Sedang Membaca
Tafsir Surah al-Fatihah (8): Perbedaan Cara Baca Lafal Malik dan Hikmahnya
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Tafsir Surah al-Fatihah (8): Perbedaan Cara Baca Lafal Malik dan Hikmahnya

Thalhah Alfayyad

Alkisah, seorang hamba sangat bahagia ketika membaca ayat “ar-Rahmaanir Rahiim, yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”. Sontak, gemuruh harapan akan ampunan dan rahmat-Nya menggemuruh di hati sang hamba. Ia yakin harapan meraih surga akan terlihat begitu kecil di depan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim milik Allah.  Kini, pada ayat selanjutnya sang hamba merasakan ketakutan yang sangat besar. Ia teringat dengan dosa dan kesalahan yang nanti akan dibuka di hadapan Allah pada hari Pembalasan.

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

“Dia lah Allah yang memiliki hari pembalasan” (Qs. Al-Fatihah ayat 4)

Dalam ilmu qira’ah sab’ah terdapat perbedaan dalam membaca ayat ini. Imam Ashim dan imam Ali al-Kisa’I membaca panjang huruf mim lafadz malik. Sebaliknya, para imam qiraah yang lain membaca pendek huruf mim lafadz malik. Dalam ilmu qiro’ah sab’ah, terdapat hikmah yang sangat agung dalam perbedaan carabaca. Karena, selalu ada makna khusus yang dibawa oleh setiap carabaca yang menjadikan al-Qur’an kaya akan perbendaharaan makna.

Qiro’ah yang membaca panjang huruf mim lafadz malik (terbaca Maalik) membawa makna memiliki. Karena lafadz maalik adalah bentuk isim fa’il dari asal kata milk (ملك) yang bermakna kepemilikan. Sedangkan, qiro’ah yang membaca pendek huruf mim lafadz malik (terbaca Malik) membawa makna merajai/menguasai. Karena lafadz malik adalah sifat musyabbihat dari asal kata mulk (ملك) yang bermakna kerajaan.

Ketika kita padukan dua cara baca ini kita akan menemukan makna yang amat dalam. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah lah yang memiliki hari pembalasan dan Allah juga lah yang mengatur seluruh nasib hamba-Nya di hari pembalasan.

Makna ayat ini membawa pesan peringatan agar hambanya ikhlas beribadah kepadaNya. Karena kelak, mereka akan menemui balasan perbuatan mereka di hari pembalasan.

Baca juga:  Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang (c. 1820-1903)

Dalam ayat ini, ada sebuah pertanyaan “Mengapa Al-Qur’an datang dengan dua cara baca?”

Dengan dua makna inilah, sifat keagungan Allah terlihat jelas dihadapan para pembaca Al-Qur’an. Karena hanya Allah lah yang memiliki hari pembalasan sebagaimana dalam ayat al-Qur’an

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ (19)

“Pada hari (ketika) seseorang tidak memiliki (pertolongan) bagi orang lain. Dan segala urusan pada hari itu adalah milik Allah” (Qs. Al-Infithar : 19)

Dan hanya Allah lah yang mengatur segala perkara yang terjadi di hari pembalasan, dimana seluruhnya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya sebagaimana dalam ayat al-Qur’an

يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ(16)

“Pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tidak sesuatu pun keadaan mereka yang tersembunyi di sisi Allah. (Lalu Allah berfirmah) “Siapakah yang merajai hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan” (Qs. Ghafir : 16)

Seandainya hanya memakai satu carabaca dalam lafadz malik tentu pembaca hanya memahami makna ayat dari satu sudut penafsiran belaka. Dan nantinya, akan ada berbagai kebingungan dan tanda tanya di hatinya. Bahkan mungkin saja ia akan salah dalam memahami ayat ini.

Ketika hanya memakai makna “memiliki hari pembalasan” mungkin saja pembaca akan berfikir “Apakah Allah yang memiliki hari pembalasan mampu menghukum hambanya di hari tersebut?”. Karena ada banyak sekte diluar aliran Aswaja yang tidak mengakui surga dan neraka sebagai balasan yang nyata. Sebagian dari mereka menyatakan surga dan neraka bersifat ilusi bagaikan mimpi bukan sebuah balasan yang nyata/hakiki. Sebagaimana yang diutarakan oleh sebagian pemimpin sekte Mu’tazilah.

Baca juga:  AL-Qur’an dan Budaya (1): Kemunculan Tradisi Al-Qur’an pada Islam Awal

Ketika seorang pembaca dari kalangan sekte Murji’ah membaca ayat ini. Maka, mereka akan menyatakan “Allah hanya memiliki hari pembalasan dan Allah tidak mungkin menghukum hambanya di hari pembalasan karena setiap yang beriman pasti masuk surga tanpa hisab”.

Sehingga banyak dari mereka tidak benar-benar mengimani bahwa Allah adalah dzat yang mengatur jalannya hari pembalasan seutuhnya.

Ketika hanya memakai makna “merajai hari pembalasan” mungkin saja pembaca akan berfikir “Apakah Allah yang merajai dan mengatur di hari pembalasan adalah pemilik hari tersebut?”. Tentu, pembaca dari kalangan penganut aliran trinitas (agama yang mengakui tiga tuhan) akan berfikir

“Esensi yang mengatur sebuah perkara bisa jadi tidak memiliki perkara tersebut, karena bisa jadi ada satu tuhan yang mengatur jalannya hari pembalasan dan ada satu tuhan lain yang memiliki hari pembalasan”.

Secara logika, dapat kita sederhanakan bahwa  makna “memiliki” dan “menguasai” adalah dua peran yang berbeda. Misal contoh, seorang raja bisa dikategorikan “memiliki” sebuah negara berbasis kerajaan. Akan tetapi yang memiliki peran “menguasai” jalannya hukum di negara tersebut adalah perdana menteri.

Selain kedua cara baca diatas, juga beberapa carabaca lain yang bermacam-macam. Misal contoh, imam Laits bin Sa’ad yang membaca Malikii Yaumid Diin (ملكي يوم الدين), imam Abu Hanifah yang membaca Malaka Yaumad Diin (ملك يوم الدين) dan masih banyak lagi. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab al-Itqan mencatat ada 13 carabaca dalam ayat ini.

Baca juga:  Aturan Al-Qur’an Mengenai Kerjasama Antar Umat Beragama

Kemudian, dalam ayat ini lafadz ad-Din bermakna pembalasan yang masih satu akar kata dengan lafadz Ad-Dain yang bermakna hutang. Karena sebagaimana hutang yang harus dilunasi maka setiap amal perbuatan juga akan dilunasi balasannya di hari pembalasan. Sebagaimana sebuah sya’ir

ولم يبق سوى العدوا     #   ن دناهم كما دانوا

“Dan tidak tersisa kecuali permusuhan, kami membalas sesuai dengan perbuatan mereka”

Kemudian, dalam ayat ini sifat kepemilikan dan menguasai dihubungkan (idhofah) dengan hari pembalasan sebagai waktu dijalankannya pembalasan Allah. Dalam ilmu tata bahasa arab, hal ini menyimpan faedah ittisa’ (perluasan makna) karena pada dasarnya makna yang dimaksud adalah Allah menguasai dan memiliki seluruh perkara yang ada di hari pembalasan. Hal ini sebagaimana ungkapan bangsa arab dalam mensifati seorang pencuri barang berharga “Wahai orang yang mencuri malamnya penghuni rumah”.

Walhasil, hikmah dibalik ayat ini adalah penegasan agar sang hamba merasakan taqwa dan khouf (rasa takut) akan pembalasan amal mereka di hari Kiamat. Karena nanti pada hari Kiamat, setiap manusia yang dahulu di dunia memiliki kekuasaan misal seorang raja, presiden, perdana menteri, dan sejenisnya tak lagi memiliki daya kuasa. Seluruh manusia dihadapkan kepada pengadilan Allah yang tak dapat disuap dengan apapun dan tak memandang kasta derajat seseorag pun sebagaimana yang sering terjadi pada pengadilan di dunia.

Al-Qur’an memberikan kita peringatan akan pentingnya mempersiapkan amal untuk hari Pembalasan.

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Qs. Hud ayat 105).

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top