Bagi saya, pesantren adalah tempat paling lengkap belajar agama Islam mulai dari aspek ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantik), ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu tasawuf, ilmu sejarah, sosial, politik, hingga ilmu hikmah (pengobatan spiritual). Seluruh khazanah keilmuan Islam karya para ulama salaf maupun khalaf dipelajari dengan seksama oleh Kiai dan para santri.
Tradisi keilmuan pesantren yang sedemikian komplit ini sudah berjalan sejak abad ke-13. Saat Walisongo hadir dan berdakwah di belantara hutan Nusantara. Mereka tak hanya berbekal ilmu agama, tetapi juga ilmu hikmah atau kanuragan yang bisa menyembuhkan dan membentengi diri dari ancaman apapun. Dan kisah-kisah menakjubkan kehebatan para wali inilah yang sampai pada kita.
Di masa perjuangan kemerdekaan, kita tahu bahwa pesantren tak hanya berperan sebagai sekolah agama, pengelolaan pertanian dan perkebunan, tetapi juga sebagai basis perjuangan rakyat melawan penjajah. Tatkala Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, para ulama, santri dan masyarakat berkumpul di pesantren masing-masing, menyusun strategi, merapalkan doa, dan langsung berjuang melawan penjajah. Sebagaimana dicatat KH. Saifudin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren, laskar jihad ini berperang sembari mendengungkan dan melantunkan doa, dzikir, hizib dan shalawat yang diijazahkan para kiainya. Ajaib! Secara teknologi militer mereka kalah jauh, mana mungkin senjata api, pesawat, dan tank pengebom sebanding dengan bambu runcing. Tetapi faktanya, ada faktor X—kuasa Tuhan—yang membuat laskar jihad mampu memukul mundur pasukan penjajah, rahasianya ada pada ilmu hikmah. Di antara para ulama pejuang yang dikenal ahli ilmu hikmah adalah, Kiai Dalhar Watucongol, Kiai Subchi Parakan, Kiai Abbas Buntet, dan Kiai Mustaqim Tulungagung.
Ilmu hikmah di pesantren seringkali disebut sebagai ilmu sakti, jadug, kebal, pengasihan, ataupun mandraguna. Uniknya, para kiai tak sembarangan mengajarkan atau mengijazahkan ilmu tersebut kepada sembarang santri. Biasanya hanya santri-santri ‘pilihan’ yang ditunjuk Kiai untuk mengaplikasikan ilmu hikmah dalam kehidupannya. Tentunya Kiai memiliki pandangan khusus sesiapa saja santrinya yang mampu meneruskan sanad keilmuan ini. Sehingga, ilmu ini dianggap keramat dan tak sembarang orang bisa mempelajarinya. Siapapun nekat tanpa sanad memelajarinya, bisa-bisa ia menjadi bingung, gila hingga murtad. Ilmu hikmah ini tak bisa dikutip hanya sekadar untuk show off atau ajang pamer kekuatan di tengah masyarakat. Ikhtiar ilmu ini adalah upaya membersihkan jiwa raga dengan tak putus berdzikir dan bershalawat untuk menggapai ridha Allah.
Banyak sekali ragam kitab sakti yang menjadi rujukan ilmu hikmah, di antaranya Al-Aufaq karya Imam al-Ghazali (1058-1111 M), Syam al-Ma’arif al-Kubra dan Manba’ Ushul al-Hikmah karya Syekh Ahmad Ali bin Yususf al-Buni (w. 1225 M), Kitab al-Muntaqal Mukhtar min Kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi ad-Dimasyqi (1233-1277 M), Syumus al-Anwar wa Kunuz al-Asrar karya Syekh Ibnu al-Hajj at-Tilimsani (w. 1325 M), Kitab al-Mujarobat al-Kubra karya Syekh Ahmad ad-Dairobi (1651-1738 M), Khazinat al-Asrar karya Syekh Muhammad Haqqi an-Nazili (w. 1883 M), Afdhalu as-Shalawat dan Sa’adah ad-Darain karya Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani (1849-1932 M), hingga Abwab al-Faraj karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (1944-2004 M).
Kitab Mujarobat
Satu yang populer dijadikan rujukan adalah Kitab al-Mujarobat. Kitab ini berjudul asli Fath al-Mulk al-Majid al-Mu’allaf li Naf’il Abid wa Qam’i Kulli Jabbarin ‘Anid. Latar belakang penulisan kitab ini—sebagaimana diungkap penulis dalam mukadimah—berawal dari pengalaman pribadi saat mendapati penguasa bengis yang hendak merampas tanah pemukiman dan perkebunan subur di kampungnya. Di tengah rasa was-was warga sekampung meminta bantuan kepada Syekh Ahmad ad-Dairobi yang kala itu memang dikenal sebagai ahli agama. Tak ayal, Syekh ad-Dairobi berbekal beberapa ijazah hizib dan wirid dari gurunya, ia memanjatkan doa dan istigasah beserta masyarakat agar kampungnya terbebas dari segala marabahaya dan kezaliman.
Di samping itu Syekh ad-Dairobi juga mengamalkan surah Yasin dan hizib shalawat lainnya yang berfungsi menaruh rasa iba pada diri seseorang. Apa yang terjadi? Ajaib! dengan wasilah doa dan istighasah itu, si penguasa bengis ini dengan alasan iba tidak jadi menginvansi daerah mereka. Malahan terjadi perjanjian damai, di mana, si penguasa bengis ini akan melindungi daerah mereka dari sasaran penguasa zalim lainnya. Dari situlah, timbul ikhtiar kuat menuliskan berbagai amalan, doa, wirid—yang dikumpulkan dari banyak riwayat ulama baik yang diterima langsung maupun dari kitab-kitab salaf muktabar—sebagai wasilah ilmu hikmah perlindungan dan pengobatan.
Kitab ini disusun dari 36 pasal yang secara garis besar berisi beragam khasiat dan amalan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, semisal 1001 khasiat dan manfaat basmalah, surah al-Fatihah, Ayat Kursi, Surah Yasin, Surah al-Mulk, Surah al-Waqi’ah, surah al-Qadr, surah al-Insyirah dan surah-surah lainnya masing-masing memiliki keutamaan. Semisal, terkait basamalah. Syekh al-Minawi meriwayatkan bahwa tatkala ayat basamalah yang mulia itu diturunkan, gunung-gunung bergetar karena keagungannya. Lalu Malaikat Zabaniah berkata, ‘Siapa yang membacanya, maka ia tidak akan masuk neraka.’ Setelah pasal perihal ayat-ayat tuntas, Syekh Dairobi menjabarkan beragam shalawat Nabi yang memiliki khasiat baik itu dikalbukan seluruh hajat, dilunasi semua hutang, serta dihilangkan seluruh kesusahan. Para ulama berlomba-lomba menulis shalawat versi masing-masing. Syekh Dairobi hendak menunjukkan bahwa kita bisa memilih shalawat mana pun baik dan hendaknya mengamalkan yang mudah kita hafal atau pertama kali dipelajari dari guru kita.
Pada pasal ke-14, Syekh Dairobi menjelaskan beberapa amalan yang bermanfaat untuk menyikapi tindak kejahatan. Berpijak pada firman Allah: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. as-Syura [42]: 40). Ayat ini mengonfirmaasi pemakaian beberapa langkah; dimulai dari memakai amalan yang menghaluskan hati dan turunnya hidayah pada si pelaku. Bila tidak bisa, maka gunakan amalan untuk mengirim khadam. Bila tidak bisa, maka gunakan amalan untuk mengendalikan atau menguasai hati mereka. Dan bila tidak bisa, baru gunakan amalan untuk mendatangkan kehancuran.
Menarik, Syekh Dairobi juga mencatat amalan yang bisa mengobati seluruh penyakit dan menangkal datangnya wabah virus. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. beliau bersabda “Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat, apabila dibaca tiap pagi dan sore hari, dapat menjadi sarana untuk mendapatkan kesembuhan dan perlindungan diri dengan izin Allah. Yakni bacalah secara berurutan QS. ar-Ra’d [13]: 31, lalu QS. Thaha [20]: 105-107, lalu QS. Al-Hasyr [59]: 21-24 dan QS. an-Naml [27]: 88, seraya menantang eksistensi penyakit.” Wallahu A’lam bis Shawab
“Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al-Qur’an itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya.” (QS. ar-Ra’d [13]: 31)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu datar sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan yang tinggi-tinggi.” (QS. Thaha [20]: 105-107)
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr [59]: 21-24)
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Naml [27]: 88)