Pernah dengar sandwich generation? Sebagaimana bentuk sandwich, sandwich generation adalah kondisi dimana seseorang —yang kebanyakan dari gen-Y (kelahiran 1981-1994)— terapit pelbagai tuntutan ekonomi dari setidaknya dua arah. Ia terdesak untuk memenuhi hajat orang tuanya yang, kalau bukan Baby Boomer (kelahiran 1946-1964), ya gen-X (kelahiran 1965-1980). Di lain sisi, ia mesti memperjuangkan kebutuhan anak atau adiknya, mulai dari yang gen-Z (kelahiran 1995-2010), hingga gen-Alpha (kelahiran 2010-sekarang).
Sederhananya, ia kesulitan untuk mengurus kebutuhan orang tua sekaligus anaknya. Kelihatan struggle ya, apalagi kalau keperluan untuk diri sendiri dirasa jauh dari kata cukup. Belum lagi nih, kalau orang tua kita memasuki usia yang rentan terkena penyakit karena faktor usia.
Istilah sandwich generation sendiri, pertama kali digelorakan oleh seorang ahli fisioterapi sekaligus direktur praktikum Universitas Negeri kenamaan di USA, Western Kentucky University, yang bernama Dorothy A. Miller.
Kondisi krusial sandwich generation pun bermacam-macam. Ada yang orang tuanya, sebenarnya masih bisa mengais pundi-pundi penghasilan, ada yang tidak. Ada yang bentuk permintaan kedua orang tuanya bersifat sekunder, bahkan tersier. Atau dalam bahasa vulgar, orang tua masih bisa hidup sewajarnya, walaupun permintaannya tidak kita penuhi. Misalnya, AC di rumah agak rewel, sementara gaji kita nggak bisa nih, digunakan untuk membayar SPP anak sekaligus beli AC yang baru.
O ya. Sebelumnya, saya ada semacam disclaimer; selain karena saya sudah sedikit menulis tentang hakikat bersyukur di tulisan sebelumnya, Miskonsepsi Self Love, ditambah fakta bahwa bersyukur juga kurang tepat untuk dinasihatkan pada teman-teman yang sedang terimpit kondisi ini, maka saya tidak akan menawarkan bersyukur sebagai jalan keluar dan solusi.
Lantas, bagaimana Islam, khususnya khazanah turats menyikapi fenomena ini?
Pertama, Islam di berbagai ajarannya, tidak pernah bermaksud menyengsarakan pemeluknya. Wagu. Kalau masih saja ada orang yang beranggapan bahwa zuhud yang notebene akhlak terpuji, diartikan secara tercela sebagai ketiadaan harta yang melimpah, itu wagu. Dan kacau.
Padahal, seseorang yang berniaga dengan tujuan profitabilitas yang tinggi sedari awal, tidak akan dicerca para malaikat pencatat amal. Hanya saja, kelihatannya mereka sudah benar-benar mantengin buku catatan amal nih. Kalau keuntungan yang diperoleh digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya, mereka langsung gas catat.
Kesiapan dan kesemangatan mereka mencatat amal para pebisnis dan entrepreneur, sepertinya lebih besar dibanding saat mereka hendak mencatat amal orang-orang dengan kondisi finansial menengah ke bawah. Soalnya, syekh al-Qasimi di Mau’idzat al-Mu’minin menegaskan, hak-hak keuangan yang harus ditunaikan orang-orang kaya itu lebih banyak.
Kira-kira, ini mirip dengan apa yang dikatakan paman Ben Parker, with great power comes great responsibility. Sudah selayaknya, seiring dengan bertambahnya kekayaan, mestinya datang juga rasa tanggung jawab yang besar, yang dalam hal ini adalah pengalokasian harta pada tiap-tiap haknya.
Di samping soal zuhud, kita lihat saja bagaimana fikih membangun semangat dari akad wakalah (penyerahan mandat) yang, mengharuskan pihak wakil untuk mentasarufkan muwakkal fiih (barang yang dimandatkan), hanya jika dipastikan meraup keuntungan.
Dua hal ini (dorongan Islam terhadap pemeluknya agar kaya, dan syarat-syarat dalam akad berbasis syariat) cukuplah menunjukkan, bahwa ilmu perniagaan, yang sebegitu erat kaitannya dengan urusan uang dan seolah tidak zuhud itu, mendapat perhatian intens dari agama Islam. Akibatnya, peningkatan financial awareness, mengelola dan menyusun rapih skala prioritas keuangan, itu perlu dihabitkan (dibiasakan) sejak dini dan dikonsultasikan dengan pakar literasi keuangan.
Namun, fakta bahwa strategi & ilmu keuangan ini tidak selalu worth it (berhasil) menyelamatkan seseorang dari impitan sandwich, mestinya tidak membuat kita mengabaikan hadis Nabi (disebutkan diantaranya di Hilyah al-Auliya’ karya Abu Nu’aim) yang berbunyi:
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا
“Kefakiran dan kekufuran itu beda tipis”
Ringkasnya, semakin giat Anda berusaha menjadi kaya raya untuk mencukupi kebutuhan banyak keluarga, makin cepat pula Anda terbebas dari keruwetan sandwich generation.
Kedua, soal birrul walidain (berbakti pada orang tua).
Bayangkan, di tengah gundah gulana sandwich generation ini, ada kawan yang secara unpredictable (tak terduga) berubah menjadi dai karbitan dengan petuah yang mungkin dihafalnya dari quote wanita berpose menggoda di belakang truk-truk di jalanan umum. “Utamakan kedua orang tuamu!”
Menafkahi kedua orang tua, mau bagaimana dan sampai kapan pun, tentu merupakan bagian dari birrul walidain, hukum dasarnya tetaplah wajib. Tapi, birrul walidain tidak sesederhana dan sementah itu, tanpa mengesampingkan ketidakmampuan kita untuk membalas jasa kedua orang tua.
Bagaimana tidak? Lha wong dahulu, pernah ada seorang laki-laki yang sowan kepada Sayyidina Umar. Ia menceritakan bagaimana keadaan ibunya yang telah lansia. Ia juga tak pernah absen menemani sang ibu di setiap aktivitasnya. Kemudian ia bertanya kepada Sayyidina Umar, “apakah saya telah memenuhi apa yang menjadi hak ibu saya?”. Sayyidina Umar menimpali, “tidak”.
Meski demikian, Syekh ‘Athiyah Shaqr, seorang intelektual muslim kontemporer, mengarang kitab ensiklopedi kekeluargaan yang, dalam bab birrul walidain, beliau menjelaskan bahwa seorang ayah (hanya berlaku bagi ayah), diperkenankan untuk mengambil alih harta yang dimiliki anaknya, entah ada hajat atau tidak. Tapi kewenangan ini pun tidak mutlak, beliau membubuhkan dua syarat berikut;
- Tidak mudarat bagi anaknya, atau nominal yang diambil, memang tidak dibutuhkan si anak.
- Digunakan untuk hajat pribadi sang Ayah, tidak boleh diberikan pada orang lain.
Demikian tegas beliau, di Mausu’ah al-Usroh Tahta Ri’ayah al-Islam.
Secara lebih lanjut, Dr. Musthafâ al-Khin dan Dr. Musthafâ al Bughâ dalam Fiqh al-Manhaji, memaparkan konklusi-konklusi fikih terkait hukum menafkahi orang tua.
- Seorang anak wajib menafkahi kedua orangtuanya, hanya jika kebutuhan dhoruriy (primer) dalam tenggat waktu satu hari satu malam sudah terpenuhi. Jika ternyata masih tersisa, maka lebihan itu wajib diberikan pada kedua orang tua. Kalau hanya cukup untuk seorang saja, maka yang didahulukan adalah sang ibu.
- Wajib menafkahi kedua orang tua, jika mereka tergolong fakir. Tapi, fakir yang dikehendaki adalah ketidakmampuan kedua orang tua untuk memenuhi kebutuhan primernya.
- Wajib menafkahi seorang ibu, ketika sang ayah tidak mampu menafkahi, atau telah meninggal.
Hukum dasarnya begini. Ini belum dibenturkan dengan membludaknya kebutuhan-kebutuhan seorang anak atau istri dari korban sandwich ini. Lantas bagaimana ketika ada pertentangan antara kedua orang tua dan anak yang biaya pendidikannya wajib ditunaikan?
Untuk menjawab itu, masih di Fiqh al-Manhaji, tidak jauh dari halaman yang menjelaskan hukum dasar tadi, hierarki ini mungkin akan membantu memberikan gambaran skala prioritas para korban sandwich generation;
- Dahulukan kebutuhan primer diri sendiri.
- Kebutuhan primer istri korban sandwich.
- Anaknya yang masih kecil (belum menginjak usia balig).
- Ibu korban.
- Ayah
Secara fikih demikian. Tapi secara etika dan adat, mungkin ada banyak perbedaan di tiap-tiap daerah. Semoga bermanfaat.