Sedang Membaca
Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur’an (3): Bercita-cita Mencetak Santri Hafal Al-Qur’an

Dosen di Ma'had Aly KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang. Selain menulis di jurnal dan buku, Anang aktif menulis esai-esai populer di berbagai media. Buku yang sudah terbit antara lain, Karomah Sang Wali; Biografi KH. M. Adlan Aly Jombang (Pustaka Tebuireng), Aswaja dan KeNUan Pesantren Tebuireng (team) (Pustaka Tebuireng, 2020), dan مختصر جامعة المقاصد للعالمة الشيخ محمد هاشم أشعري (Turats Tebuireng, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang). Aktif di pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari.

Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur’an (3): Bercita-cita Mencetak Santri Hafal Al-Qur’an

Bercita-cita Mencetak Santri Hafal Al-Qur’an (3)

Dalam sebuah film dokumenter biografi KH. M. Hasyim Asy’ari, Gus Ishom Hadzik menuturkan bahwa Hadratussyaikh mempunyai satu obsesi untuk mencetak kader santri yang hamil Al-Qur’an lafdzan wa ma’nan wa ‘amalan. Santri yang hafal al-Qur’an baik secara lafadz, makna maupun amal perbuatan. Beberapa kali, pesan ini beliau sampaikan pada santri Tebuireng dalam beberapa kesempatan.

Istilah hamilul qur’an ini diperkenalkan Nabi Muhammad Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas Ra:

أَشْرَافُ أُمَّتِي حَمَلَةُ الْقُرْآنِ وَأَصْحَابُ اللَّيْلِ

Umatku yang paling mulia adalah penghafal al-Qur’an dan menghidupkan malam

Meskipun hadis yang dikeluarkan Imam al-Tirmidzi ini dinilai oleh para ahli hadis berada dalam derajat dhaif secara sanad, namun secara makna dihukumi shahih. Dan

pertama kali secara akademis oleh Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi al-Dimasqi, al-Syafi’i. Istilah tersebut digunakan di dalam judul kitabnya al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an (penjelasan tentang etika menghafal al-Qur’an) yang ditulis sekitar pertengahan abad ke-7 Hijriyah. Istilah hamilul qur’an ini juga dipakai oleh Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an, yang mana di dalamnya Imam al-Suyuthi menulis bab khusus  (kaifiyat tahammuli al-Qur’an) yang berbicara tentang bagaimana cara menghafal al-Qur’an.

Senada dengan Gus Ishom, dalam ingatan penulis, Dr. KH. A. Musta’in Syafi’ie juga seringkali menyampaikan pesan ini kepada para guru Al-Qur’an di pesantren Tebuireng saat pengarahan di medio tahun 2004-2007 an. Untuk menguatkan pesan ini, mudir satu Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng ini mesti mengkaitkan kisah di saat Hadratussyaikh mengirim putranya, KH. M. Yusuf Hasyim untuk belajar Al-Qur’an di  Pesantren Tahfizul Qur’an di Kauman, Sidayu. Pesantren ini diasuh KH. Munawwar Sidayu yang mengambil sanad dari Syekh ‘Abd. Karim Ibnul-Haj al-Badri Madinah al-Munawwarah.

Baca juga:  Ulama Banjar (98): H. Sa’duddin

Pesantren Tahfizul Qur’an ini sangat masyhur di zamannya. Banyak para kiai Nusantara yang berhasil menghafalkan al-Qur’an dari pesantren ini. Kiai lulusan pesantren ini pada gilirannya berperan penting dalam pengajaran Al-Qur’an di daerahnya masing-masing. Di antara kiai yang pernah mengenyam hafalan al-Qur’an di pesantren ini antara lain; KH. Ridwan Qusyairi, KH. Muhammad Sofwan, KH. Adlan Aly, KH. Munir Mawardi, KH. Amin Musthofa, KH. Abdul Rahman, KH. Sa‘ad A. Mu‘in, KH. Hamim Syahid, KH. Husen Jenu Tuban, KH. Thahir, KH. Hasan Abdillah, KH. Syahdlili Muhdlar dll.

Meskipun Kiai Hasyim dikenal sebagai salah satu ulama hadis terkemuka di Indonesia, namun hal itu tidak membuat lantas memberikan kesimpulan bahwa Kiai Hasyim tidak menaruh perhatian khusus kepada al-Qur’an. Setidaknya kaitan antara ilmu hadis dan al-Qur’an, Kiai Hasyim mengatakan:

فإن الحديث أحد جناح الأخر وهو القرآن

Bahwa hadis adalah sepasang sayap, maka sepasang lainnya adalah al-Qur’an.

Menjadikan Al-Qur’an sebagai Pendidikan Wajib di Usia Dini

Perhatian Kiai Hasyim terhadap pendidikan al-Qur’an untuk anak-anak ini dapat ditemukan dalam kitab adabul alim wal muta’allim. Kiai Hasyim menjelaskan bahwa mempelajari al-Qur’an adalah bagian dari adab seorang santri. Sebagaimana diterangkan dalam bab 4 yang berbicara tentang adab kedua dari 13 adab yang harus dimiliki seorang santri adalah mempelajari al-Qur’an secara mendalam guna memperkuat ilmu-ilmu fardhul `ain yang telah dia pelajari.

Kiai Hasyim membahasakannya dengan kalimat “فيتقنه إتقانا جيدا”. Sebagaimana di semua pesantren, materi al-Qur’an menjadi materi pokok yang dipelajari santri pada tahap awal pembelajarannya. Pada era Kiai Hasyim, belajar baca tulis al-Qur’an disampaikan pada jenjang sifir awal, artinya santri Tebuireng diharapkan telah menguasai baca tulis al-Qur’an secara tuntas sebelum belajar ilmu agama di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.

Baca juga:  Ulama Banjar (109): Guru Dachlan Cantung

Tidak sampai di situ, dalam bab empat poin kedua, kiai Hasyim melanjutkan, seorang santri hendaknya berusaha dalam memahami tafsir al-Qur’an dan menguasai seluruh ilmu al-Qur’an. Karena dalam pandangan kiai Hasyim, ilmu al-Qur’an adalah “أصل العلوم وأمها وأهمها” yaitu pokok dari semua ilmu, serta induk dan bagian terpenting dari ilmu pengetahuan. Kemudian menghapal ringkasan pokok-pokok pembahasan dari setiap disiplin ilmu lainya, yang mencakup Hadis, Ilmu Hadis, Usul Fikih, Ushuluddin (telologi/ilmu akidah), Nahwu dan Shorof.

Dalam bagian akhir pada adab kedua santri ini, kiai Hasyim memberikan peringatan jangan sampai dengan mengkaji ilmu-ilmu sekunder tersebut malah lupa untuk mempelajari al-Qur’an, Kiai hasyim juga menganjurkan membaca al-Quran sebagai wirid di setiap harinya.

Ingin Mengajar Anak-Anak Baca al-Qur’an

Kiai Hasyim menaruh perhatian besar pada pendidikan al-Qur’an bagi anak-anak, hal ini dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan kecil Kiai Hasyim. Seperti dikisahkan oleh Gus Zaky Hadziq,  jika Kiai Hasyim bertemu anak kecil, lantas yang ditanya sudah bisa membaca al-Qur’an?, bukan ditanya sekolahnya, bukan ditanya hobinya, bukan ditanya hal lainnya, melainkan yang ditanya adalah kemampuan baca al-Qur’annya. Jika sudah bisa, maka anak kecil tersebut akan diberi hadiah uang oleh Kiai Hasyim.

Bukti perhatian Kiai Hasyim pada pendidikan al-Qur’an usia dini dapat dilihat ketika beliau pergi ke Jawa tengah, dan mampir ke sahabatnya yang sangat disegani, yaitu KH. Abdussalam Kajen Pati, ayah dari KH. Abdullah Salam. Beliau melihat kiai Salam yang sedang mengajari baca Al-Qur’an kepada anak-anak kecil. Hal ini membuat KH. M. Hasyim terenyuh dan iri kepada Kiai Salam. Betapa sebegitu alimnya kiai salam, tapi masih bisa menyempatkan waktu untuk mengajar Al-Qur’an kepada anak-anak kecil. Hal yang nampak sepele ini tidak dipandang remeh oleh kiai Hasyim. Sambil terisak, beliau lantas mengkoreksi dirinya, dan meminta ampun kepada Allah, yang mana semala ini kiai Hasyim tidak terfikir untuk melakukan seperti apa yang dilakukan kiai salam, yang diistilahkan Kiai Hasyim dengan terma tarbiyatus sibyan (pendidikan anak usia dini).

Baca juga:  Ulama Banjar (155): KH. Muhammad Hamdan Luqman

Memang selama ini di pesantren Tebuireng, kiai Hasyim Asy’ari hanya mengajarkan pengajian kepada santri senior, para ustadz dan kiai saja. Selain itu, beberapa urusan organisasi Nahdlatul ulama serta jabatannya sebagai ketua Masyumi membuat KH. M. Hasyim Asy’ari tidak memiliki banyak waktu untuk mengajar santri dan anak-anak kecil. Belum lagi kegiatan bercocok tanam dan menulis kitab yang menjadi rutinitas pakemnya.

Di luar itu, sabab hari setiap bada Ashar, Maghrib atau Isya’, KH. M. Hasyim Asy’ari seringkali menerima tamu dari berbagai kalangan. Meskipun begitu, Kiai Hasyim masih menyempatkan mengajar anak-anak putri di mushalla ndalem. Selain itu, Kiai Hasyim juga akhirnya sangat memperhatikan pendidikan al-Qur’an anak-anak dari keluarganya, sehingga Gus Dur kecil dapat belajar baca al-Qur’an secara langsung kepada kakeknya ini.

Keinginan untuk mengajar baca al-Qur’an kepada anak-anak ini agaknya diamalkan oleh KH. A. Baidlawi Asra, menantu Kiai Hasyim. Menurut KH. A. Musta’in Syafi’ie, selain menjadi kepala Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, beliau juga berperan sebagai konsultan Qurra’ bagi para pengajar al-Qur’an di Tebuireng. Meski dengan kapasitasnya sebagai pimpinan, Kiai Baidlowi masih menyempatkan diri untuk mengajar baca Al-Qur’an kepada anak-anak yang masih terhitung kerabatnya. Kakak beradik H. Bisri dan H. Mudzakkir, kakek berusia 75 tahunan yang tinggal tepat di utara Pesantren Tebuireng ini dapat mengenang saat mereka kecil belajar baca Al-Qur’an kepada Kiai Baidlawi secara rutin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top