Bagi sebagian orang, menyeduh kopi sangatlah rumit. Ia haruslah disesuaikan dengan temperatur roasting yang pas dengan segala ukuran suhu sehingga mencapai kesempurnaan rasa. Atau, biji kopi haruslah diambil dari daerah-daerah tertentu yang khas dengan hasil kopinya. Perihal ia tumbuh di ketinggian tanam berapa, nyatanya juga sangat membuat riweuh dalam dunia penyeduhan kopi.
Itu sih bagi saya pribadi. Karena sekali lagi, menurut saya, kopi itu tidak pernah memihak. Kopi, dengan segala tampilan dan cara penyajiannya, bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa pandang bulu. Seperti halnya agama. Ia bisa dinikmati oleh masyarakat urban, masyarakat pedesaan, termasuk para borjuis.
Bisa jadi, bapak-bapak di kampung saya sana, yang saban hari ngopi dari pagi sampai sore di warung kopi, ketika disodori secangkir kopi St*rb*cks misalnya, ia akan menolak karena dirasa kurang pas. Dirasa kurang sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari menyeduh secangkir kopi. Kemungkinan lainnya, karena kopi st*rb*cks dirasa punya jarak yang tak begitu dekat, ia jauh, tak akrab dan tidak memikat.
Karena jika dipikir-pikir, rasa itu sendiri sangat subjektif. Misal, saya suka kopi pahit. Saya menganggap kopi haruslah pahit, kalaupun tambah gula paling maksimal untuk ukuran saya ya setengah sendok teh dalam secangkir kopi. Itu sudah maksimal. Sedangkan kawan saya, ia haruslah menambah dua sendok makan gula teh ke dalam cangkir kopinya.
Lantas, apa hubungannya dengan kerumitan beragama?
Sedikit bercerita tentang beberapa waktu lalu ketika saya mengunjungi sebuah warung kopi. Tak jauh dari tempat saya duduk ada sekelompok muda-mudi sedang begitu sibuk, pun terlihat sangat rumit berlatih meracik kopi dengan para barista. Obrolan-obrolan tentang suhu, penyaringan, hingga penyajian kopi seakan tak berujung.
Dua jam saya perhatikan mereka umek dengan takaran demi takaran hingga menghasilkan kopi untuk dapat dinikmati. Rumit sekali. Entahlah, bagi saya yang seperti itu tidaklah memulu penting jika bukan dilakukan dengan tujuan profesionalitas.
Kebetulan, di seberang lainnya, obrolan tentang fenomena beragama baru terdengar dari sekelompok diskusi mahasiswi yang juga sesekali turut mencuri perhatian saya. Beberapa nama ustaz hits mengemuka. Ada macam opini yang saya dengar dari diskusi mereka. Sesekali saling beradu argumen ditambahi referensi beberapa dalil hasil gooling instan waktu itu. Hasilnya, tentu saja bisa ditebak, sesuai algoritma mesin pencari informasi di internet, yang paling banyak dikemukakan tak jauh-jauh dari informasi bagian teratas mesin google yang didominasi oleh web-web keagamaan yang ‘siap pakai’.
Iya, agama siap pakai, yang berupa pengetahuan atau informasi agama yang tak perlu lagi diracik. Ia hanya bisa dinikmati, dipakai, tapi tidak layak untuk menghukumi dan menjustifikasi bahwa cara inilah yang paling benar dan murni. Agama siap pakai ini tentulah cocok untuk masyarakat awam. Tapi jika sudah masuk ke ranah profesionalitas, agama memang haruslah rumit. Ia harus dikaji, ditafsirkan, diteliti, bahkan harus direvitalisasi sesuai perkembangan zaman ketika teks-teks keagamaan dianggap tak lagi mampu memberi jawaban.
Seperti ketika saya menikmati secangkir kopi pagi itu. Bisa jadi rasa yang dihasilkan para barista warung kopi tersebut sesuai dengan lidah saya. Saya bisa menikmatinya dengan sangat pas, baik takaran susu ataupun kopinya. Saya merasa akrab dengan kopi tersebut. Tapi tentu saja, kopi yang saya minum bukanlah satu-satunya kopi yang paling berhak dijuluki kopi yang paling punya rasa ‘kopi’. Ada puluhan atau bahkan ratusan cara lainnya untuk dapat disebut dengan kopi. Ada yang butuh racikan lain, misal beras, jagung, tanaman-tanaman herbal, atau bahkan kulit pisang. Sah-sah saja sebenarnya.
Racikan-racikan ini juga berlaku dalam cara beragama. Penafsiran agama tidak muncul dalam ruang kosong, ia sangat terkait dengan kondisi sejarah dan sosial masyarakat yang berbeda-beda. Pun dalam meraciknya, agama butuh ilmu alat yang tak cukup hanya dengan penguasaan bahasa Arab. Takaran tiap-tiap orang dalam menerima, memahami, kemudian melaksanakan ajaran agama juga berbeda-beda. Bisa jadi ajaran dan penafsiran agama yang cenderung tekstualis cocok dengan anda, tapi belum tentu dalam pemahaman-nya yang lebih luas ia cocok untuk saya.
Jika haruslah seragam misalnya, Alquran seharusnya juga berisi ayat-ayat yang tak perlu lagi dapat ditafsirkan seperti masalah-masalah aqidah. Nyatanya, Alquran sebagai sumber yang paling otoritatif dalam Islam, punya ribuan bahkan lebih penafsiran atasnya. Teks-teks tersebut ditafsirkan oleh lintas mazhab, madrasah, pemikiran, budaya, sejarah, waktu dan ruang. Karena yang menafsirkan adalah manusia, bukan Tuhan. Tujuannya, tak lain adalah agar nilai-nilai agama dapat berfungsi untuk mensejahterakan manusia dan seluruh makhluk Tuhan.
Terdapat ratusan bahkan ribuan dalil keagamaan dalam Islam, yang seharusnya tidak dimonopoli oleh sebagian masyarakat. Mayoritas dalil-dalil tersebut justru menitikberatkan pada pesan-pesan positif. Kebaikan, rahmat, kasih sayang, seruan untuk berpikir, merenung dan lain sebagainya. Hanya sedikit dari ayat-ayat Alquran yang menitikberatkan pada pemaksaan, dan kekerasan. Itupun harus dikaji dengan sangat hati-hati terkait konteks dan asbab nuzul ayat tersebut.
Belum lagi kosa kata dalam Alquran yang terkadang mempunyai makna lebih dari satu (musytarak), atau yang mengandung lafaz-lafaz yang kerap kali menimbulkan perbedaan pandangan, misal khas, mujmal, mubayin, mutlak, muqayyad, atau naskh mansuhkh. Maka, bagi kaum agamawan, ulama, akademisi, dan para profesional dalam bidang keagamaan, menafsirkan suatu ayat akanlah selalu rumit dan njlimet. Bukannya dikit-dikit, baru buka terjemahan, langsung bilang “ayatnya kan sudah jelas”. Ya, tentu saja jelas, tapi bagi siapa dulu. Bagi masyarakat awam boleh jadi jelas, tapi belum tentu dapat dimengerti oleh mereka yang professional dalam bidang keagamaan.
Termasuk hukum-hukum agama, atau masalah perbedaan fikih yang tidaklah tunggal. Juga bukan berarti, yang berbeda, tidak memakai teks-teks keagamaan otoritatif dalam mengambil keputusan. Ia kadang perlu dijelaskan dengan bahasa-bahasa sederhana, agar sampai dan mudah dipahami masyarakat awam. Pemahaman agama siap pakai tak melulu buruk sebenarnya, namun ia akan menjadi salah ketika dijadikan satu-satunya rujukan, apalagi digunakan untuk menghakimi dan menjustifikasi pendapat lain.
Begitulah agama yang hidup seharusnya bekerja. Bukan teks-teks keagamaan yang mati, yang hanya dipahami sebagai bungkus luar kehidupan manusia. Urusan kulit, silahkan pilih sesuka hati. Mau yang berbau syar’i silahkan. Atau, pilih sesuai karakteristik masyarakat setempat juga silahkan. Ada hal-hal yang jauh lebih substansial dari itu semua, yaitu bagaimana nilai-nilai agama bisa akrab dengan kehidupan manusia. Ia hadir tidak untuk menakut-nakuti. Ia hadir untuk menciptakan kesejahteraan seluruh makhluk Tuhan.
Seperti halnya kopi, kehadirannya jika hanya membuat tubuh dan hati merana, tak akrab, dan justru menjauhkan dari kebaikan misalnya, lebih baik pilih alternatif kopi lainnya yang ramah untuk kesehatan, dan, tentu saja, juga ramah di kantong. Sederhana bukan?