Zubairi
Penulis Kolom

Pemuda asli Sumenep Madura | Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) | Sekarang menetap di Rajun Pasongsongan.

Maulid Nabi dan Liburnya Peralatan Dapur di Madura

Maulid Nabi Muhammad Lebaran Kedua Bagi Warga Madura

Ketika memasuki bulan Maulid, peralatan Dapur di Madura nyaris libur alias tak berfungsi di rumahnya sendiri. Masyarakat Madura tak akan lagi masak secara masif seperti hari-hari biasanya di rumahnya. Ya, ini serius. Mulai dari dandang atau soblok, magicom, kompor gas, wajan, panci dan peralatan dapur lainnya nyaris akan menganggur selama bulan maulid. 

Karena gini. Di Madura, khususnya di pedesaan bila musim maulid Nabi, hampir setiap hari (95 persen, bahkan bisa lebih) tidak makan di rumahnya. Melainkan makan di rumah tetangganya yang sedang bermaulid. Selama rumah tetangganya jaraknya tak lebih dari 30-40 meter, yowes monggo dadi tuan rumah, entah ibu, bapak, paman, kakek, anak, semuanya. Keluarga diundang semua.

Tuan rumah yang akan bermaulid acapkali bilang gini saat mengundang (undangan lisan) ke tetangganya “lagguk engkok minta’ah tolong, deteng ka roma, deddi pancek. Engkok amolotah.” (Besok saya minta tolong, datang ke rumah, jadi pelayan. Saya mau bermaulid).

Nah, bila sudah jadi pelayan, dia dapat dipastikan, bahwa dalam satu keluarga itu tak akan menanak atau masak-masak di rumahnya sendiri. Walaupun ia memasak, sangat sedikit.  Sebab, mereka akan kenyang di rumah tetangganya yang sedang bermaulid. Selesai bermaulid, yang namanya pelayan, habis makan, mereka akan disuguhkan lagi nasi dan jajanan lainnya sisa-sisa maulid tadi untuk dibawa pulang.

Baca juga:  Islam, Wayang, dan Kesusastraan

Ini baru di satu rumah (tetangga) yang bermaulid. Di Madura, saat bulan maulid, perayaan maulid Nabi setiap harinya hampir nonstop. Pagi jam 8 hingga sore hari jam 5 sudah biasa, bahkan hingga malam hari. Jika dalam satu keluarga hanya punya sosok laki-laki dua-tiga orang, praktis mereka akan bingung mau datang ke rumah siapa untuk memenuhi undangan tersebut. Sebab, dalam sehari, dua-tiga-empat orang bermaulid adalah hal yang cukup lazim di Madura, dan waktu pelaksanaannya sering bersamaan.

Artinya, dia banyak menerima undangan untuk bermaulid, diundang tetangganya. Karena banyak dan sering bersamaan, maka di Madura tak jarang istri, nenek (pokoknya perempuan) menjadi pelayan di rumah si A, dan suami, kakek atau keluarga laki-laki yang lain, ke rumah si B dan C untuk jadi tamu dan pelayan. Dari sini kita sudah paham, kalau orang Madura bila musim maulid, sudah tidak bisa lagi leluasa untuk memasak di dapurnya sendiri.

Mengapa di Madura harus dibagi tentang siapa yang akan menyambangi rumah tetangganya yang sedang bermaulid? Sebab, bagi orang Madura, bila tidak datang padahal sudah diundang, maka ini yang dinamakan “tengka”. Bila tidak datang, ia sama saja tidak menghargai orang lain yang sedang punya kepentingan (tuan rumah).

Baca juga:  Keunikan Peringatan Malam Satu Suro di Dusun Gempol Kendal

“Engkok la kareh ngundang oreng benyak, la kareh atanak mabenyak, mak pas tak deteng.” (Saya sudah mengundang orang dengan kuota yang banyak, sudah masak-masak cukup banyak, kok malah nggak datang”).

Jika tidak bisa hadir saat diundang (ada halangan), biasanya yang diundang terang-terangan bilang, “mohon maaf, saya besok masuk kantor. Jadi bilangin ke tuan rumah, mohon maaf nggak bisa hadir.” Intinya harus jelas, kalau tidak mau dicap orang yang sombong.

Itu semua demi apa? Ya karena demi meminimalisir sisa-sisa nasi, agar sisa makanan tidak banyak. Bila sisanya banyak, tak jarang akan jadi bubur. Dan hal-hal semacam ini bagi orang Madura sangat tidak diinginkan sekali. Dalam arti lain, orang Madura sangat menghargai makanan. Makanya kudu hadir. Setidaknya, jadi tamu, bila tidak bisa jadi pelayan walaupun diundang jadi pelayan. Setidaknya, satu keluarga harus hadir meski sebenarnya diundang secara keseluruhan.

“Mengapa harus banyak mengundang orang lain, kan bisa mengundang beberapa orang saja, terus ya masak sedikit.” Misal ada yang tanya gitu. Sebab, di Madura, mayoritas memang mengundang orang cukup banyak saat mau bermaulid. Itu tentu saja, saking antusiasnya menyambut hari lahir kanjeng Nabi Muhammad saw.

***

Kemarin setelah maghrib, saya mengundang orang untuk bermaulid, kurang lebih 60 (belum catatan teman saya yang 70) orang yang diundang untuk bermaulid di rumah tetangga saya setelah adzan Ashar keesokan harinya.

Baca juga:  Ngaji Ramadan di Pesantren

“Untuk di rumahnya dia sampai itu, nggak usah undang. Akan saya undang sendiri besok pagi untuk jadi pelayan sejak pagi hariny (untuk menyembelih kambing, mempersiapkan tempat, dll),” ujar sang tuan rumah ke saya.

Artinya, sejak pagi hingga acara selesai, ia sudah dapat makanan gratis di rumah tetangganya. Masalah peralatan di rumahnya, di dapurnya, ya, libur dulu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top