Sedang Membaca
Resensi Buku: Maksud Politik Jahat, Bahasa dan Pelupaan Sejarah 1965
Muhammad Arif
Penulis Kolom

Pengajar di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Resensi Buku: Maksud Politik Jahat, Bahasa dan Pelupaan Sejarah 1965

Img 20200819 081532

Pertama kali saya berjumpa dengan buku Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa, saya langsung jatuh hati. Sampul bukunya bagus dan judul yang dibuat amat menggelitik.

Begitu saya membuka buku ini, mata saya langsung tertuju pada dua esai yang berjudul Bahasa bagi Benedict Anderson (hlm. 10-23) dan Keprihatinan bahasa Benedict Anderson (hlm. 23-39). Keterarahan mata saya pada dua judul itu tidak lain karena terpantik oleh judul buku yang termaktub di sampul. Dugaan saya, buku yang memuat lima esai tentang Benedict Anderson ini, bagian terpentingnya ada di dua esai yang saya sebut di atas. Pasalnya, Joss Wibisono, penulis buku ini, menjuduli buku ini segaris dengan dua esai itu.

Lantas bagaimana dengan tiga judul esai yang lainnya? Sejauh pengamatan saya memang esai ini memiliki keterkaitan dengan judul besar buku, setidaknya menyerempet. Tetapi, tidak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan dari judul buku. Ini memang salah satu kendala penyusunan buku ini, karena sejatinya buku ini merupakan kumpulan esai dari esai-esai Jos Wibisono yang sudah pernah dimuat di berbagai media massa—kecuali esai yang berjudul Bahasa bagi Benedict Anderson—tapi dengan beberapa tambahan di sana-sini yang membuatnya leluasa karena tidak dibatasi panjang/pendeknya.

Di satu sisi, kumpulan esai yang terpisah ini memang tidak menyenangkan, karena tiap-tiap esai tidak menyajikan pembahasan yang terstruktur dan mengalir menjadi satu kesatuan. Namun, di sisi lain, keterpisahan pembahasan masing-masing esai telah memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memulai membaca dari sisi mana saja. Mau mulai esai pertama dulu, lalu melanjutkan sampai esai kelima secara berurutan bisa. Mau mulai membaca esai kelima dulu dan berjalan balik lagi ke depan juga bisa. Mau membaca melompat-lompat dengan memilih esai yang menarik, seperti yang saya lakukan, juga bisa. Karena memang, untuk dapat memahami satu esai dari kumpulan esai ini, tidak ada tuntutan harus memahami esai-esai tertentu terlebih dahulu.

Baca juga:  Sabilus Salikin (48): Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (1)

Baiklah, supaya tidak kebanyakan mengulas soal wajah buku, saya akan coba bercerita tentang sisi menarik dari buku ini, terutama soal dua esai yang sudah saya sebut di atas. Dua esai itu bagi saya sangat menarik, selain karena selaras sepenuhnya dengan judul besar buku, dua esai ini menghadirkan beberapa kejutan bagi saya pribadi. Sebagai pengguna dari bahasa Indonesia, khususnya sebagai generasi yang sejak duduk di sekolah dasar sudah menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), baru kali ini saya menyadari bahwa ejaan “sempurna” ini ternyata diam-diam mengemban misi maksud politik jahat.

Loh, bagaimana mungkin EYD yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah itu menyimpan maksud politik jahat? Bukankah ia selama ini telah membantu menjadi media penyalur keilmuan yang “mencerdaskan” bangsa? Pertanyaan inilah yang segera menyergap otak saya ketika berjumpa dengan perkataan Jos Wibisono yang mengatakan bahwa bagi Benedict Anderson EYD itu tidak lain adalah “Tjuma akal bulusnja orde bau,” (hlm. 25). Pernyataan singkat dan monohok itu pun lalu memaksa saya melanjutkan membaca lembar demi lembar esai-esai ini hingga purna.

Selintas memang terkesan berlebihan mengatakan bahwa dalam EYD itu hanyalah akal bulusnya Soeharto, tetapi saat melihat penjelasan Ben Anderson yang dikutip buku ini, kita akan segera menjadi mafhum. Menurut Ben Anderson, walaupun alasan resmi dari diberlakukannya sistem ejaan baru (EYD) pada tahun 1972-1973 itu adalah untuk membuka pasar cetak dengan Malaysia, tetapi dalam kebijakan itu terselip misi penghapusan sejarah. Lewat pemberlakukan EYD, Orde Baru telah membentuk damarkasi yang tegas pada hal-hal yang ditulis di masa Soeharto dan di masa Soekarno. Hanya dengan membaca judul buku atau pamflet saja, sudah dapat diketahui bahwa itu terbitan Orde Baru atau terbitan Orde Lama. (hlm. 29)

Baca juga:  Sabilus Salikin (110): Guru-guru dan Karya-karya Ibnu Arabi

Seturut dengan itu, proyek pendisiplinan yang dilakukan oleh Orde Baru pun menjadi semakin mudah. Buku-buku terbitan Orde Lama atau sebelumnya, dapat dengan mudah ditertibkan. Mereka yang masih mengoleksi, membaca, dan mencari buku-buku rujukan terbitan lama akan segera dicurigai. Perlahan tapi pasti, akhirnya produk-produk gagasan Orde Lama akan dilupakan oleh para generasi muda dan dianggap sebagai tulisan yang tidak penting. Alhasil, pengetahuan generasi muda pada sejarah Indonesia pun kebanyakan hanya berasal dari sumber-sumber terbitan Orde Baru.

Bagi Orde Baru, penghapusan sejarah perlahan demikian itu sangatlah penting. Pasalnya, begitu generasi muda itu melek sejarah dan mampu mengakses sumber-sumber sejarah terbitan ejaan Suwandi (ejaan sebelum EYD tapi bukan ejaan lama warisan kolonial yang pakai huruf “oe”) mereka akan langsung mengerti kebusukan-kebusukan Orde Baru. Mereka akan langsung paham bahwa perlakukan Orde Baru terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kalangan kiri lainnya jauh lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh penjajah Belanda pada tahun 1926 terhadap PKI yang saat itu betul-betul memberontak.

Penjajah Belanda paling-paling hanya membuang para pemberontak komunis itu ke Boven Digoel, sementara Orde Baru jauh lebih kejam dari itu. (hlm. 31) Rezim tangan besi ini tidak hanya membuangi tahanan politik PKI ke pulau Buru, melainkan juga membunuhi mereka secara kejam. Bahkan dalam catatan salah seorang algojo Orde Baru tertulis bahwa ada sekitar 3 juta orang yang saat itu dibunuh tanpa proses peradilan.

Baca juga:  ‘Aqidah Ibnil Lasami: Nazam Tauhid Karangan KH. Hakim Masduqi Lasem (1961)

Karena sumber-sumber dari ejaan Suwandi menyediakan banyak informasi terkait kekejaman tersebut, maka Orde Baru pun merasa perlu menggati ejaan Suwandi dengan EYD. Dengan melenyapkan ejaan Suwandi dan memopularkan EYD, secara perlahan Orde Baru telah membutakan generasi muda pada sejarah. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika Ben Anderson mengatakan bahwa EYD itu bukan sekedar alat bertutur atau prasarana komunikasi, melainkan juga alat pendisiplinan yang menyimpan maksud politik jahat.

Sayangnya, respon publik Indonesia pada waktu itu (1972-1973) bahkan sampai saat ini terkesan abai terhadap proyek penghapusan sejarah itu. Berbeda 180 derajat dari respon publik saat kemarin ada isu rencana penghapusan mata pelajaran sejarah oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Judul               : Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa

Penulis             : Joss Wibisono

Penerbit           : Tanda Baca

Cetakan           : Maret 2020

Tebal               : xiv + 142 hlm

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top