Sedang Membaca
Memahami Pemikiran Al-Ghazali (5): Al-Ghazali dalam Racikan Abd al-Samad al-Palimbani
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Memahami Pemikiran Al-Ghazali (5): Al-Ghazali dalam Racikan Abd al-Samad al-Palimbani

Db61ef36 Ee27 4d41 9b05 Dd1b69d3469a

Islam yang mengakar kuat dalam kehidupan kita—entah NU, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Nahdatul Watan—bisa jadi, salah satunya, dibentuk dari pemikiran al-Ghazali. Ini bisa dilacak dari Abd al-Samad al-Palimbani, waliyullah dan guru dari semua guru. Darinya jaringan keilmuan Nusantara berakar.

Murid-muridnya yang membangun pondasi keagamaan Indonesia, di antaranya adalah Syaikh Nawawi ibn Umar al-Bantani, Syaikh Waliyullah Khalil bin Abd al-Latif Bangkalan (Mbah Khalil), Syaikh Shalil bin Umar Semarang (Kiai Shalih Darat), dan Syaikh Ahmad Khatib bin Abd al-Latif Minangkabau. Mereka kemudian menjadi guru dari intelektual setelahnya: Kiai Mahfuzh Termas, Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Sulaiman al-Rasuli (pendiri Tarbiyah Islamiyah),  Kiai Zainuddin (pendiri Nahdatul Watan), RA Kartini, Kiai Maksum Lasem, Kiai Baidlawi Lasem, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Raden Asnawi Kudus, hingga Kiai Munawwir Krapyak.

Meski kontribusi al-Plaimbani sangat besar, kita hanya memiliki sedikit referensi mengenai kehidupan beliau. Ia sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad pada 1968.

Sumber ini menyebutkan, al-Palimbani adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (10): Konflik Ulama Banyuwangi dengan Golongan Anti Mazhab

Selain sumber tersebut, Azyumardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa al-Palimbani mempunyai posisi strategis di Timur Tengah. Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abd al-Samad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah al-Palimbani karena gambaran kariernya hampir seluruhnya merupakan gambaran karier al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.

Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.

Di Makkah dan Madinah, al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalahkarangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia belajar kitab tauhid Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M).

Baca juga:  Ajaran Sunan Kudus dalam Manuskrip Abad Ke-17

Bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.

Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat.

Mengenai kolonialisme, al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad fi Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.

Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda. Menurut M.C. Ricklefs, kitab ini bahkan dijadikan sandaran kewajiban memerangi Belanda di masa penjajahan. Sesaat setelah diterbitkan, pemberontakan muncul di berbagai daerah di Nusantara.

Dalam kata pengantar untuk kitab Sair al-Salikin yang diterbitkan kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985), Henri Chambert-Loir mengatakan bahwa dua terjemahan (sekaligus komentar) al-Palimbani terhadap Bidayah dan Ihya’ memainkan peran yang sangat penting dalam memperkenalkan al-Ghazali di Indonesia.

Meski begitu, sejatinya al-Palimbani tidaklah terfokus hanya kepada translasi ide-ide al-Ghazali. Dalam terjemahannya terhadap Ihya’ yang berjudul Sair (Siar) al-Salikin ila Ibadat Rabb al-Abidin, dia banyak menyisipkan pengajaran tarekat Sammaniyah, serta memperkenalkan beberapa ulama tasawuf seperti Ibn Arabi, Abd al-Karim al-Jili dan Syamsuddin al-Sumatrani, para sufi yang mengajarkan konsep Wahdat al-Wujud.

Baca juga:  Corona dan Minuman Keras (Khamer): Apa Hubungannya?

Selain mengambil dari kitab induk, Sair al-Salikin juga diberikan tambahan dari Lubab Ihya’ Ulum al-Din yang diterjemahkannya selama sepuluh tahun (17878-1788). Sair disarikan dalam aksara Jawi yang menurut Chambert-Loir setebal 1048 halaman dalam dua jilid. Jilid pertama diterbitkan di Makkah pada 1888, jilid kedua diterbitkan di Bulak, Mesir beberapa tahun kemudian.

Ihya’ bukanlah kitab pertama yang dia terjemahkan. Pertama-tama dia justru menerjemahkan Bidayah yang selesai pada tahun 1778, setahun sebelum menerjemahkan Ihya’. Diberi judul Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, diterbitkan pertama kali di Makkah pada 1881 dengan aksara dan bahasa Jawi. Kitab ini merupakan kitab paling pertama yang berbahasa Jawi yang diterbitkan di Makkah. Beberapa waktu lalu diterbitkan di Mesir, Bombai, Singapura, dan Surabaya. Kitab ini, hingga sekarang, masih banyak digunakan di pesantren-pesantren dan masjid-masjid di Idonesia, Singapura dan Malaysia.

Sama dengan Sair al-Salikin, dalam menerjemahkan Hidayat al-Salikin (kadang juga disebut Bidayat al-Salikin) al-Palimbani mencampurnya baik dari kitab-kitab al-Ghazali yang lain maupun dari ulama lainnya. Ke dalamnya ia meramu Ihya, Minhaj al-Abidin, dan Al-Arba’in fi Usul al-Din; sebuah kitab yang dikarang oleh Syekh Muhammad bin Abd al-Karim al-Sammani yang digunakan sebagai pengajaran dan praktik tarekat Sammaniyah, al-Nafahat al-Ilahiyah fi Suluk al-Tariqah al-Muhammadiyah; karya Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dan Sayyid Abdul Qadir al-Aydrus; sayyid dan sufi dari Hadramaut yang memiliki sanad langsung kepada Imam al-Ghazali.

Sebagaimana Bidayah, kitab ini ditujukan kepada para pengamal tasawuf awal dengan penambahan cara-cara berzikir dan mengingat Allah. Di subjek lain dia menambahkan penjelasan tentang metode-metode zikir dan tarekat Sammaniyah. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top