Sedang Membaca
Ruang Dakwah, Ulama Perempuan, dan Keadilan Berilmu
Mutimmatun Nadhifah
Penulis Kolom

Mahasiswa Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ruang Dakwah, Ulama Perempuan, dan Keadilan Berilmu

Pada 30 Maret 2018, Ustaz Abdul Somad hadir di Masjid Raya Bandung, Jawa Barat. Acara di masjid ini menjadi bagian dari safari dakwahnya di Bandung selama libur akhir pekan. Bandung dipilih karena antusias yang tinggi dari masyarakat. Ribuan jamaah laki-laki dan perempuan memenuhi masjid bahkan jamaah perempuan pun rela mendengarkan ceramah dari halaman masjid. Saat Ustaz Somad datang pada sore hari, jamaah perempuan menangis histeris setelah rela menunggu dari siang (Republika, 31 Maret 2018).

Jamaah perempuan mengakui mereka terlampau senang saat bertemu dengan Ustaz Somad karena sebelumnya hanya nonton ceramah-ceramahnya di Youtube. Kita dikejutkan oleh tangisan jamaah perempuan saat bertemu dengan ustaz Somad. Masjid tidak hanya menjelma Rumah Tuhan, ruang kebudayaan atau keilmuan tapi juga menjelma ruang fanatisme dakwah terhadap ustaz yang sedang viral di media sosial. Masjid pun mirip dengan panggung konser yang mempertemukan fans dengan artis: menangis histeris, minta tanda tangan lalu welfie. Bedanya di masjid diselingi mengaji meski nyaris kehilangan sakralitasnya.

Tangis jamaah perempuan di Bandung dan segala tangis perempuan serupa dalam ruang-ruang pengajian khususnya Ramadan ini adalah bagian dari perkembangan kesalehan aktif yang tumbuh di Indonesia pada enam tahun pertama abad ke-21. Fenomena tangis dalam ruang dakwah di Indonesia juga memiliki kesamaan dengan fenomena dakwah di Mesir setelah gembosnya negara Islam radikal di penghujung 1990-an.

Semula tangis menjadi puncak dari perenungan yang hadir dari laku pertobatan Muslim. Tapi dalam pengajian mutakhir, tangis tak hanya membawa pengertian hubungan spiritualitas tinggi hamba dan Gusti tapi juga menyeret sekian benda dan makna lain seperti perangkat-perangkat dramatik pencahayaan, musik, tata panggung yang mempengaruhi alam perasaan dan pikiran umat dakwah. Mereka menangis bersama.

Kisah inspiratif atau hikmah dakwah yang disampaikan bercampur dengan air mata kekaguman. Semua itu biasa ditujukan untuk menggerakkan emosi dan meningkatkan moral jamaah (Greag Fealy, 2012) dan sekali lagi bukan gapaian bersama pada puncak spiritualitas, kedaulatan berilmu termasuk yang dialami jamaah perempuan pengajian Ustaz Somad.

Air mata perempuan dalam pengajian mutakhir menandakan jamaah perempuan tidak butuh berargumentasi secara keilmuan. Kesejarahan masjid yang terwariskan sampai sekarang  menempatkan perempuan dalam ruang lebih sempit dari dominasi ruangan dan gagasan jamaah laki-laki.

Baca juga:  Kocak! Aksi Spontan Siti Walidah, Istri Pendiri Muhammadiyah Itu

Kita tentu ingat tabir yang menjadi sekat antara jamaah perempuan dengan laki-laki. Tabir menjadi simbol kuat bahwa tidak hanya raga yang perlu dipisah tapi juga gagasan-keilmuan untuk perempuan perlu ditabiri dan mereka menerimanya sebagai sebuah kelumrahan. Sesekali, rentetan kesulitan atau kendala dialami perempuan di masjid, seperti tanya-jawab masalah keperempuanan.

Akhirnya, perempuan membuat keputusan lain dengan mencipta pengajian khusus dengan aktor dakwah perempuan meski ini hanya sebagai persediaan bukan kesadaran-kebutuhan mutlak seperti dalam kesejarahan pengajian perempuan di awal pembentukannya di Indonesia.

Era orde Baru menjadi tanda lahir dan berkembangnya beberapa lembaga sosial-keagamaan perempuan di Jakarta. Salah satu tokoh terkenal dan tercatat sebagai pelopor pengajian lalu mendapat predikat “ulama perempuan” di Indonesia adalah Suryani Thahir.  Suryani menyadari pengajian atau majlis taklim untuk kalangan perempuan dianggap mendesak.

 

Hal ini berdasar pada kenyataan yang dilihatnya di Jakarta pada masa itu, kaum ibu memiliki waktu luang selain tentu alasan akses pengetahuan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Majlis taklim yang didirikannya pada akhir 1960-an juga dipicu alasan ideologis. Pembangunan dan modernisasi yang diwacanakan pemerintah Orde Baru belum menyentuh kalangan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan.

Suryani Thahir (foto: republika)

Ida Rasyidah  (2000: 174) menulis majlis taklim asuhan Suryani dimulai dari Masjid Al-Taqwa di kompleks Yayasan Perguruan Attahiriyah, yayasan yang didirikan ayahnya di daerah Jakarta Selatan. Majlis taklim yang dikelola Suryani semula hanya diikuti sebanyak 12 orang lalu pelan-pelan menyebar ke berbagai daerah seperti Bekasi dan Bogor dengan jumlah ribuan orang.

Suryani tidak hanya menjadi pelopor pertama tapi sekaligus bukti capaian perempuan untuk tidak selalu menjadi jamaah pendengar tapi juga pelaku utama pengajian. Pembentukan dirinya sebagai pendakwah tidak bisa dilepaskan dari pendidikan keluarga juga lembaga keislaman lain yang membentuknya sejak kecil lalu diperkuat dengan pendidikan tingginya yang diraih di Kairo, Mesir.

Baca juga:  Siti Umniyah, Perintis Taman Kanak-kanak Muhammadiyah

Terobosan yang tidak lazim pada masa itu adalah pemilihan masjid sebagai ruang majelis taklim yang dikelolanya. Masjid yang selalu dianggap menjadi ruang lelaki berhasil ‘direbut’ dengan menjadikannya sebagai lembaga pembelajaran bagi kaum perempuan. Selain itu, metode dakwah pun diganti dengan metode tanya jawab dan kursus Bahasa Arab dengan tujuan agar jamaah yang dipimpinnya bisa mengakses ilmu pengetahuan dari sumber aslinya secara mandiri. Beberapa tahun kemudian, dakwah tidak hanya dilangsungkan di masjid, radio dan televisi menjadi media lain untuk dakwah Suryani.

Kisah Suryani menjadi acuan kecil untuk memahami pembentukan majelis taklim di kalangan perempuan Muslim di Indonesia sekaligus tokoh-tokoh yang membentuknya. Selain itu, juga menjelaskan sekian capaian ruang dakwah. Dakwah radio dan televisi dilakoninya usai bertarung dan membuktikan keberhasilan pembelajaran perempuan di masjid.

Selain Suryani, salah satu ulama perempuan di Indonesia yang mengambil peran dalam majlis taklim bernama Tutty Alawiyah. Tutty disebut sebagai tokoh yang mengembangkan  majelis taklim di kalangan perempuan pada 1980-an. Baginya pemberdayaan perempuan tidak cukup dengan model ceramah tapi juga dengan model dialog. Maka, program-program peningkatan mutu pendakwah dilakukan dengan mengadakan lokakarya atau seminar selain penguatan administrasi keuangan lembaga (Murodi, 2002).

Kesejarahan ulama perempuan menjauh dari pengertian capaian ketenaran dan monopoli ruang pengajian. Lebih dari itu, peran ulama perempuan dan keberhasilan pengajian yang dikelolanya menerangkan kesanggupan dan kesungguhan perjuangan mencapai pembebasan perempuan secara umum  dari derita ketidakadilan berilmu.  Kita yang membaca jalinan cerita turut merasakan gejolak keilmuan yang ingin dicapai ulama perempuan dan jamaah perempuan yang tercerahkan. Semua memiliki predikat yang sama sebagai pembelajar.

Sekarang, kita berada dalam dilema zaman, peluang dan alam keterbukaan yang disadari perempuan Muslim menggerakkan mereka pada tubuh di ruang-ruang pengajian. Tapi mereka tetap dikendalikan ‘kesadaran’ untuk tidak mengakui sepenuhnya hak mereka sebagai pelaku dakwak. Dakwah bagi perempuan bukan untuk dicipta tapi untuk didengar, diterima, dan dihayati.

Baca juga:  Rabi’ah al-Adawiyah; Menjadi Sufi Sejak Dilahirkan

Kelas menengah perempuan Muslim membangkitkan kembali rupa majelis taklim khusus perempuan dengan pendakwah dari perempuan. Sebagaimana lazimnya pengajian di perkotaan, pengajian tidak hanya berpusat di masjid sebagai pusat ibadah umat tapi juga terlaksana di musala pusat perbelanjaan, musala perumahan megah, juga studio televisi. Biasanya jamaah mengenakan seragam berwarna putih atau warna khas lain sebagai simbol pengajian  tokoh tertentu yang boleh berganti sesuai kesepakatan.

Capaian ini barangkali mereka definisikan sebagai bentuk kemenangan perempuan Muslim meski sepertinya untuk mencipta ulama perempuan sering menemui kegagalan bahkan ramai hujatan seperti yang pernah terjadi pada Okky Setiana Dewi dan beberapa ustazah seleb lainnya.

Kegagalan ini akhirnya membuat perempuan Muslim menempuh jalur lawas dengan memperkenankan laki-laki kembali menjadi pengemudi dakwah. Secara kuantitas laki-laki memang kalah dalam ruang besar pengajian perempuan Muslim kelas menengah, tapi secara ideologi dan gagasan tetap mendominasi pengajian. Akhirnya, seperti yang kita saksikan, pengajian bukan tanda kemenangan berilmu perempuan Muslim tapi hanya euforia dan perayaan kesalehan.

Pengajian lebih kerap berkelindan dengan narasi persaingan busana dan kekayaan antarjamaah. Maka tak heran, saat kita menemukan pengakuan, “Hijab Long Hanna-Nya Zaskia Adya Mecca dan gamis seperti yang dipakai Mama Dedeh banyak dicari”. Pengakuan ini kita dapati dalam Majalah Tempo, edisi 25 Juni 2017 dari salah satu pedagang di Pusat Hijab Thamrin City Jakarta. Acuan tingginya permintaan busana Muslim yang diproduksi artis atau yang dikenakan pendakwah memberi celah untuk mengerti tentang pengajian perempuan hari ini. Pesona dan tuah pendakwah lebih tampak dalam jenis kain, model dan merek busana.

Ketidakhadiran ulama Perempuan sungguhan dalam ruang pengajian perempuan Muslim hari ini membawa perempuan pada petaka-petaka lama yang tidak disadari. Mereka terus menjadi masyarakat telinga dan menganggap akses pekerjaan, berkegiatan sosial-keagamaan di luar di rumah sebagai kemenangan. Padahal dalam banyak hal mereka terus dikalah-rugikan, disempitkan dzahir-batin. Akhirnya, tafsir laki-laki yang terus merajai keseharian beragama perempuan berakhir pada pengajian minim penghayatan spiritualitas-keilmuan tapi riuh tangis kefanatikan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top