Sekitar tiga hari belakangan, para netizen dan pembaca berita yang budiman merasa dibingungkan dengan perkataan Ulil Abshar Abdalla yang dinilai membenarkan mengenai perihal sogokan atau suap, yang akhir-akhir ini dikenal dengan “sogokan hasanah” atau suap yang dibenarkan.
Dalam rapat pleno yang diadakan oleh Dewan Perwaklian Rakyat (DPR), yang juga dihadiri oleh beberapa perwakilan organisasi masyarakat Islam, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang terlibat dalam pengelolaan tambang, yang mana Gus Ulil sendiri merupakan perwakilan dari PBNU. Pada diskusi tersebut Gus Ulil berkelakar tentang “sogokan hasanah” atau sogokan yang dapat dibenarkan.
Jelasnya, Gus Ulil mengatakan, tidak dinamakan sogokan jika memang penguasa atau pemerintah memutuskan suatu kebijakan yang memberikan manfaat terhadap rakyat, yang dapat dikategorikan sebagai sogokan, menurutnya adalah, jika ada suatu kebijakan yang batil lalu rakyat disogok untuk mendukung keputusan yang batil tersebut, yang dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan kata risywah.
Hadirnya tulisan ini, sama sekali bukan untuk berkomentar atas kelakar Gus Ulil, apalagi mengkritiknya, penulis jelas tak sebanding dalam wilayah itu dengan beliau. Namun tulisan ini sedang berusaha untuk membeberkan ‘ibarot dalam teks fikih yang berkaitan dengan sogokan tersebut.
Seputar Risywah (suap)
Tidak sedikit dari kita, yang masih kebingungan dalam mendefinisikan persoalan ini, sehingga tidak sedikit komentar bias yang menghampiri kelakar Gus Ulil tersebut, namun apapun yang terjadi suap tetaplah suap yang haram sebagaimana sabda Nabi SAW:
عَنِ النَّبِيِّ قَالَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي فِي النَّارِ
Nabi bersabda: “seseorang yang menyuap dan yang menerima suap di neraka”
Hadist di atas secara tersurat jelas mengancam bagi pelaku suap (yang menyuap atau yang menerimanya) dengan ancaman neraka, namun dalam pendefinisiannya suap yang dimaksud itu seperti apa? Dan bagaimana? Masih menyisakan pemahaman yang kabur bagi masyarakat awam di wilayah publik.
Dalam kitab Mirqotus su’ud at-tashdiq,Syeikh Nawawi al-Jawi, mendefinisikan suap atau risywah adalah “pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya, agar seseorang yang diberikan itu menghukumi apa yang sang pemberi inginkan”, Lebih singkatnya adalah sesuatu yang diberikan untuk membatalkan perkara haq (benar), atau untuk membenarkan perkara yang batil.
Risywah biasanya dilakukan dalam dua hal, Pertama untuk menegakkan kebenaran atau menegakkan kebatilan, jika risywah dilakukan untuk menegakkan kebenaran maka pemberinya diperbolehkan dan penerimanya diharamkan. Namun yang kedua, jika risywah dilakukan untuk menegakkan kebatilan maka sang pemberi dan penerimanya diharamkan, sedangkan ancaman untuk pelaku risywah yang haram ini sudah jelas, Sesuai apa yang Rasulullah sabdakan “Orang yang memberi suap atau menerimanya akan masuk dalam neraka”.
Jadi yang dimaksud suap atau Risywah yang dilarang adalah membenarkan perkara yang bathil atau sebaliknya, Gus Baha sosok ulama yang memiliki kredibilitas yang tinggi dalam disiplin fikih pernah memberikan contoh hal yang terkait dengan risywah tersebut, beliau Ngendikan: “ketika istrimu diculik atau sawahmu dirampas oleh hakim, dan untuk cara mengembalikannya harus dengan bayar uang, maka pembayaran yang dimaksud itu bukan suap atau Risywah, namun secara hukum syara’ penerima tetaplah berdosa, karena memutuskan perkara yang haq kok nunggu dibayar”.
Contoh lain, dapat ditemukan ketika kontestasi politik menggema. Misal dua calon yang menyalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah, namun salah satu dari keduanya tidak memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, alih-alih memberikan angin segar dengan regulasi yang ia tetapkan, justru menjadikan rakyat lebih menderita dan jauh dari kata kesejahteraan, maka apa yang diberikan (risywah) oleh calon yang pantas untuk memimpin sebuah daerah tersebut, dapat dibenarkan secara fikih, karena hakikatnya membeli perkara yang hak dan membatalkan perkara yang batil.
Definisi yang disampaikan oleh Syeikh Nawawi al-Jawi dan contoh yang diberikan Gus Baha di atas, nampaknya selaras dengan apa yang sekilas Gus Ulil sampaikan tentang “sogokan hasanah” tersebut, yakni membela perkara yang hak atau sesuatu yang menjadi haknya, bukan mendukung terhadap suatu kebatilan.
Namun, contoh di atas belumlah dapat diterima oleh khalayak umum, karena kita berada di negara yang sarat akan hukum, sebagaimana komentar Savic Ali dalam cuitan akun X nya bahwa “kompleksitas fikih kalo dibawa ke ruang publik punya resiko disalah pahami”, karena secara fikih, kelakar Gus Ulil tentang “nyogok hasanah” dapat dibenarkan, namun masih tabu di telinga masyarakat banyak, terlebih di Indonesia.
Dari kesalahpahaman tersebut banyak asumsi publik yang menyudutkan bahwa Gus Ulil membenarkan tindakan koruptif dengan cara menyogok, asalkan hal itu dilakukan demi kebaikan. Meskipun secara fikih, hal itu dapat dibenarkan. Demikian, Wallahu a’lam bis-showab.