Sedang Membaca
Membandingkan Gaya Komunikasi Politik Pak Harto dan Gus Dur
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Membandingkan Gaya Komunikasi Politik Pak Harto dan Gus Dur

Rabu, 1 Syawwal 1440 H, bunyi notifikasi di ponsel tetiba menjadi riuh tak karuan disertai dengan getaran-getaran yang begitu menghunjam. Serangkaian pesan masuk ke whatsapp, entah itu lewat grup maupun langsung ke percakapan pribadi di nomor saya. Akun media sosial yang saya punyai menampilkan serangkaian notifikasi sejak pagi. Beberapa status dan pesan yang masuk, motifnya hampir sama, seputar ucapan selamat hari raya dan permohononan ma’af.

Atas beberapa pertimbangan, saya putuskan untuk membuka notifikasi itu di malam hari, lalu membalasnya satu persatu. Mohon ma’af jika sampai saat ini ada yang belum saya balas, bisa jadi pesan yang tak terbalas itu tertimbun oleh riuhnya pesan yang masuk secara bertubi-tubi. Mohon maaf.

Ada satu pesan yang memiliki kesan tersendiri bagi saya, yaitu pesan ucapan selamat hari raya yang dikirim oleh Prof. Syihabuddin Qalyubi –guru besar stilistika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau mengirimi pesan itu melalui fitur chat di facebook. Saya mengenal beliau melalui buku-bukunya ihwal stilistika bahasa Arab. Kebetulan stilistika ini menjadi kajian skripsi saya. Sebelum-sebelumnya kami sudah sering berbalas pesan. Saya meminta izin kepada beliau dan mohon doa agar diberi kelancaran menyelesaikan skripsi yang sedang saya kerjakan.

Saya tidak akan memperpanjang perihal berbalas pesan. Pada tulisan ini saya akan membincang perihal pidato pengukuhan guru besar dalam Ilm al-Uslub (Stilistika) yang disampaikan oleh Prof. Syihabuddin Qalyubi dengan judul Kontribusi Ilm al-Uslub (Stilistika) dalam Pemahaman Komunikasi Politik.

Menarik sekali membaca teks pidato Prof. Syihab ini, dalam uraiannya beliau mengkaji wacana komunikasi politik melalui statemen dan pidato-pidato politiksejak era Presiden Soekarno hingga Presiden SBY. Beberapa upaya yang ingin diraih Prof. Syihab dalam kajian ini adalah; pertama, mengetahui gaya bahasa apa saja yang digunakan para politikus dalam komunikasi politiknya, dan kedua, apa tujuan para politikus dalam penggunaan gaya bahasanya.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis Kiai Ali Maksum

Dalam catatan Prof. Syihab, memang sekilas terlihat tidak ada hubungan antara bahasa dan politik. Keduanya merupakan dua hal yang terpisah. Ini tentu tidak salah jika bahasa dimaknai secara konvensional, yakni sebagai sistem lambang yang terurai mulai dari unit yang paling kecil, yakni bunyi (phones), hingga teks (text) yang dikaji lewat analisis teks (reading analysis), sedangkan politik dimaknai sebagai segala usaha untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan.

Saya semakin kagum pada Prof. Syihab, yang lalu mengutip Mochtar Pabottinggi (1993) yang berpendapat bahwa komunikasi politik sering mengalami distorsi. Pertama, bahasa sebagai topeng; euphemism (penghalusan kata), menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya.

Kedua, bahasa sebagai “proyek lupa”, lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang. Ketiga, bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Terakhir, bahasa sebagai “ideologi”, distorsi ini cederung dengan melakukan kegiatan politik sebagai hak istimewa tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Setelah saya baca habis, ternyata statemen yang paling menarik bagi saya adalah statemen milik Pak Harto dan Gus Dur. Dimana pak Harto dalam komunikasi politiknya sering memakai padanan istilah yang lebih halus sebagai topeng dari istilah sebenarnya yang kasar dan vulgar. Beberapa kata yang disoroti Prof. Syihab adalah “kenaikan tarif” menjadi “penyesuaian harga”, “dialog” menjadi “sambung rasa”, “demonstrasi” menjadi “unjuk rasa”, “pemberontak” menjadi “Gerakan Pengacau Keamanan”, “oposan” menjadi “organisasi tanpa bentuk”, “korupsi” menjadi “pelanggar prosedur”.

Baca juga:  Siti Nurbaya Bakar dan Rusaknya Lingkungan Hidup: Pemerintah Gagal Menjalankan Fungsi Manusia sebagai Khalifah

Sementara itu, Gus Dur, merurut Prof. Syihab dalam komunikasi politiknya sering menggunakan komunikasi yang low context (konteks rendah). Sependek yang saya tahu kalau komunikasi Gus Dur ini sederhana, apa adanya, dan vulgar tanpa tedeng aling-aling. Misalnya dalam beberepa istilah berikut;

“Biang kerok dari persoalan dari persoalan akhir-akhir ini ada di MPR/DPR; sekarang banyak intelektual yang bergelar MA tetapi bukan Master of Arts melainkan maling; DPR kok seperti Taman Kanak Kanak; DPR memble aja; Gitu aja kok repot dll.”

Sampai disini kita paham, siapa yang paling jujur diantara Pak Harto dan Gus Dur dalam bahasa komunikasi politiknya. Tapi, mengapa kejujuran begitu singkat berkuasa, lalu siapa yang melengserkannya? (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top