Sedang Membaca
Keunikan Peringatan Malam Satu Suro di Dusun Gempol Kendal
Miftakhul Azizah
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi Agama-agama di UIN Walisongo Semarang.

Keunikan Peringatan Malam Satu Suro di Dusun Gempol Kendal

Pagelaran Budaya

Sampai keadaan dunia yang terus menerus mengalami perkembangan zaman, masih banyak masyarakat Jawa yang melanggengkan tradisi setempat. Adat kebiasaan ini telah melekat jauh sebelum penulis menapakkan kaki dan menghirup udara secara cuma-cuma di muka bumi. Tradisi ini terus hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat, khususnya pribumi Jawa yang masih kental dengan adat bernapaskan kesakralan.

Salah satu tradisi yang masih terjaga hingga sekarang ialah perayaan malam satu Suro atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan malam pergantian tahun baru Hijriah, yang jatuh pada tanggal 1 Muharram. Kata Suro sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yakni Asyuro yang memiliki arti sepuluh. Selain itu, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kata ini berasal dari pengejaan bahasa Arab yakni Syuro yang dimaknai sebagai musyawarah. Di sisi lain, masyarakat Jawa juga memiliki tafsiran sendiri terhadap pemaknaan kata ini. Menurutnya, kata Suro berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap berani.

Terlepas dari beberapa penafsiran tersebut, bulan Muharram ini memiliki banyak keutamaan. Salah satu keutamaannya telah disebutkan dalam hadist riwayat Muslim yang artinya, “Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda, “Seutama-utamanya puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat setelah shalat fardhu ialah shalat malam” (HR. Muslim No. 1163).

Baca juga:  Perbandingan Agama, Bukan Pertandingan Agama

Selain itu, Allah telah memberikan penempatan khusus pada bulan Asyuro sebagai salah satu dari keempat bulan haram, dimana terdapat beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada bulan-bulan Hijriah lainnya.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allahadalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptalan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah ayat 36)

Salah satu tempat yang masih melanggengkan tradisi suronan adalah Dusun Gempol Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Pada masyarakat sendiri, tersebar kepercayaan yang mengatakan bahwa apabila tradisi ini tidak dilakukan, maka akan berujung pada malapetaka yang menimpa warganya, seperti diganjar musibah dan gagal panen. Sehingga, warga masih terus mengupayakan tradisi ini dengan maksud memohon perlindungan dan keberkahan dari yang Maha Kuasa, agar dijauhkan dari mara bahaya apapun.

Perayaan satu Suro oleh masyarakat Dusun Gempol dimulai dari sore hari sebelum memasuki 1 Muharram. Acara ini diawali dengan pembacaan doa akhir tahun Hijriah selepas sholat Asar. Kemudian, dilanjutkan dengan tasyakuran sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan atas segala kenikmatan yang diterima warga selama satu tahun ini. Masyarakat menyebut tradisi ini sebagai tradisi Baritan.

Baca juga:  Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa

Tidak berhenti di situ, masih terdapat perayaan lanjutan dari tradisi Baritan berupa pembacaan doa awal tahun dan tasyakuran di masjid Dusun Gempol yang dilakukan setelah sholat Maghrib. Selametan dilakukan warga sebagai bentuk rasa syukur dan mengharap permohonan keberkahan Sang Penguasa semesta di tahun mendatang.

Selain Baritan, terdapat perayaan lain yang diseenggarkan oleh warga Gempol sebagai bentuk menyambut tahun baru Islam. Perayaan ini digelar oleh lembaga pendidikan non-formal di sana yakni Omah Sawah, yang mementaskan pagelaran budaya pada malam sakral menurut mayoritas pribumi Jawa. Pagelaran budaya ini menyuguhkan penampilan lagu-lagu jawa yang diiringi gamelan, penampilan tari tradisional oleh pelajar di Omah Sawah, hingga geguritan (puisi Jawa) yang dibawakan anak-anak hingga pemuda di Dusun Gempol.

Dari sini, dapat kita pahami sebagai keunikan dan ciri khas tersendiri yang ada dalam perayaan satu Suro di Dusun Gempol. Sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam, penting untuk terus melestarikan dan melanggengkan tradisi ini. Sehingga, kearifan lokal yang menjadi salah satu bentuk kekayaan daerah ini dapat diperkenalkan sebagai ikon budaya pada generasi mendatang. Dengan kata lain, tradisi tetap terjaga tanpa ada embel-embel meninggalkan budaya dengan dalih mengikuti modernitas zaman.

 

*)Artikel kolaborasi dengan Lailatuz Zahro, Mahasiswa Biologi Murni UIN Walisongo Semarang

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top