Sedang Membaca
Agama Menurut Ibnu Khaldun dan Karl Marx
Michael Afif
Penulis Kolom

Michael Afif adalah mahasiswa Universitas Ibrahimy di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. IG: michaelafif_45

Agama Menurut Ibnu Khaldun dan Karl Marx

Pembahasan agama sampai sekarang tidak pernah berhenti dikaji dan dianalisis mulai dari kelas bawah sampai kelas elit cindekia. Eksisnya perbincangan agama lantaran topik agama adalah wilayah sensitif yang kerap menjadi derivasi konflik sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi.

Entitas fakta ini jelas berseberangan dengan misi besar Tuhan sebagaimana yang digagas Ibnu Khaldun bahwa agama sebagai kekuasaan integrasi, kekuatan perukun dan penyatu. Lebih lanjut ia menyebut agama memiliki semangat meredakan konflik lantaran agama diproyeksi sebagai kontrol sosial dan kontrol individual, instrumen perekat persatuan bangsa, wadah perdamaian dan kesejahteraan, dan akses menuju Tuhan dengan selamat.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun memosisikan kontribusi agama pada wilayah vital suatu peradaban manusia. Karenanya ia membagi dua tipe masyarakat; badawah dan hadarah. Masyarakat badawah adalah masyarakat pedalaman, pegunungan, pinggiran. Ibnu Khaldun kemudian menyebut masyarakat badui. Sedangkan masyarakat hadarah adalah masyarakat kota, masyarakat madani, masyarakat progress, atau masyarakat yang berperadaban. Selanjutnya, Ibnu Khaldun berargumen bahwa agama mampu memperkuat ashabiyyah (gotong royong) lantaran semangat keagamaan mampu meminimalisir terjadinya konflik di masyarakat.

Menyaksikan pembuktian sejarah tentang konflik sosial yang kerapkali dilatari agama, maka secara spontan membantah gagasan Ibnu Khaldun. Pertanyaan kritisnya, apakah gagasan Ibnu Khaldun terhenti di terminal teroritis dan tidak mampu berlaju ke terminal berikutnya, yaitu terminal praksis?

Baca juga:  Siapa Penerjemah Ide-Ide Gus Dur untuk Masyarakat? (Bagian 3)

Ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen ini jelas dipengaruhi perbedaan dalam berkomonikasi dengan teks ajaran agama. Penjabaran logisnya, pesan kebaikan yang dibawa setiap agama berpotensi berubah lantaran perbedaan lanskap paradigma pemeluk agama masing-masing. Faktor berikutnya yang lebih sering terjadi adalah intervensi kepentingan oknum tertentu atau motif-motif tertentu yang mengatasnamakan agama guna memperlancar akses visi-misinya sebagaimana praktek keagamaan Gereja di Eropa. Pola keagamaan itu kemudian menjadi derivasi munculnya gagasan Max yang menolak eksistensi agama.

Jika Ibnu Khaldun menjadikan agama sebagai petunjuk dan akses menuju Tuhan, Karl Marx justru memiliki pandangan yang berbeda. Agama menurut Marx adalah jeratan, kerangkeng, dan pelarian atas kekalahan dalam menatap hidup. Simpelnya, agama adalah tempat atas orang-orang lemah, tertindas, terdekriminasi sehingga berusaha menghibur diri dengan agama. Di sini Max menyebut agama sebagai opium dan penenang.

Disebut opium lantaran menjadi obat yang dapat melupakan rasa sakit di dunia realitas. Disebut penenang karena secara substansi tidak menyelesaikan masalah dalam konteks riil, tapi hanya sebatas ilusi belaka. Lantaran manusia menikmati dengan hiburan barunya (agama), yang sedari awal lari dari ketertindasan, di sinilah Marx menyebut agama sebagai candu masyarakat.

Kembali ke muka, bahwa pandangan Max di atas bukan tidak beralasan melainkan sebagai respon Max atas fenomena pemuka kristen yang menjadikan agama sebagai mediasi mencari keuntungan. Ia menyandarkan argumennya terhadap realitas petinggi-petinggi Gereja pada era Paus Leo X tahun 1517 yang disebut Taxa Camerae. Taxa Camerae merupakan bentuk doktrin sekaligus praksis religius yang berkeyakinan bahwa jiwa manusia akan selamat jika seseorang membayar tebusan kepada Gereja. Pelaku ritual ini beranggapan bahwa dosa seseorang Gereja pada masa Paus Leo X tahun 1517 melahirkan apa yang dinamakan dengan Taxa Camerae.

Baca juga:  Obituari: Filosof Itu Bernama Hasan Hanafi (1935-2021)

Taxa Camerae adalah praktik religius yang diklaim dapat menyelamatkan jiwa seseorang, hanya jika seseorang dapat membayar kepada Gereja dengan uang sesuai standar timbangan dosa yang diperbuat.

Analisis ilmiahnya, konflik yang dilatari agama selama ini ternyata bentuk penyelewangan oknum tertentu dari spirit ajaran agama sebab setiap agama pasti membawa pesan kebaikan. Posisi agama yang menjadi korban oleh kelompok berkepentingan yang menunggangi agama dalam melancarkan tujuannya telah menodai citra agama sebagai guide of life menuju kehidupan yang selamat dan sejahtera.

Statemen Ibnu Khaldun yang menyebut agama sebagai peredam konflik, instrumen persatuan, media perukun benar secara doktrin agama, tetapi dipraktekkan sebaliknya oleh pelaku maupun pemuka agama, sebut saja kaum aportel yang memanfaatkan posisinya sehingga membuat Karl Marx geram dengan percikan kritik kerasnya bahwa agama adalah kerangkeng dan jeratan. Senada dengan itu Michael Bakunin berpendat bahwa agama adalah kendaraan paling empuk untuk mencapai keinginanan-keinginan, Dan semua manusia berpotensi melakukan itu, tanpa terkecuali.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top