Sedang Membaca
Melalui Cerita Merengkuh Kesadaran Lingkungan

Penulis Lepas/Pegiat Lingkar Diskusi Ekonomi Sembagi Arutala Surakarta dan Telapaksimak.com

Melalui Cerita Merengkuh Kesadaran Lingkungan

kerusakan lingkungan

Bumi yang kita tinggali pepat dengan permasalahan. Adapun salah satu permasalahannya ialah mengatasi bumi nan semakin renta yaitu menyoal keberlangsungan makhluk hidup menapak pijakan di bumi kita. Baru-baru ini kita dibikin resah dengan permasalahan lingkungan seperti kenaikan suhu bumi, bongkahan es mencair di kutub selatan maupun utara dan gambaran kiamat kecil makhluk hidup apabila manusia tak lekas-lekas memikirkan langkah konkrit atas kuldesak pelik-pelik krisis lingkungan.

Pelbagai usaha muncul agar umat manusia selalu berpikir atas tingkah lakunya kepada sang bumi yang selalu memberikan segala yang dibutuhkan manusia. Segelondong kayu, kerikil batu hingga sebongkah emas nan menggiurkan siapapun. Di samping kebutuhan manusia terus menggunung, manusia kemudian resah apabila tindak laku yang mereka lakukan ternyata membikin usia bumi semakin renta.

Kebutuhan manusia akan alam begitu besar. Situasi demikian alhasil mengorbankan setitik demi setitik luas hutan yang tersebar dicerabut untuk digunakan manusia. Gundah gulanah kemudian menyeruak. Apakah dengan mengurangi misalnya bahan bakar fosil bakal menghasilkan dampak menggunungnya kemiskinan dan menurunnya kualitas perekonomian?

Atau bahkan memilih mekanisme untuk mengeruk sebanyak mungkin agar mendapatkan persediaan lebih besar bagi anak cucu kita di esok hari? Seorang pemikir ekonomi berkebangsaan Inggris –Sir Nicholas Stern membikin sebuah pemikiran penting menyoal perubahan iklim dan ekonomi.

Salah satu analisa pemikiran ekonomi klasik yaitu, ‘permasalahan ekonomi itu dapat menyelesaikan permasalahannya tanpa sangkut paut lembaga apapun.’ Syahdan, analisa itu sering kali dinukil dan dipertanyakan kembali ketika masyarakat dunia terbuai oleh kenikmatan mendulang keuntungan ekonomi dan lena menyoal keberlangusngan lingkungan hidup.

Baca juga:  Benarkah Sang Nabi Penggerak Komunitas Lintas Iman?

Stern menjawab keresahan masyarakat ekonomi dunia mengenai ekonomi dan lingkungan. Menurutnya biaya di masa mendatang mengenai krisis iklim dapat menumpuk menjadi sekitar 20 persen dari Product Domestic Bruto (PDB). Apabila masyarakat dunia melakukan langkah pencegahan secapat mungkin, maka hanya berimbas kepada PDB sebesar satu persen.

Masuk ke awal abad ke 21 masyarakat dunia bersepakat untuk mengurangi emisi karbon dan menyelesaikan permasalahan iklim. Pada tahun 1992 digelar Komisi Tingkat Tinggi (KTT) di Rio de Janaeiro, Brasil guna mengatasi tingkat gas rumah kaca, Pada 1997 Pakta Kyoto muncul, negara-negara yang setuju untuk mengendalikan emisi yang mereka hasilkan, 2005 skema perdagangan emisi Uni Eropa mulai dioperasikan, pada 2007 Ekonom Barat setuju mengurangi dari emisi CO2 pada tahun 2005, dan kiwari kita disuguhkan gagasan Conference of Parties (COP) ke-29 yang tahun depan akan menekankan disiplinitas perdagangan karbon guna mengatasi krisis iklim yang semakin menjadi.

Kesadaran untuk menjaga lingkungan tetap lestari bukan perkara gampang. Situasi menukik aral melintang kadang kala membuat sulit mewujudkan misi besar lingkungan tetap lestari dan mengurangi emisi karbon. Pada Majalah Tempo, 13 April 1991 memberitakan sebuah desa yang menanggung dosa. Dikarenakan ingin memproduksi lahan pertanian lebih luas dengan harap dapat memanggul pundi-pundi uang lebih besar, malah desa itu berimbas oleh bencana alam yang memporak-porandakan harta benda milik mereka.

Baca juga:  Album Ceramah dan Nyanyi Sunyi Pramoedya Ananta Toer

Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto acap kali kita mengenalnya sebagai pakar ekologi Indonesia, menorehkan banyak ide menyoal ekologi. Kita mengetahui pelbagai buku diktat penting telah diterbitkan Otto terbilang kritis dan mutakhir. Otto tak ingin karyanya hanya bisa dibaca oleh kelompok akademisi maupun aktivis lantang semata. Dalam buku gubahannya berjudul Jaring-Jaring Kehidupan (Penerbit Indira Press, 1981), Otto mengajak pembaca belia yang duduk di bangku Sekolah Dasar maupun Menengah untuk menelisik dunia ekologi.

Pada buku itu, Otto dengan telaten menjelaskan perspektif ekologi melalui alur cerita nan menarik. Bahasa yang disuguhkan pun ditujukan untuk mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar maupun menengah. Kendati tak mengurangi substansinya, Otto mafhum dikenang sebagai pakar ekologi di mana ramah terhadap seluruh pembaca.

“Apa hubungan antara kerusakan hutan dengan kekeringan dan banjir?”tanya Tedi

“Ted di hutan daun yang jatuh bertumpuk di atas tanah. Daun-daun itu membusuk di dan di sebut humus.”

“Air yang diserap oleh humus itu akan lepas secara perlahan-lahan. Sebagian mengalir di atas tanah menjadi selokan kecil-kecil. Selokan-selokan itu bersatu menjadi sungai besar. Sebagian lagi meresap ke dalam tanah. Di tempat lain air itu keluar lagi sebagai mata air.”

“Jika hutan ditebang, tidak ada lagi humus di atas tanah. Air hujan terus saja mengalir di atas tanah.”

“Lalu, banjir ya kang?”

“Ya. Hanya sedikit saja yang meresap ke dalam tanah. Karena itu air di dalam tanah menjadi berkurang.

Otto Soemarwoto menggambarkan tokoh Tedi di mana mempunyai rasa ingin tahu cukup besar terhadap lingkungan. Rasa ingin tahunya itulah yang mengalir alur cerita menarik dalam Jaring-Jaring Kehidupan yang berbobot sebagai penunjang pengetahuan kepada pembaca belia menilik masalah ekologi.

Baca juga:  Pesantren, Gus Dur, dan Pak Masdar Farid Mas’udi

Menyuluh pengetahuan melalui cerita tak dapat dipandang sebelah mata. Untaian kata yang membentuk sebuah ide, alhasil membesit pengetahuan kepada pembacanya. Gagasan Karlina Supeli ‘Membaca dan Menulis: Sebuah Penghayatan Eksistensial’ dalam Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999) memberi secarik kisah bagaimana kekuatan kata dalam bacaan itu memantik ketajaman menuju sadar.

Menyandarkan kepada kebijakan hukum agar menyelesaikan krisis iklim dan lingkungan bukanlah salah. Meski demikian, kita tak bisa melupakan pengaruh bacaan seperti yang dibikin oleh Otto Soemarwoto itu. Masa depan penuh dengan misteri. Maka, untuk menyibak keresahan menilik krisis iklim itu, perlu kiranya mempersiapkan generasi esok dengan mengajaknya untuk menilik karya-karya menyoal lingkungan dan manusia agar perjuangan untuk menyuluh kelestarian lingkungan dapat berjalan dengan baik.

Bahan bacaan:

Taryadi, Alfons. Buku dalam Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999.

Soemarwoto, Otto. Jaring-Jaring Kehidupan. Jakarta: Indrapress/Si Kuncung. 1981.

Irwanto, S, Dwi dkk. Setelah Petani Berdasi Masuk Kerinci. Majalah Tempo. 13 April 1991.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top