Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Abdurrahman Wahid dan Mahathir Mohammad, Persahabatan dan Manuver Dua Pemimpin Bangsa

Inwes

Menjelang tahun 2000, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia sempat memanas karena kasus eksodus para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke perbatasan Malaysia. Bahkan, dari catatan beberapa media, beredar luas kabar bahwa aktivis-aktivis GAM mendapat sokongan dana, senjata dan logistik dari Malaysia. Tentu saja isu ini menjadi perdebatan luas di ruang publik, yang menjadikan hubungan kedua negara memanas. 

Untuk mengatasi keruwetan ini, pemerintah Indonesia dan Malaysia bergerak cepat dengan kerjasama intelijen, untuk mengawasi dan investigasi para aktivis GAM di perbatasan Malaysia. Kerjasama ini terjalin antara BAKIN, Badan Intelijen ABRI (BIA) dengan Majelis Keselamatan Negara Malaysia (MKN) dan Malaysia Special Branch Police (MSB).

Mahathir Mohamad menyatakan ke publik bahwa pemerintah Malaysia tidak akan membantu para aktivis GAM. Pemerintah Malaysia juga menerapkan the Internal Security Act (ISA) untuk operasi dan kebijakan membatasi gerak aktivis GAM di kawasan Malaysia.

Dalam sebuah konferensi press pada tahun 2000 di Jakarta bersama Presiden Gus, Mahathir Mohamad berkomentar: “We will not allow anybody to use Malaysia as base for activities which are not good for our neighbour country, Indonesia.” (Antje Misbah, Separatist Conflict In Indonesia: the Long Distance Politic of Acehnese, hal. 66-67).

Sewaktu menjadi presiden, Abdurrahman Wahid banyak terlibat dalam forum-forum internasional bersama Mahathir Mohamad. Di antara agenda bersama, yakni pertemuan kepala negara G-77 yang digelar di Havana, Cuba pada April 2000. Juga, pertemuan G8 yang digelar pada Juni 2000 di Okinawa, Jepang. Pertemuan G8 dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Indonesia), Presiden Joseph Estrada (Philiphina), Perdana Menteri Hun Sen (Kambodja),  Perdana Menteri Sishavat Keobounphan (Laos), Senior Minister Lee Kuan Yew (Singapura), Wakil Perdana Menteri Vietnam Nguyen Manh Cam, Letnan Jenderal Khin Nyunt (Myanmar First Secretary of State Peace and Developtment Council) dan Perdana Menteri Chuan Likphai (Thailand).

Baca juga:  Santri Pojokan dan Gagasan yang Menyertainya

Gus Dur dan Mahathir Mohamad bekerjasama dalam membendung manuver politik Singapura, terutama dalam isu Free Trade Agreement (FTA) pada tahun 2000. Abdurrahman Wahid menganggap pemerintah Singapura sudah kebablasan karena tidak mengajak diskusi negara-negara kawasan perihal kesepakatan perdagangan bebas.

Sebelumnya, pemerintah Singapura membangun kesepakatan perdagangan bebas dengan Jepang, New Zealand, Amerika Serikat dan Australia. Selain itu, India dan Korea juga menjadi negara yang dipersiapkan menjalin kesepakatan serupa dengan Singapura. Tentu saja, kesepakatan dagang ini, yang tanpa melibatkan negara kawasan, mengakibatkan situasi geo-politik menjadi memanas (Fredrik Sjoholm & Jose Tongzon, Institutional Change in Southeast Asia, hal. 2078-2080).

Mahathir Mohamad dan Abdurrahman Wahid terlibat polemik dengan Lee Kuan Yew dan beberapa petinggi Singapura. Ketika itu, juga berkembang luas isu bahwa Singapura meninggalkan negara-negara Melayu dalam kerjasama ekonomi, serta menyedot air dari Malaysia untuk kebutuhan internal penduduk Singapura.

Dengan Indonesia, pemerintah Singapura menghadapi ketegangan yang tidak kalah eskalasinya, terkait dana triliunan rupiah yang mengalir dari Jakarta ke Singapura di penghujung pemerintahan Orde Baru. Bahkan, ketika krisis 1998, banyak pengusaha dari Indonesia yang melarikan dana sekaligus membawa keluarga ke Singapura. Dana-dana korupsi juga ditengarai banyak diparkir para pejabat dan pengusaha korup di negeri Singa.

Baca juga:  Diskursus Khamr dalam Islam (3): Asas Contrarius Actus dan Pencabutan Lampiran Investasi Miras

Selain itu, politik internal Indonesia terkait Timor-Timur juga menjadi perdebatan hangat dengan pihak Singapura. Presiden Abdurrahman Wahid ingin agar Timor-Timur dan Papua Nugini masuk di lingkaran kerjasama negara-negara ASEAN (Association of South East Asia Nations). Namun, Singapura menolak keinginan Gus Dur, hingga rencana ini menemui jalan buntu.

Gus Dur tidak kalah canggih dengan menggertak Perdana Menteri Singapura Go Chok Tong. Ketika itu, Gus Dur ingin membangun aliansi baru negara-negara kawasan dengan nama Forum Pasifik Barat, dengan anggota negara-negara kawasan Asia Tenggara, dengan mengikursertakan New Zealand, Australia, Timor-Timur dan Papua Nugini (the China Post, 27 November 2000).

Di tengah suhu politik memanas di kawasan Asia Tenggara, Abdurrahman Wahid dan Mahathir Mohamad berkoalisi untuk melawan Singapura. Tentu saja, percaturan politik di antar negara di kawasan Asia Tenggara ini sangat dinamis, dengan silang sengkarut kepentingan masing-masing. Pada konteks itu, yang ingin saya garis bawahi, persahabatan Gus Dur dan Mahathir Mohamad terus berlangsung, bahkan hingga keduanya tidak lagi menduduki kursi jabatan di negara masing-masing.

Kiai Abdurrahman Wahid bertemu dalam sebuah private meeting dengan Mahathir Mohammad pada November 2001 di Kuala Lumpur. Agenda ini merupakan pertemuan pribadi pertama setelah Gus Dur lengser dari kursi presiden pada Juli 2001. Pada agenda itu, Gus Dur didampingi oleh Ibu Nyai Sinta Nuriah Wahid dan putrinya, Inayah Wahid. Pertemuan ini menunjukkan kedua tokoh bangsa Indonesia-Malaysia itu bersahabat erat.

Baca juga:  Memeriksa Ulang Makna Kafir

Mahathir mengaku sangat respek dengan Abdurrahman Wahid, baik sebagai pribadi, tokoh agama dan pemimpin bangsa. Meski, dalam beberapa hal, Mahathir mengakui tidak sependapat dengan gagasan dan manuver Gus Dur, sesuatu yang wajar di tengah persilangan kepentingan negeri jiran.

Ketika Gus Dur wafat di penghujung Desember 2009, Mahathir Mohamad berkunjung ke kantor KBRI Malaysia untuk menyatakan bela sungkawa, pada 31 Desember 2009. Mahathir juga membubuhkan tanda tangan di Book of Condolence dan mengambil foto di depan foto Gus Dur.

“Saya ikut berduka atas kepergian Gus Dur. Bagi saya beliau adalah seorang patriotik dan nasionalis bagi bangsa Indonesia dan umat Islam. Beliau banyak mempunyai cerita lucu yang sering membuat kita tertawa, walaupun sedang membicarakan hal serius,” demikian pernyataan Mahathir, yang diarsip Tempo (1 Januari 2010).

Abdurrahman Wahid dan Mahathir Mohamad merupakan kisah persahabatan dua pemimpin negara Asia Tenggara: Indonesia dan Malaysia. Keduanya menempuh jalur politik dengan manuver dan gagasan yang sampai sekarang masih terasa jejaknya. Bahkan, Mahathir Mohamad mengalami kebangkitan di istana politik Malaysia, meski usianya sudah senja. Tentu saja, usia tidak menghalangi tokoh bangsa untuk mengabdi dan berkarya (*).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top