Sedang Membaca
Mengenang Gus Dur dan Rekonsiliasi Damai di Maluku

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Mengenang Gus Dur dan Rekonsiliasi Damai di Maluku

Tahun 1999-2002 merupakan tahun-tahun mencekam bagi orang Maluku. Satu tahun pasca reformasi 1998, konflik horizontal pecah di Maluku. Dalam catatan sejarah, konflik di Maluku merupakan tragedi sosial paling ganas di penghujung abad 20 menuju abad 21. Dua umat beragama (islam dan kristen) saling baku bunuh. Latar belakang konflik tersebut disebabkan banyak hal.

Secara implisit, konflik itu diperparah oleh hasutan kepentingan politik tertentu yang berusaha memecah belah keutuhan bangsa, karena Indonesia saat itu sedang mengalami instabilitas politik nasional. Selain itu, konflik tersebut juga disebabkan pembagian kue kekuasaan yang tidak merata di tingkat lokal. Terakhir, konflik itu semakin parah saat masuknya kelompok “laskar jihad” dengan membawa sentimen beragama model ekstrimisme. Ini yang membuat konflik sosial di Maluku menjadi sangat kompleks.

Dalam tulisan pendek ini, beta (saya) tidak akan terlalu menyoroti bagaimana situasi konflik saat itu. Namun, tak bisa juga kita anggap bahwa konflik itu tidak ada. Sebagai fakta sejarah, konflik itu benar-benar ada. Namun, sebagai kelanjutan sejarah menatap masa depan, konflik itu tak bisa kita lupakan begitu saja tapi untuk saat ini kita harus memaafkannya, begitulah Gus Dur sering mengingatkan kita semua. Yakni berusaha memaafkan situasi maupun orang-orang yang terlibat di dalam konflik tersebut. Derrida mengatakan, “Memaafkan adalah kesanggupan kita untuk memaafkan sesuatu yang sulit kita maafkan”.

Tragedi sosial di masa silam itu memang sulit kita maafkan, karena banyak saudara-saudara kita meninggal tanpa sebab, namun kita harus berusaha memaafkannya, dan ini menurut Derrida merupakan model memaafkan yang sangat kudus.

Baca juga:  Ikhtiar Menyusun Pelajaran Sejarah untuk Santri Mubtadiin

Tulisan pendek ini akan menyoroti bagaimana peran Gus Dur (almarhum) dalam rekonsiliasi damai di Maluku. Kita semua tahu bahwa Gus Dur menjadi presiden Indonesia tahun 1999-2001. Tahun-tahun ini merupakan tahun paling ‘nyesek’ karena Indonesia baru mau keluar dari krisis multidimensional.

Krisis ini berdampak pada banyak hal, salah satu di antaranya ada pertaruhan integrasi bangsa di satu sisi dan disintegrasi bangsa di sisi lainnya. Artinya, di masa kepemimpinan Gus Dur merupakan tahun-tahun ‘nyesek’, dan Tuhan Maha Mengerti keadaan, bahwa Indonesia di masa-masa itu harus dipimpin oleh seorang yang kuat secara ideologi kebangsaan, humanis, dan egaliter. Disinilah Gus Dur layak memimpin Indonesia yang sedang ‘nyesek’ waktu itu.

Gus Dur dimata lawan politiknya dianggap terlalu “wara-wiri” keluar negeri. Anggaran negara dipakai hanya untuk ke luar negeri. Sementara di internal bangsa sedang dalam kondisi carut-marut. Spontan orang-orang mengatakan bahwa Gus Dur tak becus ngurus negeri. Namun, stereotipe penuh prasangka terhadap Gus Dur itu belakangan terbukti tidak benar. Gus Dur membantah, “Daripada uang-uang itu kalian dikorupsi, lebih baik digunakan untuk kemaslahatan bangsa” (pernyataan Gus Dur dengan gaya bahasa saya). Ini poinnya. Kemaslahatan bangsa, yakni menyelamatkan Indonesia dari upaya orang-orang yang berusaha merusak keutuhan bangsa.

Baca juga:  Dari Konservatif hingga Liberal: Melihat Sisi Moderat dalam Tubuh Islam (1)

Gus Dur pergi keluar negeri adalah dengan tujuan untuk menjaga keutuhan bangsa. Begitulah niat Gus Dur, ini niat yang sungguh suci. Indonesia yang waktu itu masih seumur jagung menikmati buah reformasi, pasca tumbangnya otoritarianisme, tentu gejolak disintegrasi muncul di sana-sini. Muncul hasutan bahwa konflik di Maluku itu adalah perang melawan separatisme RMS. Gerakan separatis ini “kadang” ditempeli pada identitas orang Kristen. Jadi, seolah-olah konflik di Maluku adalah muslim lawan RMS (“alias Kristen”). Padahal, ini tidak benar dan merupakan hasutan adu domba untuk memecah keharmonisan muslim-kristen di Maluku.

Gerakan separatis itu sudah lama terkubur dalam catatan sejarah Indonesia, namun sengaja dibangkitkan kembali saat konflik horizontal pecah di Maluku. Tujuannya tidak lain adalah memecah belah keharmonisan muslim-kristen di Maluku. Di tengah suhu konflik yang terus memanas, Gus Dur datang ke Maluku dan Maluku Utara untuk mendamaikan sesama anak bangsa yang sedang bertikai. Dalam beberapa pertemuan, di depan para wartawan, Gus Dur sempat melontarkan isu-isu perdamaian di Maluku dan sekitarnya.

Selang beberapa tahun kemudian, Gus Dur dilengserkan dari tampuk kekuasaannya. Banyak yang kecewa, tapi Gus Dur selalu berusaha menahan diri untuk tidak berontak. Padahal, kalau kita perhatikan upaya Gus Dur sudah berada di jalan benar dan sesuai konstitusional. Tapi, ada pihak-pihak yang tidak suka dengan Gus Dur. Dalam beberapa kesempatan, setelah beliau tidak menjadi presiden lagi, Gus Dur menjelaskan secara implisit begini, “Keutuhan bangsa di atas segalanya, jangan karena kekuasaan maka pecah bangsa ini”. Dari sini, Gus Dur layak, dan memang layak, dijuluki sebagai Guru Bangsa.

Baca juga:  Kiai Ndukun: Ilmu Hikmah dan Sisi Ruang Batin Manusia

Upaya Gus Dur untuk menjaga keutuhan bangsa benar-benar terwujud sekarang ini. Pasca reformasi, menurut beta (saya), Indonesia sangat beruntung di pimpin Gus Dur. Beta pikir, kalau seandainya waktu itu tidak dipimpin Gus Dur, bagaimana nasib integrasi bangsa ke depan? Bisa tambah kacau balau, karena pada masa itu jarang sekali kita temui orang-orang yang punya prinsip kuat tentang keutuhan bangsa kecuali Gus Dur (tanpa mengecualikan peran bu Mega dan lainnya). Jadi peran Gus Dur untuk menjaga situasi damai demi keutuhan bangsa sangat terasa sekali sampai ke Maluku hingga sekarang.

Tujuh hari ke depan kita akan kembali mengenang perjuangan Gus Dur yang telah meninggalkan kita semua pada 30 Desember 2009 lalu. Perjuangan Gus Dur masih membekas dalam ingatan kolektif kita sekarang ini, dan bahkan sudah menjadi arketipe yang suatu saat akan aktif kembali saat kita dihadapi isu-isu disintegrasi bangsa di masa mendatang. Arketipe tentang hidup damai, humanis, egaliter, dan nasionalisme, merupakan buah dari upaya Gus Dur yang sudah terinternalisasi ke diri kita masing-masing sekarang ini. Perjuangan Gus Dur belum berakhir, anak-anak intelektual Gus Dur semakin banyak, di masa depan kedamaian hidup akan terwujud segera. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top