Ini bukan tentang munas yang baru saja usai. Ini kebetulan saja soal omong-omong seks dalam Bahtsul Masail di Munas Alim Ulama. Pada masail mauduiyyah, dibahas soal disabilitas. Perkara kekuarangan fisik, mental yang kerap dimaknai cacat.
Forum bersepakat soal disabilitas adalah soal relasi penyandang disabilitas dengan lingkungan masyarakat atau negara. Disabilitas bukan perkara kekurangan, ketidakmampuan apalagi kelemahan. Disabilitas adalah soal relasi.
Peserta Bahtsul Masail menjadi tahu, jika saja masyarakat memberikan tanggungjawab etik kepada kelompok difabel dan negara memberikan tanggungjawab konstitusi memenuhi hak, maka saudara yang difabel sesungguhnya tidak difabel. Mereka mampu beraktivitas apapun.
Kekuarangan fisik adalah rencana Tuhan. Kiai Afifuddin Muhajir menyampaikan itu adalah rahasia Tuhan karena Rasul bahkan sangat mempedulikan kaum difabel. Pada mereka, keluasan rezeki yang tidak difabel bergantung. Soal apa itu? itu rahasia.
Kiai yang membuat peninjau, antropolog yang saya bawa ke munas geleng geleng kepala karena kagum atas penjelasan Kiai Afif. Rigid dan gampang, mudah dipahami peserta. Retorika kelas dewa.
Kiai Afif menjelaskan soal tiga pihak yang tidak bisa lepas dalam soal disabilitas. Kelompok difabel yang menantang fikih dan fuqaha untuk menjawab, misalnya soal perkara ubudiyyah, masyarakat yang dituntut moral etiknya, dan negara yang harus menjalankan mandat konstitusi memberika hak-hak kaum difabel.
Bahwa karena kelompok difabel memiliki karakter khusus oleh sebab itu harus didekati secara khusus. Saya suudzon, ulama di luar Indonesia belum bicara segagah ini. Tutur katanya pelan, pendapat-pendapat dalam forum diraciknya dalam pandangan yang lebih terarah. Tanda keluhuran ilmu. Memukau. Setidaknya bagi saya.
Di mana seks?
Disabilitas adalah soal kekuarangan/kelemahan fisik. Ini untuk menggambarkan awal diskusi. Karena dalam penjelasan selanjutnya, forum sepakat lemah syahwat bukan difabel. Ada peserta yang berpendapat, karena soal kelemahan, maka seyogyanya lemah syahwat atau lemah seks dimasukkan dalam kategori disabilitas.
Forum sontak tertawa. Termasuk bapak-bapak yang memimpin sidang. Setelah derai tawa, lalu peserta sidang senyum kanan kiri. Ada juga yang serius tanya kanan kiri apa itu bisa dimasukan dalam kategori difabel? Atau senyum biasa saling memberi kode misterius. Tapi sepertinya satu dengan lainnya mafhum.
Forum memutuskan lemah seks, tidak termasuk disabilitas. Penjelasan Kiai Imam Nakha’i, Komisoner Komnas Perempuan, sangat hebat. “Al-ilmu nuurun” (jangan serius-serius ya) ilmu itu menurun dari sang guru Kiai Afif, turun kepada sang murid, Kiai Imam Nakha’i.
Bicara seks, berdampak tawa. Pada beberapa forum selalu demikian. Entahlah apa yang membuat tawa. Apakah bicara seks itu sesuatu yang lucu? Ketika diperbincangkan sekilas, sontak mengundang tawa. Tapi tidak jarang, ketika dibahas dengan detil menimbulkan kritik tajam.
Misalnya novel hebat The God of Small Things, karya Arundhaty Roy dikritik pemuka karena gamblang menggambarkan seks. Novel itu dianggap mengubar nafsu, meski novel itu menyuguhkan kritik sosial dengan urusan seks sebagai contohnya.
Bicara seks dianggap mengerikan. Tak patut. Dapat membangkitkan hasrat kebinatangan manusia. Dari ketakutan atas seks karenanya ada yang harus dijaga. Tubuh perempuan. Berbagai aturan untuk menuntut penggunaan jilbab terhadap perempuan diberlakukan.
Sampai di sini ada kesan, ketakutan penyimpangan atas seks oleh sebab tubuh perempuan yang diumbar. Ini sekaligus menandakan, seks bukan soal alat kelamin melulu. Seks adalah soal isi kepala, soal imajinasi, sama seperti beragama, cita-cita, politik ataupun ingatan. Kalau isi kepalanya jorok, seka jadi jorok. Kalau isi kepalanya sempit, agama jadi sempit, kalau isi kepalanya rusak, politik tak ubahnya pasar hewan.
Tapi saya suka ketika forum NU tertawa ketika bicara seks. Seks menjadi bukan sesuatu yang ditutupi. Ia bukan hal yang memalukan. Ia soal yang paling purba dalam sejarah manusia. Tak perlu malu bicara seks, kira-kira begitu. Terkait penyebutan alat kelamin yang masih menggunakan bahasa asing yang sudah diserap (zakar dari bahasa Arab. Vagina dari bahasa sono), tidak soal, masih sungkan menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, Madura, Sunda, dll, sungguh tidak soal. Di sinilah indahnya.
Seks menjadi bencana karena tak dibincang. Seks darurat, kudu dibincang di negeri ini. Negara ini punya problem seks. Lihat saja, kekerasan seks, pelecehan seks tiap hari kita jumpai di media, kita menyaksikan gratifikasi seks dalam beberapa kasus pejabat, anak-anak bebas menjangkau konten yang berkaitan seks bebas dan orang tua masih enggan memberikan pendidikan seks untuk anak, orientasi seks yang berbeda, pada penyandang disabilitas perempuan sangat rentan dengan pemerkosaan atau pelecehan seks.
Karenanya seks jangan dianggap tabu, dan bicara seks jangan dituduh tak bermoral. Ia tak perlu disembunyikan. Bicara seks di NU harus dianggap lumrah. Tidak menyeramkan. Kitab-kitab dilingkungan NU lebih luas omong soal seks. Jadi biasa saja.
Semoga munas ke depan kita akan lebih leluasa bicara problem seks. Mungkin yang lemah syahwat mau merumuskan masail dan ingin direspon NU.