Sedang Membaca
Mengambil Makna dari Satu Dekade Wafatnya Gus Dur

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Mengambil Makna dari Satu Dekade Wafatnya Gus Dur

2009 12 31 04 24 02 G

Hari ini sepuluh tahun yang lalu, 30 Desember 2009 telah berpulang seorang anak manusia yang memiliki banyak sebutan mulai dari Kiyai, Budayawan, Kolumnis, Politikus, Pegiat Demokrasi, dan Bapak Bangsa. Apakah ada lagi sebutan lainnya? Saya yakini tentunya ada. Banyaknya sebutan ini bukan berarti menasbihkan bahwa Gus Dur adalah seorang manusia sempurna, tetapi sebutan yang disematkan oleh masyarakat yang tentu bukan sematan subyektif Gus Dur sendiri, tentunya dihasilkan dari sumbangsih konkrit di setiap bidang yang mewakili sebutan masing masing.

Sebagai kiyai misalnya, Gus Dur yang selain memang sudah memiliki titisan darah biru dari keluarga ulama yang merupakan cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari -pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama’- dan putra dari Menteri Agama pertama RI yakni KH. Wachid Hasyim. Gus Dur juga sangat mumpuni menguasai ilmu agama yang beliau dapatkan dari mondok mulai dari Tambakberas Jombang, Krapyak Jogjakarta, Tegalrejo Jawa Tengah, dan Sarang Jawa Tengah. Selepasnya, Gus Dur lantas melanjutkan studinya ke al-Azhar Mesir. Saat di al-Azhar Mesir ini Gus Dur bahkan sering bolos tidak mengikuti kuliah dan lebih memilih bermain bola atau pergi ke perpustakan, karena mata kuliah yang diajarkan dirasa Gus Dur sudah tertinggal karena sudah banyak didapatkan Gus Dur saat mondok di Indonesia. Materi sekelas perguruan tinggi Islam yang bertaraf internasional saja mengajarkan materi yang sudah dipelajari waktu mondok merupakan indikasi bahwa kapasitas keilmuwan yang dimiliki oleh Gus Dur sudah tak perlu diragukan lagi.

Sebagai kolumnis, Gus Dur sudah banyak meninggalkan ribuan tulisan yang tercecer di banyak media penerbitan. Ceceran tulisan Gus Dur juga sudah banyak disatukan dalam banyak bentuk buku. Sebagai budayawan, Gus Dur juga pernah memimpin DKJ -Dewan Kesenian Jakarta-, pernah juga terlibat sebagai juri Festival Film Indonesia tahun 1987. Sebagai pegiat demokrasi apalagi. Gus Dur bersama sama dengan Arif Rahman, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, Adnan Buyung Nasution, serta tokoh tokoh lainnya mendirikan Forum Demokrasi -fordem-. Pendirian Fordem ini sebagai upaya antitesis atas didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia -ICMI- yang digagas oleh BJ Habibie dan juga disokong oleh pemerintahan Soeharto kala itu. ICMI dianggap sebagai cikal menguatkan politik islam sekatrian yang oleh karenanya harus diseimbangkan dengan didirikannya Fordem (Hefner, 128; Nasution, 2010:53).

Baca juga:  Kontroversi Yudian Wahyudi, dari Menuliskan Gelar Kiai Sendiri hingga Doa Masuk Istana

Sebagai Politikus peran Gus Dur sebenarnya sudah dirintis semenjak beliau mendirikan Fordem. Lembaga ini meskipun secara formal bukanlah lembaga politik, namun karena perannya sebagai lembaga antitesis dari berdirinya ICMI yang sebenarnya sama sama bukan lembaga politik, namun banyak digunakan sebagai kendaraan politisi untuk meraih tujuan politiknya kala itu. Maka mau tidak mau lembaga ini banyak dihadapkan pada kebijakan politik pemerintah, bahkan fordem merupakan salah satu musuh utama pemerintah. Peran Gus Dur dalam fordem sangat sentral, oleh karenanya Gus Dur dianggap oleh Soeharto menjadi lawan politik yang cukup berbahaya, sehingga ada upaya pemerintah untuk mengecilkan peran atau bahkan mematikan peran Gus Dur dalam kehidupan bernegara. Puncaknya ketika muktamar NU ke-29 di Cipasung Jawa Barat, dimana ada upaya kuat dari pemerintah untuk membendung Gus Dur agar tidak terpilih kembalai menjadi ketua PBNU, ada gerakan ABG -asal bukan Gus Dur- yang kebanyakan dari pengurus wilayah dari luar jawa yang bekerja untuk menghambat laju Gus Dur (Greg Barton, 2003;252). Dimunculkanlah calon ketua tandingan waktu itu, yakni Abu Hasan. Namun, intervensi kuat pemerintah waktu itu gagal dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua umum PBNU kembali. Tak ayal, Muktamar NU ke-29 ini dicatat dalam sejarah muktamar menjadi ajang muktamar NU terpanas.

Baca juga:  Ulama Banjar (5): Qadhi H. Muhammad Jafri

Setelah era Soehato sebagai representasi Orde Baru tumbang, peran politik Gus Dur terlembaga ke dalam partai politik dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa -PKB- pada tahun 1998 dengan ketua umum dimandatkan kepada Matori Abdul Jalil. Perjalan pendirian PKB ini cukup mengejutkan sebagai partai politik pendatang baru, dimana pada pemilu legislatif ahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik yang sebelumnya hanya 3 partai politik menjadikan PKB sebagai pemenag ke-3 setelah PDI Perjuangan dan Golkar. Karir politik Gus Dur terus berlanjut hingga beliau diangkat menjadi Presiden RI ke-4 pada pemilihan Presiden oleh MPR di bulan Oktober 1999. Meskipun akhirnya pada bulan Juli 2001, Gus Dur diturunkan sebagai Presiden melalui Sidang Umum MPR.

Semua peran yang dilakoni Gus Dur dalam sematan sebutan apapun adalah merupakan peran penting beliau dalam memberikan kontribusi kepada kehidupan bermasyarakat, bergama, dan bernegara. Peran peran penting tersebut kini menjadi legacy -peninggalan- yang tak ternilai bagi kehidupan ummat manusia -masayarakat-. Dalam kehidupan bermasyarakat, Gus Dur memberikan peninggalan penting dengan menguatkan peran masayarakat yang didasari oleh sikap penghormatan atas perbedaan atau toleransi. Gus Dur mengusung dan menghadirkan agama bukan berhenti dengan mempertentangkan perbedaan dari sisi ritual syariat belaka, yang oleh cak Nur disebut sebagai kesalehan simbolik, namun Gus Dur menghadirkan agama sebagai nilai substantif. Agama yang memanusiakan manusia atau dalam bahasa As’ad Ali yang ditulis sebagai pengantar buku Humanisme Gus Dur sebagai Humanisme Islam (Syaiful Arif: 2013; II).

Baca juga:  Gus Dur Belajar Kepada Imam Kholil al-Farahidi

Dalam kehidupan bernegara, Gus Dur mampu menjadikan demokrasi sebagai salah satu ijtihad sistem bernegara menjadi pilar dalam kehidupan bernegara. Saat beliau sebagai Presiden, Gus Dur mampu menciptakan kekuatan sipil –civil society– sebagai panglima demokrasi dengan menciptakan kebebasan pers dengan membubarkan kementerian penerangan, dan juga dihapusnya dwi fungsu ABRI/TNI waktu itu dengan dikembalikannya ke ‘barak’, sehingga tidak diberikannya ruang untuk ikut dalam percaturan politik praktis. Gus Dur juga memberikan kebebasan bagi warga negara dalam memeluk serta menjalankan agama dan keyakinan masing masing yang salah satu wujud nyatanya adalah memberikan kebebasan bagi penganut Konghucu untuk merayakan Imlek secara bebas dan terang terangan yang sebelumnya tak terjadi.

Semua peran yang ditinggalkan oleh Gus Dur dalam bingkai kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara tentu sangat layak disematkan sebutan sebagai Bapak Bangsa, yang tentunya ini akan memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya. Itulah Gus Dur, yang meskipun sudah satu dasawarsa sudah “mangkat”, tetapi beliau akan selalu hadir di tengah tengah kehidupan warga negara Indonesia bahkan dunia. Gus Dur boleh tiada secara jasmani, namun beliau masih terus hidup sebagai “institusi” pemikiran dan ideologi yang akan terus menjadi bahan kajian untuk kehidupan.  (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top