaran Bengawan Solo yang memisahkan antara dua kabupaten, Bojonegoro dan Tuban.

Sebagai tengkulak gaplek, Mbah Guru berjalan berkilo-kilo meter dan bahkan ketika kemarau harus menyeberang langsung bengawan meski menantang maut dengan menggotong gaplek. Hal itu dilakukan di waktu usai mengajar. Seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 1990-an tradisi bisyaroh guru mulai ada. Termasuk di MI Sarangan, guru-guru mulai menerima bisyaroh (gaji) meski tak seberapa dari hasil mendidik siswa.

Gaptek, Berulangkali Tak Lulus Proses Sertifikasi

Kemudian, secercah perhatian pemerintah muncul dengan adanya peraturan tentang sertifikasi guru yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), yang menjadi angin segar bagi tenaga didik baik yang mengajar di swasta maupun negeri. Termasuk, menjadi asa bagi Mbah Guru.

Mbah Guru pun berikhtiar untuk mengajukan sertifikasi namun beberapa kali tidak lulus. Alasannya, untuk pengajuan butuh kemampuan menggunakan komputer sementara karena pengaruh usia yang sudah menginjak kepala lima, Mbah Guru tidak bisa menggunakan gadget atau media elektronik lain kecuali hanya bisa menekan tombol power untuk menyalakan dan mematikan.

Baca juga:  Kiai Najib Abdul Qodir Al-Hafidz: Sang Guru Sejati

“Saya sempat putus asa, dan tidak melanjutkan mengajukan sertifikasi, karena sudah merasa puas dengan rezeki yang saya dapat selama ini, selain itu Alhamdulillah anak-anak saya juga sudah sukses semua, ada yang jadi CEO perusahaan media sekaligus dosen, ada yang mengajar,” ujarnya.

Namun, karena dorongan anak-anaknya serta rekan-rekan guru yang ada di MI Sarangan termasuk bantuan mereka, akhirnya pada tahun 2013, Mbah Guru mengajukan sertifikasi lagi yang hanya mengandalkan doa serta usaha sebisanya.

Tak disangka, tepat ketika Mbah Guru pulang dari Dusun Jombang Kapal, Kepohbaru, tempat dia mengajar pertama kali, dan di perjalanan, dia mendapat kabar bahwa sertifikasinya lulus yang langsung disambut dengan sujud syukur dan menangis, terharu mendengar kabar bahagia ini.

“Alhamdullilah sertifikasi berhasil pada tahun 2013 hingga 2016 (karena saat itu sudah usia 60 tahun), saya menikmati sertifikasi 3 tahun, uang sertifikasi itu saya kumpulkan dan akhirnya saya pakai untuk berangkat umrah ke Tanah Suci bersama istri dengan tambahan uang dari anak-anak saya. Karena sekarang sudah usia 60 lebih jadi tidak lagi mendapatkan sertifikasi, sekarang mengajar kembali seperti niat awal yakni lillahita’ala,” pungkasnya mengakhiri wawancara.

Artikel pertama kali dimuat di NU Online. Diterbitkan kembali dalam rangka memperingati Hari Guru 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top