Ketika kita bicara mengenai ‘harmoni’, maka seolah terkesan di dalamnya upaya untuk menata dan mengatur not-not balok, menyusunnya sedemikian rupa dan akhirnya mengalun menghasilkan lagu.
Jika diksi ini kita tambahkan diksi lainnya, yakni ‘kehidupan’, maka kehidupan yang harmoni seolah diumpamakan sebagai sebuah lagu. Lagu yang sebelumnya terdiri atas nada-nada tak beraturan, diubah menjadi susunan not-not dengan tinggi rendah nadanya yang teratur. Inilah harmoni.
Harmonisasi kehidupan adalah sebuah upaya menciptakan keteraturaan di tengah person-person atau kelompok-kelompok kehidupan yang berbeda, sehingga mereka bisa berjalan bersama dan beriring sehingga membentuk watak yang teratur. Watak yang hendak dibentuk dalam harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah watak yang memahami dan menyadari bahwa seorang person warga negara adalah bagian dari warga negara lainnya yang bersepakat untuk hidup bersama dengan segala konsekuensi perbedaan di antara mereka, watak yang berbeda atau bahkan agama yang berbeda dalam wadah berbangsa dan bernegara.
Agar tercipta harmoni, sudah barang tentu ada dinamika kehidupan. Dinamika ini sudah pasti lahir karena banyaknya persoalan dan perbedaan. Agama merupakan salah satu dari dinamika itu. Adanya pihak yang menduduki mayoritas dan minoritas, merupakan sebuah dinamika juga. Keperbedaan ini membutuhkan penyikapan. Dan penyikapan ini selanjutnya dikenal sebagai istilah harmonisasi.
Para politisi menyebut istilah harmonisasi sebagai politik praktis dalam bingkai musyawarah. Namun, kaum negarawan menyebut istilah harmonisasi ini sebagai politik tingkat tinggi (سامية عالية سياسة / high politics), sebagaimana beliau almarhum Kai Sahal Mahfudh yang sering mempopulerkan istilah ini.
Yang dikehendaki oleh Mbah Sahal dari istilah politik tingkat tinggi ini adalah politik kebangsaan. Di sini semua pihak dituntut oleh beliau untuk mengedepankan keutuhan negara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengalahkan kepentingan pribadi atau golongan dan lebih mengedepankan pada kepentingan umum masyarakat.
Semua pihak juga dituntut menyadari bahwa Indonesia adalah memiliki banyak ragam suku dan bangsa, sehingga harus tetap diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dengan dasar negara berupa Pancasila serta UUD 1945. Alhasil, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 merupakan bagian dari perjanjian luhur bangsa yang wajib dipegang dan dipatuhi oleh semua warga negara Indonesia, tanpa kecuali. Tujuan yang paling mendasar adalah terciptanya iklim kehidupan yang damai di tengah perbedaan.
Lantas, bagaimana upaya harmonisasi keislaman dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara ini dilakukan?
Al-Maghfur lahu KH. Maemun Zubair dalam sebuah pengantar buku Fiqih Kebangsaan yang disusun oleh Himpunan Alumni Santri Lirboyo (HIMASAL) menyampaikan bahwa Islam pertama kali hadir di kota Mekkah yang beriklim tandus dan kering lalu hijrah ke kota Madinah al-Munawwarah.
Di kota Madinah ini, iklim dakwah Islam tidak berlangsung keras dan fanatik, serta tidak memihak satu golongan tertentu, melainkan memihak kepada kebenaran, dari siapapun kebenaran itu datang. Setidaknya dari keterangan beliau ini dapat kita catat bahwa telah terjadi pergeseran pola dakwah dalam Islam saat itu, dan jejak sejarah rekaman dakwah itu dapat kita temui dalam surat Makkiyah dan Madaniyah dari Al-Qur’an.
Pergeseran cara dakwah yang diteladankan oleh Rasulullah saw ini senantiasa terus berkembang dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di Nusantara sendiri, para Walisongo melakukan dakwah dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan media wayang seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo, ada pula yang menggunakan media gending, seperti yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Ampel.
Karena pandai dalam mengolah media dakwah inilah, selanjutnya Islam sedemikian pesat berkembang di nusantara bahkan mampu membalik keadaan dari semula minoritas menjadi mayoritas hingga dewasa ini. Nyaris tidak ditemui adanya ketegangan yang melahirkan konflik horisontal antar umat beragama di dalamnya, melainkan konflik yang dipicu oleh perebutan kekuasaan politik. Ini adalah teladan dakwah yang masih bisa kita temui bukti dan jejak sejarahnya hingga sekarang di Nusantara.
Apakah menjaga harmonisasi ini bertentangan dengan syariat?
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang damai dan terjalin relasi imbal-balik yang tidak saling merugikan antar sesama umat beragama, ada banyak ayat yang mengisyaratkan pentingnya harmonisasi itu. Misalnya Al-Qur’an surat al-Maidah ayat delapan.
Di dalam ayat ini Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Maidah [5] ayat 8)
Di dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan agar orang Islam senantiasa berlaku adil dalam segala hal, tanpa memandang golongan, kerabat atau agama yang dipeluknya. Keadilan merupakan yang harus dikedepankan untuk menjaga kehormatan manusia.
Perintah mengedepankan keadilan ini bahkan diiringi agar berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Ihsan di sini bukanlah semata tindakan baik namun kering dari adab dan etika sosial. Justru ihsan merupakan tindakan yang lebih dari sekedar melakukan kebaikan berupa pemberian materi, melainkan juga disertai dengan adab, toleransi, tepo seliro, dan sejenisnya. Tidak bersikap berlebih-lebihan sehingga memaksakan kehendak adalah bagian dari ihsan.
Allah Swt menyampaikan perintah berbuat adil dan ihsan ini dalam Surat al-Nahl ayat 90.
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Nahl [16] ayat 90)
Bahkan di dalam Surat al-Mumtahinah ayat delapan, Allah Swt dengan tegas mengisyaratkan penjagaan harmonisasi kehidupan itu sebagai berikut:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Mumtahinah [60]: 8)
Syeikh Abdul Aziz al-’Awadly memberkan penjelasan terhadap ayat ini sebagai berikut:
وجه دلالة الآيات: أن الله تعالى أوجب العدل في كل شيء ومع كل أحد وبين كل خصمين وأنه تعالى لم ينه المسلمين عن العدل مع غير المسلمين بل أمرهم ببرهم أي الإحسان إليهم والقسط معهم أي العدل
Artinya, “Arah dari ayat ini adalah hendak menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala telah mewajibkan agar berlaku adil dalam segala hal dan kepada semua orang, bahkan kendati terjadi permusuhan antara kedua pihak. Dan Allah Ta’ala tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat adil terhadap non muslim, bahkan justru malah diperintahkan agar berbuat baik kepada mereka (al-ihsan) serta berlaku adil kepada mereka.”
Saya kutip dari Abdul Aziz al-Iwadly, al-Qawa’id al-Kubra li al-Ta’ayusy al-Silmy min Khilِal al-Qawa’id al-Kulliyyah, disampaikan dalam al-Mu’tamar al-Shahafy li Nadwati Tathawwuri al-Ulum al-Fiqhiyah al-Tsaniyata ‘Asyara, oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Mesir, pada tanggal: 13 Maret 2013 M).
Perintah untuk menjaga harmonisasi kehidupan dalam bingkai kebersamaan ini juga disinggung dalam Q.S. Al-Syura ayat 40. Di dalam ayat ini, Allah Swt menegaskan benci kepada pihak yang berbuat zdalim (aniaya). Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 13, Allah Swt memerintahkan agar berlaku toleran atas kesalahan yang tidak seberapa. Ini juga merupakan teladan dari menjaga harmonisasi.
Rasulullah saw sebagai rasul pembawa risalah, juga banyak memberi contoh keteladanan dalam menjaga harmonisasi kehidupan.
Misalnya, sebagaimana tergambar dalam hadis berikut:
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عمر رضي الله عنهما، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَد مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
Artinya, “Dari sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa membunuh seorang kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga bisa tercium sedari perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, dari jalur sanad Shafwan ibnu Salim disebutkan, bahwa Rasulillah saw memberi peringatan yang keras kepada kaum muslimin yang berlaku aniaya terhadap kafir mu’ahad. Rasulullah bersabda:
ألا من ظلم معاهدا ، أو انتقصه ، أو كلفه فوق طاقته ، أو أخذ منه شيئا بغير طيب نفس ، فأنا حجيجه يوم القيامة . رواه أبو داود
Artinya, “Ingatlah! Barangsiapa berlaku aniaya terhadap seorang mu’ahad, menekannya, atau membebaninya dengan beban yang tidak mampu ia tanggung, atau merampas hak mereka, maka aku adalah orang yang akan memintakan pertanggungjawabannya (mu’ahad) kelak di hari kiamat.” HR. Abu Dawud.
Sebenarnya masih banyak teladan yang disampaikan oleh Rasulillah saw dalam menjaga keharmonisan itu. Teladan yang paling masyhur adalah doa yang diajarkan oleh Rasulillah saw.
Suatu ketika Abu Musa al-Asy’ari mendapati ada seorang Yahudi sedang berada di sisi Rasulullah saw. Tiba-tiba Si Yahudi ini bersin. Mendapati hal itu, spontan Rasulullah saw berdoa:
يهديكم الله ويصلح بالكم
Artinya: “Semoga Allah Swt memberi hidayah kepadamu dan membagusi masa depanmu!” HR. Ahmad dan Abu Dawud
Di kesempatan lain, al-Thufail ibn Amru al-Dausy mendatangi Rasulillah saw lalu berkata:
إن دوسا هلكت أي عصت وأبت فادع الله عليهم
“Sesungguhnya masyarakat Daus telah berbuat kerusakan (durhaka dan menentang dakwah). Maka doakanlah tuan agar mereka ditimpa adzab dari Allah Swt!”
Apa jawab Nabi? Rasulullah saw justru berdoa:
اللهم اهد دوسا وأت بهم
“Ya Allah! Berilah hidayah masyarakat Daus dan kirimlah seseorang yang bisa membimbing mereka!” HR. Bukhari
Semua doa yang diteladankan oleh Nabi saw ternyata bukan turunnya adzab, laknat dan sejenisnya, melainkan justru agar diberikan hidayah (petunjuk) kepada mereka. Inilah teladan Nabi dalam menjaga keharmonisan dalam kancah hubungan bermasyarakat. Bayangkan seandainya doa Nabi itu berupa adzab atau doa keras lainnya! Bisa jadi umat beliau Rasulillah saw tidak akan mencapai mayoritas penghuni muka bumi ini.
Walhasil, jika orientasi utama dari beberapa hujjah dalil di atas kita tarik dalam konsep keislaman dan keindonesiaan, maka alangkah indahnya bila hujjah-hujjah semacam yang dikedepankan. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara damai dan bukan menghadapi situasi perang.
Dalam kondisi damai, semua warga negara adalah berlaku sama. Hukum merupakan ujung tombak bagi berlakunya keadilan. Inilah wajah Islam Indonesia, yaitu sebuah wajah yang ramah karena senantiasa mengedepankan maqashid syariah berupa penjagaan terhadap hak-hak individu/jiwa serta kehormatannya, dalam mewujudkan wajah Islam yang ramah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bi al-shawab