Muhammad Az-Zamami
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly An-Nur II Malang

Narasi Rajab (1): Nama dan Asal Mula

Rajab

Di antara fenomena menarik di Indonesia adalah tingginya animo masyarakat dalam beragama. Tingginya animo tersebut dibuktikan dengan banyaknya diskusi, entah di ruang publik atau privat yang membahas dan menyebar informasi yang berkaitan dengan agama secara sukarela. Kegiatan ‘diskusi’ itu semakin menguat menjelang dan berlangsungnya hari-hari besar Islam.

Menjelang Ramadan, keutamaan tentang dua bulan sebelumnya, Rajab dan Sya’ban menjadi salah satu pembahasan yang ramai diperbincangkan di ruang tersebut. Informasi tentang fadhailul-l ‘Amal, ragam ibadah sunah yang dilakukan di bulan tersebut menjadi salah satu topik utama.

Namun, keinginan menyalurkan energi baik itu tak disertai verifikasi informasi yang efektif. Ibn Hajar, melalui kitabnya Tabyinu-l ‘Ajab fi Ma Warada fi Syahri Rajab, Sebuah Ulasan Memukau Tentang Narasi di Bulan Rajab, telah mengulas secara luas tentang ragam narasi yang masyhur berkaitan dengan bulan Rajab. Insyaallah, dengan kekurangan di sana sini penulis akan menginterpretasikan isi kitab tersebut;

Menurut Ibn Dahiyah, Rajab mempunyai ragam bentuk jama’ (plural). Di antara bentuk plural tersebut adalah ارجاب, رجبانات, ارجبة, ارجب, اراجب, اراجيب, رجابي , secara berurutan adalah; Arjab, Rajabanat, Arjibah, Arjub, Arajib, Arajib (dengan huruf Ya’ panjang), dan Rajabi.

Selain memiliki nama yang jamak dikenal, Rajab juga memiliki kurang lebih delapan belas nama. Nama-nama tersebut adalah;

  1. Rajab, nama yang umum dikenal. Dalam Bahasa Arab, derivasi kata tersebut adalah kata رجّب, Rajjaba yang bersinonim dengan عظّم, mengagungkan. Hal ini karena, Rajab di antara bulan yang diagungkan di era Jahiliyah.
  2. Al-Asham, yang berarti tuli. Dalam bulan tersebut, masyarakat Jahiliyah vakum dari perang. Kebisingan genderang perang tak terdengar di bulan tersebut.
  3. Al-Ashab, bulan curahan. Hal ini karena adanya beberapa kepercayaan masyarakat Jahiliyah tentang rahmat Allah yang diturunkan pada bulan tersebut.
  4. Disebut demikian karena adanya kepercayaan bahwa setan dirajam pada bulan tersebut.
  5. Al-Syahr al-Haram, bulan haram (mulia).
  6. Al-Hurum. Disebut demikian karena kesucian bulan tersebut telah purwa. Artinya, anggapan akan kesucian bulan ini telah ada semenjak era Muhdhar bin Nizar bin Adnan, kakek Baginda Rasul ke 17.
  7. Al-Muqim. Disebut demikian karena kemuliaan bulan tersebut masih ada hingga sekarang.
  8. Al-Mu’alla. Disebut demikian karena Rajab adalah salah satu bulan utama masyarakat Jahiliyah.
  9. Al-Fard, berarti tunggal. Disebut demikian karena Rajab adalah satu diantara Asyhuru-l Hurum, bulan-bulan mulia.
  10. Munshilu-l Asinnah, hari dicabutnya ujung tombak. Ini merupakan simbolisasi akan vakumnya perang saat itu.
  11. Munshilu-l Illi. Mempunyai arti yang sama dengan sebelumnya
  12. Munazziu-l Asinnah.
  13. Syahru-l Athirah. Al-Athiyrah bisa diartikan dengan sembelihan. Dahulu, masyarakat Jahiliyah melakukan ritual ini di bulan Rajab. Namun hal itu kini dilarang karena hadis Nabi, [1]لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ , tidak ada Far’ dan ‘Athirah.
  14. Al-Mubari’, yang artinya sang pembebas. Bulan Rajab adalah simbol terbebasnya masyarakat, khususnya Jahiliyah dari peperangan, sikap buruk dan kemunafikan.
  15. Al-Mu’isy’isy. Bulan ini juga digunakan masyarakat Jahiliyah untuk membedakan mana yang golongannya dan mana yang bukan. Cara mereka membedakan mereka sederhana, dengan melihat apakah dia mau diajak perang atau tidak.
  16. Syahru Allah, bulannya Allah.
  17. Disebut demikian karena vakumnya kegiatan masyarakat dari perang. Dalam bahasa Arab , peperangan atau qital bersinonim dengan kata Rajab.
  18. Disebut Rajab karena derivasi dari kata الرواجب, seperti dalam No. 17
Baca juga:  Inilah Pedang Nabi Muhammad yang Berasal dari Nusantara

Kedua nama terakhir adalah hasil perbedaan pendapat tentang derivasi kata Rajab. Perbedaan tersebut timbul dari adanya kabar burung yang berhembus tentang peristiwa Isra’ pada bulan tersebut. Pernyataan tersebut dibantah oleh al-Harabi. Ia menambahkan bahwa peristiwa Isra terjadi pada malam 27 Rabiul Awwal.

Sekian.

[1] ص85 – صحيح البخاري – باب الفرع – المكتبة الشاملة الحديثة

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top