Sedang Membaca
Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya
Moh. Azhari
Penulis Kolom

Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Nahdlatul Ulama Blitar dan Aktivis Lakpesdam NU Kab. Blitar.

Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Chris Barbalis Upmffcwdhu Unsplash

“There is no coming to consciousness without pain”

(Carl Gustav Jung)

“Tidak ada kesadaran tanpa rasa sakit”, Carl Gustav Jung telah membeberkan satu diantara beberapa quoteyang bagi saya sangat menginspirasi. Menarik diperbincangkan antara kesadaran  dan rasa sakit terkadang memang memiliki korelasi meski tidak selamanya seperti itu. Salah satu contoh, saat dalam kondisi sakit atau tidak enak badan, kesadaran secara virtual hadir dengan sendirinya bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang paling berharga. Padahal saat ia sehat, jarang sekali bersyukur terhadap kondisi saat itu. Saya pun tidak kaget kalau sifat “lupa” pada diri manusia terkadang hadir saat ia berada di zona nyaman.

Pada tahun 2019 awal, Indonesia masih berada di zona nyaman dan aman. Sampai di penghujung tahun 2019, masyarakat kembali dihebohkan dengan persebaran wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Covid-19 tidak hanya berhasil mengubah salah satu kultur masyarakat kebanyakan—suka silaturahim dan ngumpulbareng. Namun lebih dari itu, tanpa disadari transformasi sistem kehidupan ala kota kemudian diterapkan di Desa secara heroik. Dari yang suka ngumpul tergantikan menjadi penyendirian.Dari yang kurang suka berjarak, secara pelan-pelan diimbau untuk jaga jarak.

Pelbagai upaya dilakukan tidak lain dan tidak bukan untuk mengurangi angka korban Covid-19. Dan dengan diterapkannya imbauan jaga jarak 1 sampai 2 meter diharapkan mampu memutus mata rantai penyebaran pandemi Corona. Boleh dikata, adanya Corona menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Utamanya masyarakat desa. Saya memaklumi saat masyarakat desa diklaim kurang maksimal melaksanakan kultur “jaga jarak”. Sebab bukan lagu lama lagi bagi orang desa dalam menjalin interaksi secara akut ke sesama tetangga maupun ke orang lain.

Baca juga:  Zoroaster dan Monotheisme

Kompetensi Budaya

Kalau boleh saya menilai; setidaknya ada dua persoalan bagi masyarakat desa saat menghadapi pandemi ini. Pertama, data di beberapa media pemerintahan, utamanya dari Dinas Kesehatan, menunjukkan angka penderita Covid-19 di beberapa Kabupaten/Kota. Sehingga tidak sedikit dari pelbagai daerah yang diklaim sebagai zona merah. Peristiwa demikian tentu menyita perhatian warga. Kedua, adanya kompetensi budaya. Akulturasi dengan hal-hal baru semisal social distancing, physical distancing, PSBB, memakai masker saat keluar rumah dan semacamnya. Proses ini di mata masyarakat tidak semudah menyemprotkan hand sanitizer ke tangan kita. Butuh waktu yang tidak sebentar.

Bagi masyarakat desa, dunia luar seringkali bersifat asing (stranger) dibanding kebudayaan mereka sendiri. Seperti isyarat McLuhan (1992), bahwa kampung global (global village) dapat menjadi arena pertarungan dominasi kebudayaan yang berlangsung selektif. Antara budaya baru dengan budaya lama pasti mengalami pertarungan nilai dengan sendirinya. Gesekan dua kubu itulah yang masih dialami oleh masyarakat desa. Berapa banyak masyarakat petani yang masih belum menggunakan masker saat bekerja di sawah atau ladang? Saya pikir, sejatinya mereka tidak sehebat Avengers yang notabene kebal terhadap serangan apapun. Mereka sadar akan hal itu, dan juga tahu tentang adanya imbauan menggunakan masker saat bepergian. Nah, inilah yang saya sebut sebagai kompetensi budaya.

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (3): Sanad al-Ghazali ke Ulama-Ulama Nusantara

Tanpa disadari; masyarakat dan lingkungan tentu memilah, memilih atau bahkan mengkomparasikan keduanya. Kebudayaan yang tidak laku di pasaran, pasti akan pulang ke tempat asalnya. Sedangkan kebudayaan yang bertahan, tetap bercokol sebagaimana mestinya. Pada titik ini, menjadi PR kita bersama—utamanya pemerintah dalam memberi pemahaman dari A-Z terhadap warga masyarakat. Tidak perlu formal, justru informal dan atau non formal akan lebih menyentuh serta mudah dipahami.

Sindrom ‘Jaga Jarak’

Banyak cerita yang berkembang di masyarakat desa tentang kebijakan pemerintah, salah satunya mengenai Jaga Jarak. Disadari atau tidak, proses akulturasi mengalami hambatan yang tidak sedikit. Hal demikian disebabkan adanya hubungan langsung dengan masyarakat (interaksi sosial). Benar kata Partowisastro (2003), bahwa di antara proses asosiasi interaksi sosial pada dasarnya harus memenuhi konsep asimilasi, yaitu suatu proses yang memiliki ciri pembentukanpersamaan sikap, pandangan, kebiasaan, pikiran dan tindakan sehingga seseorang atau kelompok itu cenderung menjadi satu, mempunyai perhatian dan tujuan-tujuan yang sama.

Adanya kebiasaan baru di tengah-tengah masyarakat desa serasa seperti sindrom bagi masyarakat. Melihat kapasitas mereka tidak sama. Ada yang langsung menerima tanpa menyoal: bagi kalangan akademisi atau kelas masyarakat sosial yang selalu update informasi. Ada juga yang masih menyoal dan bahkan “ngeyel” untuk mengikuti imbauan jaga jarak. Karena diakui atau tidak, realitas masyarakat Indonesia adalah kemajemukan pada aspek sosiologis dan kultur.

Baca juga:  Satu Tuhan, Beda Agama: antara Al-Hallaj dan Gus Dur

Menurut psikolog asal Swiss Carl Gustav Jung, secara umum pribadi manusia terkotak menjadi dua kubu. Yakni introvertdan extrovert. Jika introvert lebih senang menyendiri, maka seorangextrovert lebih menyukai lingkungan yang interaktif. Mereka cukup antusias dalam hal baru dan senang bergaul. Sudut pandang ini pun menjadi pembeda respon masyarakat sosial dalam menerima atau tidak terhadap kebijakan baru. Bagi kalangan introvert sangat mungkin menerima kultur ‘jaga jarak’ dengan senang hati. Melihat kebiasaan mereka yang tidak jauh beda dari esensi jaga jarak. Tetapi bagi kelas extrovert justru menjadi beban dan kesulitan untuk mengganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru. Wajar jika mereka memandang kultur ‘jaga jarak’ sebagai sindrom baru.

Terakhir, menjadi tugas kita semua bagaimana memberi pemahaman secara utuh kepada masyarakat tentang pademi corona. Supaya mereka benar-benar mengerti langkah yang semestinya dilakukan. Sosialisasi dan konsolidasi secara pelan-pelan menjadi langkah penting dan jitu. Mari sama-sama ubah padangan “paksaan” menjadi “kebiasaan”. Sehingga kedisiplinan hadir tanpa diakomodir.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top