Islam Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi referensi baru dari komunitas muslim global. Di tengah dinamika geopolitik dan relasi agama di ranah internasional, Islam Indonesia dapat memberi tawaran baru, agar wajah Islam global tidak penuh sesak dengan wacana teror dan kekerasan.
Beberapa waktu lalu, Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Yahya C Staquf menulis di Wall Street Journal, sebuah media prestisius yang berbasis di New York. Dalam kolom di WSJ ‘How to Make the Islamic World Less Radical?’ (14 Januari 2021), Gus Yahya menyampaikan pandangan mengapa diskursus Islam di level internasional sekarang ini dibanjiri oleh isu-isu terorisme semata.
Lebih lanjut, Gus Yahya mempertanyakan mengapa negara-negara Timur Tengah tertelan oleh kekerasan ekstrem, dengan aktor dari al-Qaeda, ISIS (Islamic State of Iraq and the Levant) hingga Boko Haram? Mengapa dunia modern demikian dipenuhi wabah ekstremisme Islam?
Dalam esai itu, Gus Yahya mengajak kepada komunitas muslim di seluruh dunia untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai klasik Islam, yang bersumber dari teks-teks fiqih. Bahwa, kontekstualisasi itu bukan dalam rangka mengubah wajah Islam, tapi untuk mencari titik temu keseimbangan antara teks-teks Islam klasik dengan perkembangan umat manusia secara global. Jika yang terjadi demikian, generasi mendatang akan lebih memahami nilai agama yang ramah, bukan lagi radikal, penuh kebencian, bernuansa kekerasan.
Dengan mencontohkan apa yang terjadi di Indonesia, Gus Yahya ingin mengajak betapa reformulasi nalar fiqih menjadi penting, agar komunitas muslim di Indonesia dan di level global tidak terjebak pada teks-teks yang beku. Misalnya, Nahdlatul Ulama membongkar pemaknaan kafir. Bahwa, dalam bahtsul masail, NU menempatkan bahwa definisi kafir tidak bisa diterapkan dalam konteks negara Indonesia.
Non muslim di Indonesia tidak layak diberi hukum sebagai kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir musta’min, dan apalagi kafir harbi. Keputusan Munas/Konbes Nahdlatul Ulama pada awal 2019, menyegarkan semangat para pendiri bangsa bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, namun negara NKRI berdasarkan Pancasila. Di dalam butir-butir Pancasila, bersemanyam nilai-nilai Islam yang secara prinsip bersanding harmonis dengan kultur Indonesia.
Tantangan Islam Indonesia
Nah, jika Gus Yahya menyerukan transformasi menuju keseimbangan dalam pemaknaan teks agama, yang pada akhirnya menguatkan Islam sebagai agama cinta kasih dan perjuangan kemanusiaan, bagaimana menjaga agar nilai-nilai Islam di Indonesia bisa tetap moderat, sekaligus bisa menjadi referensi keislaman di level global?
Pertama, dinamika pemaknaan teks dan khazanah pengetahuan. Bagaimana mendorong agar Islam Indonesia bisa terus menjadi contoh dalam mengurai ketegangan antara teks klasik dan perkembangan dunia modern? Selama ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah punya forum khusus untuk membahas fenomena modern. Para kiai Nahdlatul Ulama berdiskusi dalam forum bahtsul masail, sedangkan Muhammadiyah di Majelis Tarjih. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga punya tim bahtsul masail yang secara periodik menyampaikan fatwa kepada publik.
Tradisi mengkaji teks-teks klasik sekaligus mencari titik temu untuk menjawab permasalahan kekinian, menjadi penting untuk terus dijaga. Dinamika dalam pemaknaan teks ini sangat krusial, selain menjadi tradisi dan khazanah pengetahuan Islam, juga merumuskan pendapat-pendapat untuk memaknai perkembangan zaman dengan segala problematika yang menyertai. Dinamika ini menjadi kekuatan dari Islam Indonesia. Bahwa, Islam merupakan agama pengetahuan dan peradaban.
Kedua, menguatkan pengaruh di media sosial. Selama ini, media sosial menjadi ruang pertarungan pendapat sekaligus otoritas, dalam pelbagai bidang. Isu-isu terkait agama, menjadi perdebatan panjang yang sering menjadi viral. Maka, perlu ada rujukan yang tepat di media sosial, agar tidak dibajak oleh orang-orang yang salah memahami agama, hingga sesat menyesatkan (dhillun mudhillun).
Perebutan otoritas keagamaan di media sosial bukan terjadi secara alami. Kita tidak bisa membiarkan akan ada orang yang tumbuh di media sosial, kemudian mendapat pengaruh besar karena pengetahuannya. Mekanisme media sosial tidak begitu. Algoritme media sosial, mensyaratkan mekanisme-mekanisme khusus untuk mencipatakan dampak sebagai pemengaruh (influencer).
Maka, dibutuhkan strategi dan kolaborasi secara konsisten, untuk menampilkan kiai-ulama sebagai rujukan di media sosial. Caranya, dengan mentransformasikan konten-konten dari pengajian dan ceramah kiai/ustadz ke media sosial. Fenomena Gus Baha dia media sosial menjadi contoh unik. Betapa khazanah pengetahuan pesantren yang disampaikan dalam bahasa santai bisa diterima kalangan luas, menembus batas sekat-sekat santri non-santri.
Otoritas di media sosial harus direbut, tentu saja dengan strategi khusus. Jika selama ini kiai-kiai sibuk mengaji, para santrilah yang berperan sebagai tim khusus untuk memantulkan konten-konten keagamaan yang bernas di media sosial. Selain itu, perlu mendorong agar kiai-intelektual dari Islam Indonesia yang beraliran moderat untuk terus bersuara di ruang publik dan membagikan gagasanya di media massa, untuk menjangkau publik.
Ketiga, meningkatkan kapasitas dan pengaruh di level global. Ormas-ormas Islam di Indonesia selama ini telah mulai terlibat dalam diplomasi perdamaian di level global. Nahdlatul Ulama menginisiasi perdamaian di Afghanistan, yang sampai saat ini sudah mengalami tahapan progressif. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga mendukung penuh proses perdamaian di Afghanistan. Selain itu, NU juga terlibat aktif dalam upaya damai di Xinjiang, China, hingga upaya-upaya dialog dalam rangka perdamaian Israel-Palestina.
Muhammadiyah juga punya dampak penting dalam upaya perdamaian di Mindanao, Filiphina Selatan serta konflik di Thailand Selatan, Thailand. Di Mindanao, Muhammadiyah berkiprah dalam upaya perdamaian dari aksi separatis Abu Sayyaf. Selain itu, Muhammadiyah membentuk Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC).
Di sisi lain, Pancasila merupakan ideologi dasar negara yang mengayomi semua warga Indonesia lintas etnik dan agama. Para founding fathers Indonesia, dengan sadar memasukkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan sebagai nyawa Pancasila. Maka, relasi Islam dan demokrasi di Indonesia menjadi sangat dinamis, beriringan dan saling melengkapi.
Peran-peran di level global ini menjadi catatan penting sebagai kontribusi perdamaian dari Islam Indonesia. Dengan demikian, Islam Indonesia memberi dampak dalam mengupayakan kemaslahatan bersama dalam konteks global. Startegi second-track diplomacy lewat kontribusi ormas-ormas Islam menguatkan diplomasi pemerintah di level global. Inilah pintu bagi Islam Indonesia, sebagai referensi baru bagi komunitas muslim internasional.