M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Potret Perjuangan Ulama (8): Para Ahli Hadis yang Miskin

1 A Aalll

Ada sebuah adagium menarik dalam ilmu hadis, “Barang siapa yang ingin menekuni ilmu hadis maka ia harus bersiap hidup serba kekurangan.” Adagium ini pertama kali diucapkan oleh Syu’bah bin Hajjaj al-Wasith, sebagai sebuah gambaran beratnya perjuangan seorang pelajar ilmu hadits di zaman dahulu.

Diceritakan, Syu’bah pernah menjual baskom milik ibunya yang dihargai tujuh dinar sebagai bekal untuk mengembara mencari guru dalam ilmu hadis. Pada zaman dahulu memang tak jarang, seseorang pelajar ilmu hadis harus berjalan berpuluh-puluh mil jauhnya untuk mencari guru yang akan mengajarkan ilmu hadis.

Dikisahkan, Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengembara dari kota Baghdad di negara Iraq menuju kota Shan’a di negara Yaman hanya untuk berguru ilmu hadis kepada syekh Abdurrazaq. Perjalanan dari kota Baghdad menuju kota Shan’a ditempuh dalam waktu lebih dari satu bulan lamanya. Imam Ahmad bin Hanbal mengembara bersama Yahya bin Ma’in, seorang tokoh besar dalam ilmu hadis.

Ketika keduanya sampai di kota Shan’a terjadilah hal yang tak diinginkan.

Bekal Imam Ahmad bin Hanbal telah habis seluruhnya. Maka, Syekh Abdurrazaq iba melihat hal tersebut. Syekh Abdurrazaq pun memberikan uang dirham cukup banyak sebagai bekal Imam Ahmad bin Hanbal menyambung hidup selama belajar di kota Shan’a.

Akan tetapi, tak diduga, Imam Ahmad bin Hanbal tak mengambilnya sedikit pun. Ia justru bekerja membuat sabuk di sela-sela belajarnya kepada syekh Abdurrazaq. Hasil menjual sabuk pun ia gunakan sebagai bekal berbuka puasa setiap hari.

Pernah suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal menggadaikan sebuah ember kepada seorang pedagang sayur. Hal ini dilakukan akibat kehabisan bekal menyambung hidup selama belajar di kota Shan’a. Maka, ketika Imam Ahmad bin Hanbal telah memiliki uang yang cukup hasil jerih payahnya ia pun berangkat untuk menebus ember yang ia gadaikan.

Baca juga:  Rindu Gus Dur

Imam Ahmad bin Hanbal berangkat bersama Sulaiman bin Dawud asy-Syadzakun. Ketika telah sampai di tempat tujuan, sang pedagang sayur pun menyodorkan dua ember, “Wahai tuan, ember manakah dari dua ember ini yang menjadi milikmu?”

Imam Ahmad bin Hanbal pun menjawab, “Aku tak dapat membedakannya. Baiklah, ember yang aku gadaikan kuberikan kepadamu dan uang tebusan ini juga aku hadiahkan untukmu.”

Mendengar hal itu, Sulaiman bin Dawud asy-Syadzakun merasa iba melihat keadaan Ahmad bin Hanbal seraya berkata kepada sang pedagang sayur, “Engkau telah menguji seorang yang sangat zuhud, padahal ia sangat membutuhkannya.”

Diakhir pendidikannya di kota Shan’a, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah menggadaikan sandalnya kepada seorang penjual roti. Hal ini dilakukan karena ia tak memiliki uang sepeser pun untuk bertahan hidup.

Dikisahkan, imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari sang maestro dalam ilmu hadis penulis kitab Shahih Bukhari juga pernah mengalami kefakiran yang sangat berat. Di masa pencari ilmu Imam Bukhari pernah mengembara ke kota Askelon, sebuah kota di negara Palestina untuk menimba ilmu hadis kepada syekh Adam bin Abi Iyash.

Sayangnya, di tengah perjalanannya ke kota Askelon Imam Bukhari kehabisan bekal. Walhasil, saking laparnya Imam Bukhari sempat beberapa hari memakan rumput dan dedaunan untuk bertahan hidup. Hingga suatu saat, Imam Bukhari bertemu dengan seseorang laki-laki tak dikenal yang tiba-tiba memberikannya sekantong uang dinar. Seorang laki-laki tersebut berpesan, “Gunakanlah uang ini untuk keperluan hidupmu.”

Kejadian serupa juga menimpa Imam Bukhari ketika telah menjadi ulama besar. Pernah suatu ketika murid-muridnya mencari keberadaan Imam Bukhari. Beberapa hari beliau tidak hadir dalam pengajian yang diampunya. Para muridnya pun mencari sang guru. Hingga mereka menemukan Imam Bukhari di sebuah rumah dalam keadaan tak memakai sehelai kain sedikit pun.

Baca juga:  Politik, Sastra, dan Atheisme Kaum Beragama

Setelah ditelusuri ternyata Imam Bukhari telah menjual seluruh hartanya hingga pakaiannya untuk membeli makanan sehari-hari. Maka, para muridnya pun mengumpulkan uang dinar untuk membelikan pakaian bagi sang guru. Esok harinya, Imam Bukhari kembali mengajar hadis seperti sedia kala.

Dikisahkan, suatu ketika syekh Hibbatullah bin al-Mubarok di masa mudanya pernah berkunjung bersama teman sejawatnya kepada imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji, seorang ulama besar pakar ilmu Hadits di kota Baghdad. Setibanya di rumah imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji, rombongan syekh Hibbatullah bin al-Mubarok dikejutkan dengan keadaan imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji yang sangat memprihatinkan. Ia duduk diatas keset jerami dengan memakai sebuah jubbah yang sangat sederhana. Bahkan, tidak ada sedikitpun di rumahnya yang berharga satu dirham.

Melihat hal itu, setelah selesai menimba ilmu kepada Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji, rombongan Syekh Hibbatullah bin al-Mubarok berkeinginan untuk mengumpulkan sedikit uang untuk diberikan kepada Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji. Setelah seluruh uang terkumpul, syekh Hibbatullah pun memberikan uang tersebut melalui putri Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji. Syekh Hibbatullah sengaja mengawasi dari depan rumah Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji agar ia dapat memastikan bahwa uang tersebut benar-benar diberikan kepada imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji.

Tak dinyana, ketika Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji menerima uang tersebut, justru menangis seraya berkata, “Sungguh tercela, pantaskah aku mengambil keuntungan duniawi dari mengajarkan Hadits Rasulullah saw, sungguh demi Allah aku tak akan menerimanya.”

Imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji pun bergegas untuk keluar dari rumahnya untuk mencari syekh Hibbatullah. Melihat syekh Hibbatullah tidak jauh dari rumahnya, ia pun segera menghampiri seraya menangis “Sungguh aku tak pantas mendapatkan imbalan atas mengajarkan Hadits Rasulullah, sungguh mati lebih baik bagiku daripada penerima imbalan seperti ini”.

Baca juga:  Catatan Rasulullah pada Ibu Rumah Tangga

Maka, syekh Hibbatullah pun pulang untuk menghampiri teman-temannya. Akhirnya mereka pun sepakat mensedekahkan uang tersebut kepada fakir miskin dengan niat pahalanya untuk imam Muhammad bin Ali ad-Dajaji.

Dikisahkan, Imam Ali bin Ahmad bin Mahmuwaih seorang ulama besar pakar ilmu hadis, yang telah menulis 50 karya, semasa hidupnya tinggal berdua bersama saudara laki-lakinya. Dua bersaudara ini hidup dalam keadaan sangat sederhana. Keduanya hanya memiliki satu jubah dan satu sorban yang digunakan bergantian di antara keduanya.

Ketika Imam Ali bin Ahmad bin Mahmuwaih keluar dari rumah memakai jubah dan sorban maka saudaranya pun menunggu di rumah begitu juga sebaliknya. Suatu ketika pernah syekh as-Sam’ani bersama syekh Ali bin Husain al-Ghaznawi berkunjung ke rumah imam Ali bin Ahmad bin Mahmuwaih. Keduanya melihat imam Ali bin Ahmad bin Mahmuwaih hanya memakai sehelai kain selendang untuk menutupi tubuhnya. Ketika keduanya menanyakan hal tersebut kepada imam Ali bin Ahmad bin Mahmuwaih, beliau pun menjawab

“Kami memakai sehelai kain ketika satu-satunya baju kami sedang dicuci sebagaimana guru-guru kami dahulu juga demikian sederhananya sebagaimana syair al-Qadhi Abu Thayyib ath-Thabari:

قوم إذا غسلوا ثياب جمالهم
لبسوا البيوت إلى فراغ الغاسل

Qoumun Idza Ghasalu Tsiyaba Jamalihim
Labisu al-Buyut ila Firagh al-Ghasil

Kami adalah kaum yang ketika baju kebesaran mereka dicuci
Memilih untuk berdiam diri di rumah hingga pencuci baju mereka selesai mencuci.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top