Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Wasiat Jakob Oetama dan Kenangannya Tentang Gus Dur

965738 720

“Ketokohan seseorang menonjol ketika yang bersangkutan meninggal.” Kalimat ini merupakan pembuka gagasan Jakob Oetama ketika mengenang sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Jakob Oetama menulis pengantar singkat namun sangat bernas, dalam buku ‘Damai Bersama Gus Dur’ yang diterbitkan Buku Kompas (2010).

Kalimat itulah yang sekarang ini mencerminkan sosok Jakob Oetama, yang wafat pada Rabu, 9 September 2020. Jakob Oetama sosok besar dalam dunia pers Indonesia, ia seorang begawan yang melahirkan Kompas, sekaligus mewariskan pengetahuan.

Harian Kompas yang ia bangun bersama PK Ojong terbit pada 28 Juni 1965, sekarang berkembang menjadi perusahaan dengan jaringan media, toko buku dan hotel. Jakob Oetama sepertinya membangun kaki dan pondasi yang kokoh, agar jurnalisme bisa tegak bersama idealismenya.

Sekarang, ketika Jakob Oetama sudah berpulang menuju Tuhannya, kisah-kisah tentangnya berpendaran dari orang-orang yang berinteraksi dengannya. Ribuan anak didiknya di Kompas-Gramedia, pergumulannya dengan tokoh-tokoh bangsa, hingga jutaan orang yang terinspirasi oleh gagasan-gagasan yang ia wariskan melalui Kompas serta jaringan media Gramedia Group. Jakob Oetama menjadikan Kompas sebagai amanat hati nurani bangsa Indonesia, juga menjadi ruang mendidik sekaligus menginspirasi jutaan warga negeri ini.

Dalam sepanjang hidupnya, Jakob Oetama telah melewati tahapan-tahapan sejarah kepemimpinan Indonesia. Dari Soekarno hingga Joko Widodo. Namun, kenangannya terhadap sosok Gus Dur menjadi catatan berharga.

Baca juga:  Ngaji Tuwo ala Mbah Moen

“Masing-masing kita punya kenangan dengan Gus Dur. Saya pun punya banyak kenangan, sering bertemu, tukar pandangan, cocok-cocok persepsi dan setiap kali pertemuan selesai selalu bertambah kekaguman saya,” demikian ungkap Jakob Oetama, sebagaimana esai pembuka dalam buku ‘Damai Bersama Gus Dur’.

Jakob Oetama terkesan bagaimana sosok Gus Dur sebagai anugrah bagi Indonesia. “Tuhan memberikan padanya talenta amat besar, tidak hanya empat mungkin lima atau enam. Kita berterima kasih dihadirkan seorang Abdurrahman Wahid untuk bangsa Indonesia umumnya, dan umat Islam khususnya.”

Jakob Oetama juga mengapresiasi betul bagaimana gaya kepemimpinan Gus Dur. Di akhir periode menjadi presiden, Gus Dur hanya memakai kaos dan celana pendek untuk menyapa publik. Ada banyak drama dan cerita mengenai ini, di antaranya kisah-kisah yang disampaikan orang-orang terdekat Gus Dur, semisal Mbak Yenni Wahid, hingga para menteri pada masa itu: Mahfud MD dan Alwi Shihab.

Mengenai kepemimpinan Gus Dur yang sederhana dan merakyat, Jakob Oetama mengenang dalam kesaksian. Sosok Gus Dur yang sederhana juga sepadan dengan Jacob Oetama, yang berperilaku sama: hidup dalam kebersahajaan.

“Tata cara protokoler sering dilanggarnya, didorong oleh inklinasi menyatu dengan rakyat. Sampai-sampai Istana Presiden yang semula terasing dari sentuhan rakyat banyak dia jadikan tempat buka puasa dan tarawih Puasa Majelis Reboan di tahun 2000,” kenang Jakob Oetama, yang sampai akhir hayatnya masih bergerak di dunia pers.

Baca juga:  Ale Rasa Beta Rasa: Metode Orang Maluku Mengenal Diri Sendiri

Pendiri Kompas itu juga mengenang bagaimana cara Gus Dur ketika melawan sebuah tiran. Gus Dur melawan tidak dengan kekerasan, justru strategi-strategi dan manuver Gus Dur ketika melakukan perlawanan dengan cara nirkekerasan.

“Sikap antikekerasan nyaris jadi obsesi. Tidak hanya dalam menjual gagasan-gagasan besar, tapi juga dalam perilaku..,” demikian pendapat Jakob Oetama terkait strategi Gus Dur.

“Ketika antikekerasan berbenturan langsung kekerasan, Gus Dur tampil sebagai penganjur, pelaksana dan pelindung upaya perdamaian. Damai dalam arti positif–bukan kongkalikong–tetapi damai sebagai representasi kemajemukan dalam keanekaan. Cara berpikir yang melawan arus sebagai bagian dari kiat inspiratif menemukan jalan keluar. Demi membela kebenaran Gus Dur tidak pernah mundur,” tulisnya mengenang putra Kiai Wahid Hasyim.

Dalam 88 tahun usianya, Jacob Oetama mengabdikan diri secara total dengan kecintaan pada Indonesia. Ia sering menyebut Kompas sebagai Indonesia kecil, sebagai miniatur Indonesia. Karena, nilai-nilai, kultur serta semangat yang dibagun dalam membesarkan Kompas, mengusung nilai-nilai keindonesiaan dan kebangsaan.

Jacob Oetama juga sering menyampaikan, betapa penting menghargai keyakinan orang lain. To be religious today is to be inter-religious, begitu wasiatnya yang sering disampaikan ulang oleh Trias Kuncahyono, jurnalis senior Kompas. Intinya, memahami sesama, menghargai yang berbeda, serta merangkul minoritas menjadi hal yang sangat penting.

Baca juga:  Nabi Saw Dikultuskan; Tapi Mengapa Tidak Dituhankan?

Kesamaan visi dan gagasan tentang agama, humanisme dan keindonesiaan, menjadikan Jacob Oetama sangat cocok dengan Gus Dur. Jacob sangat menghormati Gus Dur, dalam keberanian dan pengabdian untuk kemanusiaan dan keindonesiaan.

Kini, Jakob Oetama bisa berbincang lagi dengan Gus Dur. Selamat jalan, Pak Jacob. Damai selalu. (*).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top