Lelaki muda bernama Niko Fischer sedang dirundung frustrasi. Pengajuan SIM-nya ditolak, kuliahnya tidak selesai, dan kartu ATM-nya diblokir oleh ayahnya sendiri. Pada hari itu, kesialan dan kegusaran seolah menghantuinya selama berada di tengah Kota Berlin. Sebab itu, merenung seraya melihat ke luar jendela menjadi pelarian sementara dari hantaman hari buruk. Jendela membantunya melihat sepenggal gambaran Kota Berlin tanpa harus berada di tengah kerumunan warga kota.
Cerita tentang perjalanan Niko Fischer terdapat dalam film A Coffee In Berlin gubahan Jan Ole Gerster. Salah satu apresiasi yang kerap mencuat dari film itu adalah kesanggupan kamera memotret lanskap Kota Berlin dengan warna hitam putih, dan mengikuti pelbagai adegan Niko yang memadukan humor dan melankoli. Meskipun film mengesahkan kesan muram dan kaku pada kota, perjalanan Niko memandu penonton melihat oase dan estetika kota dari jejeran bangunan klasik di Kota Berlin.
Kota Berlin pada film itu tercitrakan sebagai kota metropolitan yang sesak dan dihuni oleh sekian orang menyebalkan. Niko bertemu dengan barista yang mengecoh pelanggan, seniman yang mudah tersinggung, hingga teman yang semaunya sendiri. Ia juga sempat bertemu dengan warga yang berlagak menjadi pengadil di stasiun bawah tanah kota. Kota Berlin seakan melahap Nico di masa terpuruknya. Pada saat-saat memuakkan itu, jendela pun memberinya kesempatan untuk merefleksikan pengalamannya selama di tengah kota Berlin.
Kisah antara jendela dan gambaran kota juga pernah ditulis oleh sastrawan asal Turki, Orhan Pamuk, dalam sebuah cerita pendek berjudul “Memandang ke Luar Jendela”. Cerpen bertutur mengenai seorang anak kecil bernama Ali yang hidup bersama keluarga besar di sebuah apartemen. Para anggota keluarganya dituliskan suka memandang ke luar jendela kala mengalami rasa suntuk dan bosan karena keterbatasan hiburan.
Latar cerita itu terjadi di Istanbul, Turki pada tahun 1958. Pada masa itu, Turki sedang mengalami masa transisi dari Kesultanan Utsmani ke Republik Turki Sekuler. Modernisasi sedang terjadi, kelas menengah bertumbuh, tetapi kemiskinan juga merebak. Dalam suasana zaman demikian, kelas menengah Istanbul banyak menghuni flat atau apartemen, salah satunya keluarga Ali.
Ali yang menjadi pencerita lewat sudut pandang orang pertama menceritakan bahwa televisi kadang membawa rasa bosan. Radio pun terasa demikian. Terkadang, ia menyaksikan beberapa anggota keluarganya memandang ke luar jendela, mungkin untuk menghibur diri. “Memandang ke luar jendela adalah sebuah hiburan penting sehingga tatkala televisi pada akhirnya datang ke Turki, orang-orang bertindak sama di depan kotak ajaib itu dengan yang mereka lakukan di depan jendela-jendela mereka,” seperti yang tertulis dalam cerpen itu.
Jendela memberi ruang untuk melihat gambaran Kota Istanbul di musim dingin. Yang mencuat pertama-tama tatkala mereka memandang ke luar jendela adalah jalanan yang terselimuti salju. Para penghuni flat tentu khawatir dengan kondisi itu, sebab saat kebosanan melanda, bepergian adalah salah satu jalan keluar. Karena itu, perasaan muram dan kebekuan itu menjalar kala memandang kota dari jendela saat musim dingin. Orang-orang Turki menyebut perasaan muram itu hüzün.
Selain itu, sejarawan dan Indonesianis asal Ceko, Rudolf Mrazek, pernah membahas kaitan antara jendela dan Kota Jakarta. Paparan itu ada dalam bukunya yang berjudul A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of its Intelectuals. Buku ini merupakan wawancara Mrazek terhadap orang-orang tua elite di Jakarta pada akhir abad XXI.
Dalam bab buku berjudul “The Window” atau jendela, dikisahkan bahwa kalangan elite Jakarta wajib memiliki jendela, sebab jendela membantu melihat dunia luar lebih luas dari rumah, dinding, pagar, bahkan ruang kelas. Bermula jendela, keluarga elite Jakarta bisa memproyeksikan gambaran apa yang terjadi di dunia luar, sehingga mereka bisa menyusun rutinitas keseharian.
Mrazek menjelaskan jendela bisa menjadi cara untuk bersembunyi dari kegaduhan jalanan Jakarta. Jendela memberi kesempatan bagi penghuni rumah untuk lebih waspada terhadap kriminalitas, kemacetan, dan hiruk-pikuk kepadatan penduduk. Pada rumah-rumah kaum elite Jakarta, jendela seakan menunjukkan sejarah, lanskap kota, dan ingatan-ingatan terhadap dunia luar.
Sebagaimana cara Mrazek melihat jendela dan gambaran kota, pada dasarnya jendela merupakan salah satu cara untuk memantau keadaan di luar rumah. Tetapi pemaknaan jendela telah bergeser lebih jauh. Saat menyibak jendela, sekian orang menyaksikan dinamika warga dan ruang sosial. Di situlah tampak sepenggal gambaran kota. Pada tiap cerita ihwal jendela dan sisi lain kota, bermunculan pelbagai renungan. Renungan lantas berlanjut menjadi emosi kolektif warga kota.
Kini, jendela untuk melihat dunia luar beralih pada gawai yang mendorong ritme hidup lebih tergesa dan acapkali menghilangkan daya reflektif para penggunanya. Sepanjang jalan kota, sekian orang disuguhkan dengan pemandangan orang merunduk menatap gawainya masing-masing. Jendela pun menjadi jalan bagi angin semata. Seiring klasterisasi perumahan di pinggiran kota, pemaknaan jendela pun kian kapiran. Yang mereka lihat hanyalah kesibukan dari masing-masing penghuni, disertai rasa sepi dan sunyi.