Sedang Membaca
Miskonsepsi Self Love
Muhammad Sofiyulloh
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo Kediri asal Nganjuk.

Miskonsepsi Self Love

Self Love Islam

Cinta adalah instrumen penting dalam drama kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan diantaranya oleh QS. al-Isra’:70 dan QS. al-Baqarah:34. Kedua ayat itu menjelaskan betapa istimewanya kedudukan manusia di sisi-Nya.

Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling sempurna, jauh sebelum ia punya kemampuan untuk taat ataupun membangkang. Tentu ini menunjukkan terhadap besarnya cinta Allah pada hambanya. Sialnya, manusia justru kerap kali salah dalam mencintai, atau lebih tepatnya dalam mengekspresikan cinta.

Seorang ayah mengaku mencintai anaknya. Namun fakta yang ada, hidup anaknya justru dimanjakan terus menerus. Tak pelak, kekeliruan semacam ini juga dikhawatirkan terjadi pada yang orang-orang sekarang sebut dengan self love. Kesalahpahaman tentang self love membuka peluang besar terhadap banyak orang untuk bersikap arogan, egois, bahkan mengidap narsisme akut, dengan dalih self love (yang disalah pahami).

Perilaku arogan, egoisme, dan narsisme berimplikasi buruk tidak hanya pada orang lain saja, tetapi juga pada diri. Kalau begitu, bagaimana sejatinya definisi dari self love itu? Kata Prof. Dr. Quraish Syihab di salah satu diskusi ilmiahnya dengan Najwa Syihab, self love adalah memenuhi dan memberikan hak-hak pada tiga aspek dalam diri manusia, yaitu hak rohani, akal, dan jasmani.

Perilaku manusia yang acuh tak acuh terhadap salah satunya saja, justru akan mencelakakan manusia itu sendiri. Adalah tidak masuk akal, jika seseorang mengaku mencintai dirinya, tapi mengabaikan salah satu dari komponen yang membuatnya didefinisikan sebagai “manusia”.

Baca juga:  Ibnu Taimiyah dan Afiliasi Tarekat Qadiriyah

Apakah beragam konklusi hukum fikih yang dilatarbelakangi maqashid syari’ah hifdz al-aql (menjaga akal), hikmah disyari’atkannya shalat beserta gerakannya, puasa, dan hadis tentang keabsahan suatu ibadah itu ditangguhkan pada niat, kurang membuktikan bahwa Islam telah berusaha menyeimbangkan sisi kerohanian, akal dan jasmani dalam diri tiap-tiap manusia?

Mungkin benar, Islam, atau al-Qur’an sebagai pedoman utama pemeluknya, dan literatur keislaman klasik sebagai penjelasnya, tidak membahas self love secara eksplisit dan sistematis sebagaimana ulasan self love yang bertebaran di internet. Tapi secara implisit, mereka mengajarkannya.

Syukur

Hidup di era medsos cukuplah menjemukan. Setidaknya bagi orang-orang yang tidak mencintai dirinya sendiri dengan bersyukur atas apa yang ia miliki dan dicapainya. Berlalu-lalangnya produk-produk mehong, pencapaian orang-orang yang dengan sengaja ditampak-tampakkan, tak terelakkan. Di tengah guncangan itu, bersyukur dengan baik nan benar sangat diperlukan. Islam tidak mengajarkan pengikutnya menjadi materialistik, tetapi syukur juga tidak berarti mengupayakan seseorang untuk menjadi pribadi pesimistis.

Imam al-Mawardi dalam karyanya, Adab ad-Dunya wad-Din, tidak menyukai orang yang enggan bergerak (bekerja) karena malas, walaupun tanggungan nafkahnya sudah tuntas. Apalagi orang yang mengaku tidak mencari pekerjaan karena bertawakkal kepada-Nya, al-Mawardi membantah hal itu. Tawakkal tidak pada tempatnya.

Malahan, beliau juga mencuplik quote dari Bozorgmehr, seorang politikus kenamaan Iran di abad ke-5, bahwa sesuatu yang paling berharga bagi manusia setelah fakta bahwa ia masih hidup dan sehat, adalah kaya.

Baca juga:  Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Pertemanan Cak Nur dan Gus Dur?

Risalah al-Qusyairiyyah mengabarkan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang dianugerahkan-Nya dengan penuh rasa patuh dan taat. Tapi jangan salah, bersyukur tetap bisa dilakukan manusia di tengah aktivitas dan usahanya memenuhi berbagai kebutuhannya, baik primer maupun sekunder. Mengapresiasi perolehan dan perjalanan hidup, meskipun tidak sehebat orang-orang, dengan cara bersyukur tanpa rasa pesimis, adalah bagian dari ekspresi self love.

Memprioritaskan Diri Sendiri

Dalam dunia fikih, ada satu kaidah yang berbunyi, memprioritaskan orang lain daripada diri sendiri yang oleh ulama’ disebut itsar dalam urusan ibadah, adalah makruh. Dan tentunya, itsar haram apabila malah membuat manusia meninggalkan perkara wajib. Misalnya, seseorang hendak menunaikan salat subuh di gunung tempat favoritnya pergi muncak, sementara persediaan air suci menyucikan yang dibawa hanya cukup untuk satu orang.

Sopan santun dengan mempersilahkan orang lain maju di barisan depan salat jamaah yang belum terisi penuh, itu makruh, justru kurang baik. Love your self dengan bersegera maju mengisi saf shalat itu. Kalau itu Anda lakukan di jamaah Jum’at, niscaya Anda akan naik unta, kelak di yaumil qiyamah, amin!

Jadi, pengertian bahwa self love adalah sebuah sikap untuk memprioritaskan diri sendiri, tidak bisa dibenarkan dengan mutlak, apalagi sampai membuat seseorang menjadi pribadi egois dan narsis. Sebab, selain fakta bahwa ulama menilai sunnah itsar  dalam aktivitas selain ibadah, QS. al-Jatsiyah:15 dan QS. Muhammad:38 juga secara gamblang menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik manusia, pada hakikatnya akan berpulang pada dirinya sendiri. Pun, enggan berbuat baik pada orang lain berarti kikir terhadap diri sendiri. Walhasil, berbuat baik kepada sesama juga termasuk ekspresi dari self love.

Semoga bermanfaat.

Baca juga:  Pastor Desmond Tutu dan Dukungan bagi Kemerdekaan Palestina

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
4
Senang
9
Terhibur
4
Terinspirasi
16
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top