Sedang Membaca
Ibrahim, Abu Bakr as-Syibli, dan Berhala Psikologis
Muhammad Harir
Penulis Kolom

Alumni Pesantren YPRU Guyangan, Pati dan S1 jurusan Kimia Unnes sampai sekarang. Saat ini mengelola Perpustakaan Tabriz di komunitas Gubuk Gabut, Gunung Pati, Semarang dan pengelola web suarr.id. Tinggal di Gunung Pati, Semarang. Facebook: Muahammad Harir Tralala Trilili IG : Muhammad_harir02

Ibrahim, Abu Bakr as-Syibli, dan Berhala Psikologis

Dalam sejarah keimanan, aqidah ketauhidan mulanya sudah ada sejak masa Adam sebagai utusan pertama kali. Dan ketauhidan ini dimaknai sebagai sebuah konsep kepercayaan di mana seorang hamba hanya mengakui Allah Swt sebagai Zat yang Esa dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya yang patut untuk disembah. 

Akan tetapi, rentang waktu sepuluh generasi setelah Adam, praktik pemujaan kepada berhala mulai bertunas. Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya yang berjudul Qashashul Anbiya dituliskan bahwa, berhala yang pertama kali dibuat adalah Wadd, Suwâ’, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr. Dan kesemuanya adalah para pemuka agama dan pentolan ulama yang hidup pada masa interval Adam dan Nuh

Sebagaimana kandungan ayat di dalam Alquran berikut ini:

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr“. (QS Nuh 71:23)

Bila ditilik kembali, sebenarnya asal muasal pembuatan relief-relief patung kelima tokoh ini ditengarai oleh bisikan setan. Sebuah usulan agar senantiasa bisa mengenang tentang kesalehan-kesalehan mereka. Dengan anggapan, jika setiap kali melihat patung-patung tersebut ia akan mampu meningkatkan stimulus dan gairah ketaatan serta ketekunan dalam beribadah.

Nahasnya, manakala generasi tua perintis pembuat patung ini telah lenyap dilumat kematian. Setan-setan kembali memasang perangkap dan intrik-intriknya. Mereka–para generasi yang datang kemudian dibisiki setan dengan tujuan yang melenceng dari jalur rel semula. Bahwa para leluhur mereka dulu menjadikan  patung-patung itu sebagai sesembahan. Sehingga, berangkat dari sini pergeseran makna dalam menilai keberadaan patung-patung itu menjadi berlainan arah.

Ibrahim dan Penghancuran Berhala-Berhala

Laiknya penyembah berhala-berhala umat Nabi Nuh, tantangan serupa juga lestari pada masa kenabian Ibrahim. 

Tentunya terkenal sangat ihwal kisah ini. Tentang bagaimana Ibrahim melancarkan aksi heroiknya hendak meluluh lantakan satu persatu berhala itu. Sambil menenteng sebuah kapak, Ibrahim merangsek begitu mudah menuju tempat peribadatan yang terletak di Babilonia saat ditinggal kaumnya.

Mengingat banyaknya sekali sesajen makanan yang teronggok sia-sia di sekeliling berhala. Pertama, Ibrahim coba mengadakan dialog dengan patung mati yang selalu dipuja-puja dan dikultuskan oleh penganutnya itu. 

Makanan siapa ini?” tanya Ibrahim dilayangkan kepada para berhala di sekitarnya

Siapa yang hendak memakannya?” tanyannya lagi

Meskipun pertanyaan itu bertubi-tubi digempurkan. Namun sayang, tak ada satupun suara yang terdengar. Walau dengan nada keras sekalipun, mereka tetap bergeming.

Akhirnya Ibrahim pun mulai mengayunkan kapaknya—mengahancurkan berhala yang ada.

Usai puas menghancurkan seluruh berhala, berikutnya Ibrahim ambil siasat dengan cara mengalungkan kapak yang ia gunakan untuk menghancurkan berhala-berhala ke leher berhala yang paling besar.

Baca juga:  Bom Mengerikan di Afghanistan dan Nalar Kekerasan dalam Islam

Tampaknya, Nabi berjuluk Khalilullah ini telah siap sedia bila mana sampai menanggung kemalangan akibat ulahnya itu, bahkan ia juga sudah mengantongi beberapa amunisi jawaban jika nantinya diundang berdebat bersama pembesar kaumnya; penyembah berhala.

Akhirnya kekhawatiran yang diperkirakan itu betul terjadi. Syahdan, Ibrahim didatangi dan digelandang menuju pengadilan. Ia mulai diinterogasi dengan cecaran-cecaran tanya yang memojokan dirinya. Namun, pertanyaan sedemikian itu baginya tak berarti apapun. Ia sudah mafhum rute perdebatan akan mengarah kemana, dan jawaban apa yang mesti dilontarkan supaya lawan bicaranya tumbang tak berkutik.

Ibrahim, apakah engkau yang menghancurkan Tuhan-Tuhan kami?

Saya tidak melakukan apa-apa? Coba lah kalian lihat berhala yang besar itu. Berhala besar itulah yang menghancurkan berhala-berhala kecil.

Wahai Ibrahim, berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia menghancurkan berhala-berhala yang lain sedangkan ia pun tak bisa bergerak.

Mendengar ini, Ibrahim sadar benar kalau jawaban kaumnya bagai senjata yang akan menyerang tuanya sendiri. Mudah saja bagi Ibrahim untuk membalikkan perkataan mereka.

Lalu mengapa kau menyembah patung yang tidak bisa berbuat apa-apa?

Serangan balik Ibrahim ini membikin mereka tercekik. Lidah-lidah mereka seakan-akan menulang tak mampu bersuara, hanya bisa mengamini perkataan Ibrahim. 

Kendati begitu, mereka tetap saja mengunci hati rapat-rapat dengan borgol hawa nafsu. Sama sekali tiada berkenan beriman kepada Allah Swt. walupun tuhan-tuhan ciptaan mereka telah dibabat habis oleh argumen logis Ibrahim.

Berhala-Berhala Psikologis 

Dalam Islam sendiri, Berhala adalah objek berbentuk makhluk hidup atau benda yang didewakan, disembah, dipuja dan dibuat oleh tangan manusia. Sesuai dengan surat di dalam Al-Quran, yang berbunyi: 

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” (Al-‘A`raf 7:191)

Sehingga menjadi maklum bersama, bila penyembahan berhala yang terjadi pada zaman Nuh dan Ibrahim sifatnya adalah fisik. Berhala-berhala itu nyata secara kasat mata karena mampu ditangkap oleh indra penglihatan manusia. Ia memiliki materi dan bentuk struktur yang jelas sehingga dapat dipegang, diraba dan dirobohkan.

Pada saat bersamaan, akan timbul sebuah kesadaran bahwasanya wujud berhala-berhala itu berada di luar diri manusia. Mereka terpisah, tak merekat dengan jasmani manusia.  Sehingga atas pengetahuan sadar ini memberi sebuah jalan terang kepada Nuh dan Ibrahim—dalam arti kemudahan dalam mengidentifikasi antara golongan mana yang taat dan yang syirik. Tahu siapa lawan, siapa kawan. Dengan begitu, menjadi tak bias lagi sasaran utama bagi Nuh dan Ibrahim dalam menjalankan misi kenabian nya. Yaitu, seruan dan ajakan kepada kaumnya agar mau kembali berpegang kepada akidah tauhid yang lurus.

Baca juga:  Mengapa Mushaf Kuno Melewatkan Rasm?

Setelah sukses dirobohkannya berhala-berhala fisik itu. Lantas pertanyaanya, apakah musuh-musuh itu juga kalah (mati) begitu saja?

Tentu tidak, malahan ia berkamuflase menjadi bentuk lain—sebuah wujud baru yang begitu samar dan melekat dalam diri setiap manusia. Dan mereka-mereka itu lah yang penulis sebut sebagai berhala-berhala psikologis.

Berhala-berhala psikologis jelas bukan seperti patung maupun semacamnya yang telah dijelaskan di muka. Mereka berpotensi menjelma dalam pelbagai bentuk dan bermacam rupa. Boleh jadi mereka menyamar sebagai profesi atau jabatan Anda, kekuasaan Anda, kekayaan Anda, uang Anda, mobil Anda, gelar Anda, ketenaran Anda, pengetahuan Anda, nasab Anda, ibadah Anda, kecantikan Anda, dan kefanatikan Anda.

Hanya masing-masing dari diri kita saja yang mengetahui, Apakah itu benar-benar berhala psikologis atau tidak?  

Sedangkan “berhala psikologis” di sini masih samar dan begitu abstrak maknanya. Hal ini tentu butuh sebuah penjelasan untuk mengatasi kegamangan ini. Meskipun sangat sulit untuk mengenalinya, lewat tanda-tandanya maka jadi terang benderanglah penjelasan itu.

Sedangkan tanda-tanda berhala psikologis itu bisa didiagnosa pertama-tama dengan kiat menghidupkan kesadaran diri. Karena mereka bisa direnung-rasakan.

Mereka adalah apa saja yang memperlemah kita di atas jalan keimanan. Selain itu, keterangan Syariati dalam bukunya “Agama Versus Agama” semakin memperjelas lagi; mereka itu bisa berupa apapun yang membawa keraguan terhadap tanggung jawab dan jalan kebenaran. Apa pun saja yang menyatu dengan kita dan menarik mundur ke belakang. Dan apa saja yang membawa kita pada justifikasi, legitimasi, hermenutik mencari kompromi dan cinta yang membuat anda buta dan tuli.

Lagi, Syariati menuliskan dalam Hajj: Reflection on it’s Rituals, bahwa berhala psikologis itulah yang mesti dihancurkan seseorang dari dirinya sendiri, karena hal itulah yang menghalangi keterikatan penuh seseorang dengan Tuhan. Yang dimaksudkan dengan kata “mengahancurkan” di sini ialah seorang menjadi sadar sepenuhnya terhadap kekuasaan yang dimilikinya terhadap Anda.

Bebicara tentang memerangi berhala-berhala psikologis, jauh-jauh hari Nabi Muhammad saw sudah bersabda perihal sulitnya musuh yang akan dihadapi umat-umatnya di kemudian zaman. 

Sepulang dari perang Badar, Nabi pernah berujar:

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “jihad (memerangi) hawa nafsu.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Ummu Thalq

Tali pengaitnya berarti memerangi hawa nafsu itu jauh lebih berat dibandingkan perang fisik. Pun sama, dalam upaya penghancuran berhala psikologis dalam tataran ini juga jauh lebih sulit daripada mengahancurkan berhala fisik dalam artian yang sebenarnya. Sebab, musuh itu (berhala psikologis) tanpa permisi diam-diam menyelinap ke dalam diri tanpa kita sadari.

Bagaimana tidak mungkin, hawa nafsu dikatakan juga sebagai berhala psikologis, lahh wong tiap harinya kita begitu keranjingan menjadi budak nafsu di bawah kuasanya. Ia ibarat tali kekang yang menjerat leher, tangan dan kaki. Kali lain, hawa nafsu sering bermanis-manis menampilkan dirinya sebagai seorang anak kecil yang kemaunya selalu ingin dituruti. Dan dalam kebanyakan peperangan itu, kita seringnya kalah menjadi tawananya.

Selanjutnya, guna mempertegas penjelasan ini, ada sebuah kisah apik dalam buku seri hagiografi tokoh-tokoh sufi karya Attar, yang berjudul Tadzkirotul Auliya. Kisah itu bertaut dengan tindakan Abu Bakr as-Syibli yang dipandang aneh, bahkan gila oleh kebanyakan masyarakat pada waktu itu.

Suatu hari, orang-orang menyaksikan Syibli tengah berlari-lari sambil membawa batu bara terbakar.

Engkau hendak ke mana?” tanya orang-orang

Aku hendak membakar Ka’bah” jawab Syibli, “agar orang-orang hanya mengabdi kepada Empunya Ka’bah

Kali lain, Syibli pernah memegang sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya. Dengan pertanyaan yang semisal ia menjawab:

Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan surga dengan api di ujung lainnya sehingga manusia dapat menyembah karena Allah semata.

Bercermin dari kisah di atas, pelajaran berharga yang bisa dijumput lagi-lagi tentang pentingnya kesadaran diri dalam menjalankan esensial ibadah shalat. Sebab shalat itu ditunaikan bukan hanya sebatas formalitas ataupun penggugur kewajiban namun haruslah transedental memusatkan sepenuh usaha hanya kepada-Nya. Syibli berkali-kali menampar spiritualitas kita hingga memar supaya ibadah kepada Allah tidak dimaknai sebagai syariat keagamaan yang kosong dan bersifat eksoterik yang hanya menyentuh kulit belaka. 

Di sisi lain, Syibli juga coba mengahancurkan berhala psikologis ibadah yang kelihatanya bermuatan ketaatan tapi berjubah ketakutan kepada neraka dan iming-iming imbalan surga.

Urusan kelak mau ditempatkan di surga ataupun neraka, itu bukanlah titik tekan dari nilai filosofis beribadah itu sendiri. Namun, yang terpenting adalah  niat hamba menjalani ibadah hanya karena ridha Allah Swt semata.

Sampai di sini, jangan-jangan kita sendiri adalah monotheisme yang lagi berpenampilan dengan setelan jas polytheisme, karena sering menuhankan berhala-berhala psikologis itu.. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top