Sedang Membaca
Makam Jépaet di Madura: Melawan Kemaruk Kapitalis
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Makam Jépaet di Madura: Melawan Kemaruk Kapitalis

Siang itu, bersama seorang teman saya berbincang dengan juru kunci makam Gorang-Garing, Pak Misnadin, di langgar utara makam. Obrolan seputar siapa Gorang-Garing, bagaimana peran yang dilakukan semasa hidup, mengapa sampai hingga dikubur di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep. Pak Misnadin begitu hati-hati menjawab pertanyaan.

“Saya takut salah. Karena saya tidak mengetahui bagaimana cerita yang sesungguhnya,” ujar Pak Misnadin .

Setelah mendapat uraian sedikit perihal makam Gorang-Garing, pembicaraan sunyi sejenak, kami membenak dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Pak Misnadin berujar bahwa orang Indonesia hari ini lebih mementingkan uang, bahkan menjadikan ia segala-galanya. Saya tersentak dengan kalimat yang diucapkan sang juru kunci. 

“Mengapa demikian,” tanya saya.

“Di timur daya ini,” sambil menunjuk arah dimaksud, “ada makam orang saleh yang tak terurus dan masyarakat sepertinya tidak lagi perduli,” jawab Pak Misnadin.

Makam yang dimaksud oleh Pak Misnadin adalah makam Jépaet, demikian warga setempat menyebutnya. Sebuah makam yang berjarak sekira lima ratus meter dari bibir pantai. Di sekelilingnnya terdapat beberapa makam yang kebanyakan sudah tak lagi dikenal, siapa gerangan yang dikubur. 

Namun kini, lahan-lahan yang berdekatan dengan makam orang saleh yang dibicarakan Pak Misnadin disulap menjadi tambak udang. Setelah masyarakat melepas begitu saja lahan-lahan mereka, mungkin tergoda harga beli yang begitu tinggi.

Area pemakaman Jȇpaet juga tak luput dari rencana pembangunan tambak. Sejak proyek tambak dilangsungkan, beberapa kuburan tak bertuan itu dibongkar dan dipindah entah kemana. Pak Misnadin tak yakin jika kuburan dipindah secara baik-baik. “Mereka gak punya hati, makam-makam itu mungkin digilas begitu saja dengan alat berat,” katanya lirih.

Hanya tersisah satu makam, yaitu makam Jȇpaet. Traktor perusahaan tambak udang tak kuasa memporakporandakannya. Konon, ada saja hal aneh ketika makam itu hendak dibongkar.

Pada akhirnya, makam itu dibiarkan teronggok tak terawat begitu saja, sementara pembangunan tambak udang terus berjalan. Saya belum memperoleh informasi pasti siapa gerangan Jȇpaet, yang makamnya kini berada di tenga-tengah area tambak udang tersebut.

Saya pun teringat kepada seorang teman yang aktif di salah satu majalah kampus pesantren. Beberapa tahun lalu ia bertandang ke rumah untuk melakukan investigasi terhadap pembelian lahan besar-besaran oleh investor di Kabupaten Sumenep, ujung timur pulau Madura. Ada beberapa temuan dari hasil investigasi itu. 

Baca juga:  Menyoal Misa Daring dan Upaya Gereja di Masa Pandemi

Pertama, lahan-lahan yang dibeli oleh investor kebanyakan diperuntukkan sebagai tambak udang. Entah apakah ini sebagai pintu masuk untuk mengeruk ‘sesuatu’, mengingat Sumenep banyak mengandung gas dan minyak dan beberapa titik sudah dieksploitasi.

Kedua, banyak kejanggalan daripada pembelian lahan maupun pembangunan tambak, seperti belum memiliki izin operasi, amdal tak jelas, tak ada sosialisasi bagi masyarakat setempat, sampai campur tangan aparat desa agar masyarakat melepas lahan yang jadi incaran investor. Penolakan yang dilakukan masyarakat kurang solid karena terpecah (sengaja untuk dipecah) menjadi dua kubu.

Ketiga, dampak lingkungan serta kaburnya janji peningkatan perekonomian masyarakat.

“Mumpung sampai di sini. Saya sarankan sampean ziarah juga ke makam Jȇpaet. Jika nanti diintrogasi oleh penjaga tambak, bilang saja mau ziarah,” saran Pak Misnadin. Saya pun penasaran dan ingin cepat-cepat mengakhiri perbincangan. 

Menurut ceritan teman yang melakukan investigasi, tambak udang itu dijaga super ketat. Sekelilingnya telah dipagar beton setinggi tiga meter. Tidak sembarang orang bisa masuk. Walau pun penduduk setempat, jika tiada alasan yang masuk akal, sulit diperkenankan masuk ke dalam area tambak. 

Ah, teman saya itu kan wartawan. Pantas jika selalu dicurigai dan tak mendapat lampu hijau dari petugas jaga. Kalau saya kan bukan wartawan, masa tidak bisa. Lagi pula, saya sudah dapat pesan dari Pak Misnadin, juru kunci makam Gorang-Garing.

Lepas dari gapura makam Gorang-Garing, sesuai petunjuk Pak Misnadin, kami melewati jalan setapak tak beraspal menuju makam Jȇpaet. Sekira tiga menit sudah sampai di lokasi. Dan sepertinya kurang beruntung, karena pintu gerbang tambak berwarna biru itu tertutup rapat. 

Namun di sisi kiri ada pintu kecil, sepertinya pos jaga dan tampak seorang satpam. Sebelum mematikan mesin motor, satpam yang tengah menyiram tanaman itu bergegas ke arah kami, menggeletakkan selang begitu saja. 

Pangapora,” (permisih) kata saya.

Bedhe apa,” (ada apa) jawab satpam tegas.

Saporana. Bedhen kaule bedhi ka asta, kenging enggi?” (mohon maaf. Saya mau ziarah ke makam Jepaet, boleh?). Satpam itu tak menjawab. Kedua matanya justru menelanjangi diri kami.

Baca juga:  Gus Mus Bercerita Ihwal Perjalanan Hidupnya

Entara ka asta cakna. Bedhe se kennal?” (mau ke makam katanya, ada yang kenal?) tanya satpam pada beberapa lelaki yang duduk melingkar di bawa pohon cemarah. Entah apa jawaban mereka, kami tak mendengar.

Masok,” kata satpam tiba-tiba. “Sambi sapedana. Terros loros ka temor, depak ka mushalla ka deje,” (silakan, bawa motornya. Kalian lurus saja ke timur, setelah sampai mushalla, ke utara) lanjutnya menunjukkan letak makam yang ingin kami sambangi. Kami pun seperti kerbau dicocok hidung. Menstarter motor, melaju melewati jalan yang ditunjukkan. 

Selain beberapa lelaki, di dalam area tambak saya juga melihat beberapa perempuan. Wajah mereka tak tampak sebagai orang asing, Cina misalnya. Entah, apakah mereka benar-benar warga setempat atau bukan. Menurut Pak Misnadin, pekerja tambak sebagian adalah penduduk setempat, tapi ada juga yang dari Jawa. 

Tambak ini juga dilengkapi dengan sekian fasilitas. Sebelum masuk, arah kanan pintu gerbang terdapat lapangan Bola volly. Di dalam, sejauh yang saya amati, ada musala dan lapangan bola voli. Di samping itu, ada beberapa bangunan menyerupai perumahan. Mungkin sebagai tempat istirahat bagi para pekerja. 

Setelah sampai di mushalla saya putar kiri, sesuai arahan satpam. Tiba-tiba dari arah belakang ada orang sambil mengendarai motor berteriak-teriak, wajahnya tertutup kain. Saya pun mematikan motor. Pikiran tak tenang. Gawat, pasti saya dicurigai sebagai wartawan. Dan siap-siap diusir atau, entah apa yang akan terjadi. “Entara dhek emma?” (mau ke mana?) tanyanya.

Entara ka asta. Pon lastare nyo’on edhi ka satpam.” (mau ke makam, tadi sudah izin ke satpam) Jawab saya setenang mungkin.

Ayo norok” (mari, ikut saya). Saya membuntuti dari belakang. Kepada teman yang biasa berbahasa Indonesia saya wanti-wanti. Jangan sampai kita dicurigai dan gak usah bicara pakai bahasa Indonesia. Kalau tak biasa, diam saja.

Kami melewati jalan sempit, di sisi kanan dan kiri terbentang tambak udang yang luasnya mungkin mencapai lebih satu hektar. Karena tambak ini meluas sampai ke desa sebelah, yaitu Lapa Daya, Kecamatan Dungkek.

Menurut aktivis lingkungan, pesisir pantai utara Sumenep, sudah banyak yang dialih fungsikan sebagi tambak udang. Milik siapakah tambak-tambak ini? Melihat luas lahan dan biaya operasional yang kudu dikeluarkan, tak mungkin milik Pak Dulla, Pak Sahru, atau nelayan lainnya. 

Baca juga:  Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Kami pun sampai di tujuan. Orang yang mengantar kami menunjuk, “itu makamnya,” katanya. Dan berlalu meninggalkan kami.

Makam yang kami tujuh berada di tengah-tengah tambak. Di suatu lahan seluas sekira lima meter persegi yang menganjur, perlahan kami menuruni tabun. Cuaca begitu panas. Tak ada tempat bernaung untuk peziarah. Selain cangkruk yang terletak di sisi utara makam. Dan sepertinya diperuntukkan bagi para penjaga tambak. 

Andai air tambak meluap atau tanggulnya jebol, makam Jȇpaet ini pasti tenggelam. Saya kemudian berjongkok, membuka aplikasi al-Quran. Kami membaca surah Yasin dan mengakhirinya dengan doa. Terus terang, saya masih was-was, apakah orang yang mengantar kami tadi benar-benar pergi atau diam-diam mengintip. Tapi saya memberanikan diri untuk mengambil gambar. 

Kami memutuskan tidak terlalu lama di area makam. Di samping panas, kami takut menimbulkan kecurigaan. Walau pun, kunjungan saya ini bukan atas suatu kepentingan, liputan misal. Jika nanti di pos jaga diperiksa dan ditanya perihal foto-foto tersebut, saya akan jawab bahwa kami adalah generasi milenial yang suka pamer foto di medsos. Tapi kalau foto-foto itu diminta untuk dihapus? Ah, bagaimana negosiasi nanti. 

Pulang dari makam Jȇpaet kami masih melewati jalan yang sama, karena memang inilah jalan satu-satunya. Lelaki yang tadi berkumpul di bawa pohon cemara sudah tak terlihat. Beberapa perempuan masih tampak merenda di teras-teras bangunan yang menyerupai perumahan.

Sampai di pos jaga, kami turun dari motor, biar pak satpam yakin bahwa kami betul-betul orang Madura. Lega rasanya bisa keluar dari pintu gerbang tambak dengan selamat dan tanpa menimbulkan keributan. Apa karena kami memakai sarung dan kopiah, ya? Hingga tampak seperti para musafir.

Dalam perjalanan pulang saya membenak. Penghormatan orang Madura kepada orang-orang saleh sudah tidak diraguka lagi. Tidak hanya dikala mereka masih hidup. Akan tetapi, apa yang saya alami tadi menunjukkan sebaliknya. Dari ujung timur pulau Madura, sinyal tata nilai baru sudah dimulai. Wallahu ‘Alam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top