Sedang Membaca
Surakarta: Etos Permodalan, Batik, dan Pers

Penulis Lepas/Pegiat Lingkar Diskusi Ekonomi Sembagi Arutala Surakarta dan Telapaksimak.com

Surakarta: Etos Permodalan, Batik, dan Pers

Surakarta: Etos Permodalan, Batik, dan Pers

Parang, Sogan, Gentongan, Mega Mendung, Simbut dan Kraton, merupakan motif batik yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Mafhum, batik menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia, yang membuat beberapa negeri melirik untuk menyaksikan guratan canting itu yang menawarkan keindahan.

Di kota Surakarta, batik menjadi saksi bisu pergolakan. Dengan batik beberapa tokoh mempelopori gerakan melek ekonomi dan politik. Pada medio abad ke 20 awal, dengan batik, masyarakat laweyan sadar terperanjat, bagaimana mengamanan dan menyuburkan aset tersebut harus digagas dan diperjuangkan agar tak dijungkirbalikan oleh sang peniru dan pencuri.

Syahdan, pada medio 1912, kampung Laweyan dibuat runyam oleh gerombolan misterius yang menyebabkan batik-batik yang dijemur itu banyak yang lenyap. Lenyap dicuri oleh orang yang tak bertanggung jawab. Mereka alhasil membuka perbincangan dengan beberapa juragan batik lainnya, untuk mengatasi pelik-pelik yang membuat runyam di kampung batik laweyan yang bersaha itu.

Perbincangan dihelat, lahirlah solusi. Adalah Rekso Rumekso yang diinisiasi oleh H. Samanhoedi dan warga lainnya untuk membuat giliran ronda guna mencongkel para pencuri di kampung Laweyan. Mafhum, batik itu barang yang berharga. Sehelai batik bisa digantikan dengan sekarung beras ataupun membeli tembakau di Pasar Gede. Siapapun akan tertarik untuk memilikinya. Walakin, kalau tak punya Gulden, lahirlah kutu kota yang menyengsarakan para tuan pemilik pabrik batik.

Baca juga:  Memori Radya Pustaka dan Halalbihalal

Pelik-pelik di tahun 1911-1912 tak hanya menyoal kemiskinan dan ketimpangan struktural di dalamnya. Persinggungan vertikal pun terjadi. Pedagang satu dan pedagang lainnya sering kali bermata sinis kalau saja barang dagangannya kurang laku dibandingkan dengan barang dagang kelompok lain.

Di Surakarta, pernah terjadi kericuhan di jalan-jalan kota, hingga gang-gang sempit menuju kampungnya masing-masing. Polisi Kolonial waktu itu mengendus, pertikaian itu dilatar belakangi oleh persaingan dagang tak sehat antara Kong Sing dan Rekso Rumekso. Bentrokan itu membuat pelik masyarakat di Kota Surakarta. Rekso Rumeksi alhasil menjadi sebab musabab munculnya Serikat Dagang Islam di Kota Surakarta dan disokong oleh Samanhoedi dan pedagang batik lainnya.

Surakarta dalam gubahan Takashi Siraishi berjudul Zaman Bergerak (Marjin Kiri, 2023), mewartakan era gilang-gemilang Vortanlanden (baca; negeri para raja) –sebut saja Surakarta, yang menjadi panggung perhelatan awal mula gerakan pemikiran secara radikal dan masif untuk sadar secara benar-benar untuk mencongkel kolonialisme.

Laweyan, perdagangan dan gerakan menjadi kata kunci menarik, bagaimana beberapa diksi tersebut memiliki ikatan kuat dalam setiap kronik abad ke-19 awal. Mafhum, beberapa tokoh yang berpengaruh di Surakarta, punya alat produksi bernama pabrik untuk menyokong elan vital mereka dalam hal gerakan sosial. Laweyan menjadi ruang perhelatan dan di dalamnya merekah sentra produksi batik yang selanjutnya mendorong semangat untuk bergerak.

Baca juga:  Hubungan Hindu-Islam: Merajut Tafsir Sejarah atas Petilasan Ki Ageng Mangir

Disamping perhelatan begitu pelik, antara kelas menengah yang mapan, menyaksikan kepicikan kolonial bertengger dan mengekang. H.M. Samanhoedi sampai H.M Misbach, sadar pentingnya menyisihkan harta dan tenaganya sebagai sumber tenaga gerakan sosial di Indonesia.

Gerakan akan masif menyeruak bila saja dapat diketahui oleh banyak mata. Pentingnya Pers alhasil terbesit dalam pikir orang Surakarta untuk dapat diterbitan dan dibaca oleh banyak khalayak. Proyek Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas Lipi, 1980) menerbitkan buku berjudul Sejarah Pers di Indonesia (Kompas, 2002) cukup memberi gambaran bagaimana ada keterkaitan antara modal dari pedagang hingga menyebulnya banyak warna pers di Indonesia tumbuh subur dan tak terbantahkan atas pentingnya keberadaan lokus tersebut.

Tirto Adisoerjo dengan Medan Prijaji (1907-1912) dan Sarotomo, H.M. Misbach dengan Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917), Bataviasch Nieuwsbald (1907) dengan redaktur utamanya E.F.E Douwes Deker, dan lain sebagainya, menyembul pelbagai warna pers untuk mewartakan pelbagai macam peristiwa.

Modal berpengaruh menyembulnya pelbagai macam pers di Nusantara. H.M. Misbach membiayai untuk menopang Medan Moeslimen dan Islam Bergerak, dengan menyisihkan uangnya untuk keberlangsungan lembaga pers tersebut. Tirto Adisoerjo dengan Sorotomo dan Medang Prijaji begitupun demikian.

Namun, buku gubahan A.P.E Korver berjudul Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? (Grafiti Press, 1985) menemukan pengamatan lain mengenai media Sarotomo yang dinaungi oleh Tirto Adiesoerjo. Tirto dituduh menggelapkan dana kolektif kelompok Sarekat Islam untuk mendanai pers miliknya yang lebih dahulu muncul yang bernama Medan Moeslimin.

Baca juga:  Silang Pendapat Bentuk Negara di Era Bung Karno

Kolonial belanda yang memiliki pelbagai sentrum permodalan yang kuat, membutuhkan pers untuk mewartakan sepak terjangnya dalam hal pembangunan di Nusantara. Sejak Bataviasche Nouvelles (1744) yang hanya berumur dua tahun. Kemudian, dilanjutkan oleh seorang wartawan dari Rotterdam yang membawa mesin cetak pertama bernama W. Bruining.

Mesin cetak itu, bagi penguasa kolonial laiknya jamur yang dapat menyebar secara cepat. Sempat beberapa kali, W. Bruining (1885) yang membawa mesin cetak pertama di Nusantara itu, mendapat ancaman dari pihak kolonial untuk pulang kembali ke Rotterdam, namun ia tak mau menarik perkataannya.

Etos Permodalan, Batik dan Pers secara eklektik memiliki singgungan yang berpengaruh antar ketiganya. Bahkan Taufik Ismail dalam pengakuannya kata pengantara dalam Tirani dan Benteng (Yayasan Indonesia, 2002) setiap pulang pergi Pekalongan-Jakarta, ia selalu menenteng batik untuk bertahan hidup untuk melanjutkan hidup guna melahirkan puisi-puisinya yang puitis. Mafhum, untuk bergerak menggarap sebuah karya, manusia memiliki jalan masing-masing dalam hal etos permodalan seperti Misbach ataupun Taufik Ismail. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top