Sedang Membaca
Melacak Elizabeth II sebagai Keturunan Rasulullah
Marufin Sudibyo
Penulis Kolom

Ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), Ikatan Cendekiawan Falak Indonesia (ICFI), Jogja Astro Club dan International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sebagai pembimbing dan pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIF) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKF) Kebumen, keduanya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Melacak Elizabeth II sebagai Keturunan Rasulullah

Semasa hayatnya, Elizabeth II (wafat 8 September 2022 TU) adalah ratu Inggris. Kepala negara Inggris Raya sekaligus kepala negara bagi 15 negara-negara anggota Persemakmuran saat ini. Termasuk diantaranya Canada, Australia, Selandia Baru dan Papua Nugini. Lebih dari itu, Elizabeth II juga merupakan pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Sebuah kedudukan yang tak main-main dalam dunia kekristenan barat.

Setiap raja dan ratu Inggris, baik di masa lalu maupun di masa depan, adalah pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Jabatan yang bersifat simbolis dan seremonial. Gereja Inggris adalah denominasi Kristen yang diikuti oleh sekurangnya 26 juta orang, sekaligus tulang punggung dari Persekutuan Anglikan di seluruh dunia. Kedudukan raja dan ratu Inggris itu mengacu hukum Akta Supremasi yang berlaku sejak tahun 1531 TU. Sebagai pemimpin tertinggi gereja, maka kedudukan Elizabeth II di masa hayatnya adalah setara dengan posisi paus di Vatikan.

Moyang Terputus

Setelah wafatnya Elizabeth II ada pendapat lama yang kembali viral walaupun telah dipublikasikan 1986 TU silam. Yakni tentang kedudukan Elizabeth II sebagai dzurriyah (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW. Kedudukan yang pertama kali dipublikasikan lembaga Burke’s Peerage.

Rekonstruksi silsilah ala Burke’s Peerage tidaklah sepi dari kritik. Misalnya seperti pernah dituliskan Ust. Kholili Kholil, ada sekurangnya dua masalah dalam jalur silsilah Elizabeth II bila hendak dihubungkan dengan Rasulullah Muhammad SAW. Masalah pertama ada pada Zaidah dari Sevilla (moyang ke-28) yang ternyata berkedudukan sebagai menantu al-Mu’tamid. Bukan putrinya. Sehingga jalurnya terputus. Sementara masalah yang kedua ada pada Naim al-Lakhmi (moyang ke-40), yang mengesankan berasal dari keluarga Lakhm di kerajaan Lakhmid yang menguasai Jazirah Arabia bagian timur. Bukan dari keluarga Quraisy di tanah Hijaz yang menempati Jazirah Arabia bagian barat.

Baca juga:  Mbah Shodiq Kiai Sat-set (9): Kiai Semarang yang Produktif

Penelusuran saya pribadi, ada masalah ketiga dalam silsilah ini. Yakni pada posisi Sancho Alfonsez (moyang ke-27). Sancho adalah putra mahkota Alfonso VI, penguasa kerajaan Leon dan Castiles di Semenanjung Iberia (kini wilayah Spanyol). Merujuk Bernard F. Reilly (1988) dalam bukunya “The Kingdom of Leon-Castilla under King Alfonso VI,1065-1109” (406 halaman) yang diterbitkan Princeton University Press, Sancho Alfonsez tewas pada 29 Mei 1108 TU dalam Pertempuran Ucles melawan pasukan al-Muwahidun di bawah pimpinan Tamim bin Yusuf. Kematiannya ditangisi Alfonso VI, yang telah menetapkan Sancho sebagai pewaris tahta setahun sebelumnya. Sancho baru berusia 15 tahun di saat kematiannya dan tidak memiliki keturunan. Sehingga praktis penguasa berikutnya bukanlah keturunan Alfonso VI.

Bernard F. Reilly merupakan gurubesar Universitas Villanova Pennsylvania (AS) yang cukup otoritatif untuk subyek sejarah abad pertengahan, reformasi dan renaisans. Termasuk dalam hal sejarah (bangsa) Spanyol di abad pertengahan. Karena itu catatannya tentang Sancho Alfonsez cukup beralasan. Maka bagaimana seseorang yang tidak memiliki keturunan justru dianggap sebagai moyang ke-27 dari Elizabeth II?

Politis dan Inferioritas

Selain persoalan silsilah yang terputus, pertanyaan berikutnya adalah apakah pernah ada dzurriyah rasulullah yang demikian jauh berpaling hingga bahkan menduduki posisi pemimpin tertinggi agama lain secara turun-temurun?

Baca juga:  Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (3): Ekonomi Berkeadilan (Iman)

Bahwa memang ada dzurriyah rasulullah yang berpindah agama adalah fakta sejarah. Misalnya dalam kasus putri Azza binti Faisal (1905 – 1965 TU), putri dari Faisal I. Raja Faisal I menduduki tahta kerajaan Irak dalam rentang waktu 1921 – 1933 TU. Azza binti Faisal memutuskan keluar dari Islam saat menikah dengan Anastas, pria Yunani biasa penganut Kristen Ortodoks. Ia pun mengubah namanya menjadi Anastasia. Meski demikian kisahnya berbalik menjelang akhir hayatnya. Azza binti Faisal kembali memeluk Islam dan wafat sebagai muslimah.

Meski (sempat) memeluk Kristen, kedudukan Azza binti Faisal sangat berbeda dibanding Elizabeth II dan para leluhurnya yang turun-temurun menjadi pimpinan Gereja Inggris. Sebuah gerakan gereja reformasi yang menempatkan diri di bawah prinsip-prinsip Reformasi Protestan dari Martin Luther. Tetapi berbeda dengan gereja protestan lainnya, berseminya Gereja Inggris lebih disebabkan oleh perselisihan politik dan ekonomi antara Kerajaan Inggris dengan Tahta Suci Roma. Bukan perselisihan masalah keagamaan.

Terutama saat raja Henry VIII mencoba membatalkan pernikahannya dengan permaisuri Katerina dari Aragon, dalam upayanya untuk menikahi Anne Boleyn guna mendapatkan pewaris tahta. Pembatalan yang ditolak Paus Clementus VII membikin berang Henry VIII. Sehingga ia memutuskan melepaskan diri dari otoritas kepausan dan berpaling ke protestanisme di Inggris (yang semula dianggap bid’ah) untuk dijunjung ke posisi tinggi yang baru sebagai Gereja Inggris.

Baik, mari hormati sejarah tersebut sebagai bagian dari toleransi beragama kita. Pokok persoalannya adalah ketika terdapat klaim bahwa ada dzurriyah rasulullah yang berpaling demikian jauh hingga mencapai ‘prestasi’ demikian tinggi sebagai pemimpin gereja reformasi di Eropa sejak tahun 1531 TU, mengapa silsilahnya baru muncul 450 tahun kemudian?

Baca juga:  Menelusuri Jejak Pemikiran Rene Descartes

Hemat saya pribadi, munculnya silsilah ala Burke’s Peerage dan kemudian disebarluaskan oleh sebagian kecil Muslim masa kini tak lepas dari masalah politis. Elizabeth II dan putra mahkotanya (kini Charles III) memang memiliki hubungan hangat dengan komunitas-komunitas Muslim. Kehangatan yang berlebihan, terbukti dengan aman dan nyamannya gerakan hizbut tahrir dan Ahmadiyyah mengoperasikan markas besarnya di London. Populernya silsilah tersebut juga dapat dipandang sebagai inferiornya sebagian kecil Muslim masa kini dalam memandang Inggris yang seakan-akan masih berupa imperium. Seperti pandangan lazim dua abad silam.

Padahal siapapun yang belajar sejarah pasca Perang Dunia 2 akan tahu, betapa pasca perang besar tersebut imperium Inggris mulai berkeping-keping. Pelan tapi pasti. Dan Elizabeth II menjadi salah satu saksi matanya secara langsung. Dimulai dari lepasnya anak benua India pada 1947 TU, yang belakangan berkembang menjadi negara-negara India dan Pakistan. Lantas krisis Suez di tahun 1956 TU, yang membuat wajah Inggris merah padam dan terpaksa harus menarik pasukannya dari wilayah Mesir yang telah didudukinya meski secara taktis menang perang. Demikian pula merdekanya Malaysia pada tahun 1957 TU dan lepasnya Brunei Darussalam dari protektorat pada 1984 TU. Dan imperium Inggris boleh dikata sudah berakhir manakala palu godam terakhir dihantamkan pada tahun 1997 TU, dengan kembalinya Hongkong ke tangan Tiongkok.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top