
Azan subuh menggema dari sela-sela beton yang retak di Umm al-Fahm. Suaranya laksana jerit batu yang mengingatkan manusia bahwa tanah ini bukan ruang kosong, melainkan nadi yang terluka. Seorang anak duduk di jendela yang tak lagi berbentuk, menunjuk langit dan bertanya: “Apakah mereka tahu bahwa kita juga warga negara?” Sang ibu, yang tahu jawabannya terlalu menyakitkan, hanya tersenyum. Di tanah ini, pertanyaan adalah warisan, bukan permintaan jawaban.
Palestina bukan sekadar tempat. Ia adalah luka yang tertulis dengan tinta yang tidak ingin dibaca. Ia adalah gema dari proyek politik yang membungkus kolonialisme dalam jubah teologi dan nasionalisme. Proyek itu bernama Zionisme, sebuah ide yang syahdan lahir dari keputusasaan, tapi membangun dirinya di atas pengingkaran orang lain.
Negara Israel bukan sekadar hasil dari peristiwa sejarah. Ia adalah buah dari narasi yang terus diperbarui oleh kekuatan, dipelihara oleh senjata, dan dijaga oleh logika eksklusi. Narasi itu berkata bahwa tanah ini adalah “kosong”, bahwa mereka yang hidup di dalamnya hanyalah bayang-bayang, dan bahwa sejarah baru bisa dimulai setelah yang lama dimusnahkan.
Sejarah sebagai Mitologi yang Bersenjata
Zionisme modern lahir bukan di Yerusalem, tapi di jantung Eropa yang rasis. Di Warsawa yang penuh dengan pembantaian massal terhadap orang Yahudi (pogrom) dan di Wina yang berselimut kebencian, kaum Yahudi menemukan bahwa janji pencerahan Eropa tidak pernah ditujukan untuk mereka. Maka muncullah ide untuk membentuk negara sendiri, bukan demi emansipasi universal, tetapi demi menciptakan benteng etnis.
Theodor Herzl dan para pelopor Zionisme menjual proyek ini kepada kekuatan kolonial: tanah untuk Yahudi, stabilitas untuk Eropa. Sebuah simbiosis yang ironis, di mana korban kekerasan menjadi pelaksana bentuk kekerasan anyar. Palestina dibayangkan sebagai tanah kosong, padahal ia telah lama dihuni. Dipetakan sebagai lahan janji, padahal ia telah dijalani. Di sinilah mitos bertemu senjata, dan sejarah berubah menjadi dalih.
Negasi atas diaspora Yahudi menjadi fondasi Zionisme. Kehidupan Yahudi di dunia Arab, Persia, dan Eropa Timur dianggap sebagai bentuk kelemahan. Maka solusi yang ditawarkan bukan integrasi, melainkan pelarian besar-besaran ke “tanah leluhur”. Di sini, Zionisme menolak pluralitas dalam dirinya sendiri: tidak semua Yahudi diterima, hanya yang sesuai dengan proyek etno-nasional.
Lebih dari itu, proyek ini tidak hanya menolak diaspora, tapi juga menolak “tetangga”. Bangsa Palestina tidak pernah dimasukkan dalam rencana. Mereka adalah gangguan yang harus diusir, disingkirkan, dilenyapkan dari peta dan bahasa. Apa yang disebut “Nakba” tahun 1948 bukan kecelakaan sejarah, tetapi konsekuensi logis dari ideologi eksklusif: pengusiran massal, pembakaran desa, dan penghapusan nama-nama.
Zionisme kemudian mengadopsi wajah sekuler, namun hanya sebagai strategi. Negara Israel dibentuk atas nama rakyat, namun didefinisikan oleh agama. Hukum kembali memungkinkan Yahudi dari Brooklyn untuk menjadi warga dalam sehari, sementara pengungsi Palestina yang lahir di tanah itu dianggap penyusup. Inilah demokrasi dengan syarat darah: siapa yang berhak menjadi warga, siapa yang hanya berhak mengalah.
Israel hari ini mengklaim sebagai demokrasi. Namun apa artinya demokrasi jika satu kelompok memiliki seluruh hak dan yang liyan sekadar pelengkap statistik? Parlemen digunakan untuk meloloskan hukum yang menetapkan Israel sebagai negara eksklusif bagi orang Yahudi. Bahasa Arab didegradasi, sejarah Palestina dihapus dari buku sekolah, dan pengawasan digital dijadikan norma.
Keamanan sebagai Dalih Kekuasaan
Sejak 1948, narasi tentang “ancaman” digunakan untuk membenarkan penindasan. Tentara ditempatkan di sekolah, drone mengudara di atas rumah sakit, dan setiap bentuk kritik dianggap ancaman eksistensial. Dalam logika ini, perdamaian tidak pernah dimaksudkan sebagai tujuan, hanya sebagai jeda antara satu operasi militer ke operasi berikutnya.
Dalam jeda itu, anak-anak tumbuh dalam ketakutan. Mereka belajar membaca puisi di antara reruntuhan, menulis sejarah yang tidak pernah diajarkan di kelas. Mereka tahu bahwa hidup mereka telah ditulis tanpa suara mereka. Mereka sadar bahwa menjadi manusia berarti terus diingatkan bahwa eksistensi mereka dianggap salah.
Palestina bukan lagi hanya tempat geografis. Ia telah menjadi simbol bagi dunia yang kehilangan nurani. Simbol bahwa hukum bisa dijadikan alat represi, bahwa sejarah bisa diputar balik, bahwa keadilan bisa ditunda tanpa batas. Dunia, yang menyebut dirinya beradab, menonton dengan mata setengah tertutup.
Diplomasi internasional mengulang mantera: dua negara, dua solusi. Tapi kenyataannya, hanya satu negara yang terus memperluas wilayahnya. Senyum dipertontonkan di meja perundingan. Namun di lapangan, rumah-rumah Palestina diratakan. Dunia berbicara tentang “proses damai”, sementara tanah terus dijarah. Ini bukan diplomasi, tapi pengelolaan ilusi.
Israel bukan lagi proyek emansipasi. Ia adalah benteng supremasi. Seperti semua benteng, ia dibangun di atas fondasi ketakutan. Ketakutan akan yang liyan, ketakutan akan sejarah, ketakutan akan keadilan. Maka mereka membangun tembok, bukan hanya untuk memisahkan, tetapi untuk melupakan.
Walakin tanah ini menolak lupa. Ia mencatat setiap jejak yang terhapus, setiap nama yang diganti, setiap pohon zaitun yang dicabut. Ia mengingatkan kita bahwa sejarah tak bisa dimonopoli. Bahwa setiap proyek yang dibangun di atas penyangkalan, pada akhirnya akan retak.
Seorang anak menulis puisi tentang tanah di sebuah reruntuhan di Gaza. Ia tidak menyebut nama negara, tidak menyebut nama pemimpin. Ia hanya menulis: “Kami ada di sini.” Itu saja sudah cukup untuk membuat kekuasaan gemetar. Dalam dunia yang penuh propaganda dan pelurusan sejarah, mengingat adalah tindakan paling radikal. Palestina, dalam ingatannya, telah menjadi perlawanan itu sendiri.
Suara burung pagi kerap dibungkam oleh deru buldoser di Yerusalem Timur. Jalan-jalan yang dahulu dipenuhi aroma roti dan kayu manis kini dilapisi bayang-bayang permukiman baru yang dibangun dengan batu-batu bisu. Di balik tembok, keluarga Palestina menandai malam-malamnya dengan ketukan sepatu tentara di atap. Mereka tahu: tidak ada rumah yang aman di bawah negara yang menolak eksistensi mereka.
Bahkan langit pun ikut dikuasai. Dron-dron Israel terbang rendah, tak hanya sebagai pengintai, tapi sebagai simbol supremasi. Mereka mengontrol waktu, pergerakan, dan bahkan kematian. Mereka tidak hanya merekam, tapi juga menentukan kapan seorang bocah harus berhenti bermain, kapan sebuah keluarga harus kehilangan. Dalam logika Israel modern, teknologi adalah instrumen kekuasaan, bukan pembebasan.
Namun suara-suara dari Palestina jarang diberi panggung yang layak di forum-forum internasional. Mereka dianggap terlalu emosional, terlalu partisan, terlalu “tidak objektif”, seolah pengalaman penderitaan kolektif harus diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa netral baru bisa dianggap sah. Akan tetapi bahasa netral telah lama digunakan untuk menghapus jejak kolonial. Ia mengubah pembantaian menjadi “operasi militer”, pengusiran menjadi “relokasi”, dan penjara menjadi “pusat penahanan administratif”.
Di sinilah dunia berdiri di persimpangan moral: antara kenyamanan kebisuan atau keberanian untuk mengungkap kebenaran yang tidak menyenangkan. Mengkritik Israel masih dianggap tabu di banyak ruang intelektual dan media, bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena ketakutan akan stigma. Namun justru karena itulah kebenaran harus diucapkan. Diam bukan netralitas, ia adalah bentuk kolaborasi.
Sejarah bukanlah catatan tentang yang kuat, tapi tentang siapa yang berani menolak dikuburkan dalam versi resmi. Dalam konteks ini, Palestina bukan hanya wilayah yang diduduki, tetapi juga ingatan yang digugat. Setiap batu di Hebron, setiap lorong sempit di Jenin, adalah halaman dari buku sejarah yang coba dibakar. Namun seperti semua buku yang dibakar, kata-katanya tetap hidup di dalam hati manusia.
Tatkala kita membaca dunia melalui mata Palestina, kita melihat bahwa ini bukan hanya perihal mereka. Ini tentang struktur global yang memungkinkan penindasan, tentang standar ganda hak asasi manusia, dan tentang bagaimana sejarah ditulis ulang oleh mereka yang memiliki daya tembak, bukan daya ingat. Palestina mengingatkan dunia bahwa kemajuan tanpa keadilan adalah penipuan. Dan bahwa modernitas tanpa pengakuan atas yang tertindas hanyalah bentuk baru dari penjajahan.
Maka selama dunia terus menutup telinga terhadap narasi yang tidak sesuai dengan peta kekuasaan, selama lembaga-lembaga global lebih takut pada opini donor daripada penderitaan rakyat, selama itu pula tanah ini akan tetap menolak lupa. Palestina bukan sekadar tempat yang diduduki. Ia adalah hati nurani global yang terus berdetak, menolak mati, dan mengingatkan kita bahwa ada luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan pidato.
Distopia Zionisme Kontemporer
Zionisme hari ini bukan proyek perlindungan, tapi ekspansi. Apa yang disebut “wilayah Israel” bukan batas tetap, melainkan ambisi yang diperluas dari waktu ke waktu. Dimulai dari garis gencatan senjata, lalu merambat ke dataran tinggi Golan, lalu menjalar ke Lembah Yordan dan jalur pemukiman di Tepi Barat. Hal ihwal ini bukan pertahanan diri. Ini adalah kolonialisme dengan wajah digital.
Kita telah sampai pada titik di mana perlawanan bahkan tak lagi membutuhkan senjata. Fakta bahwa seorang penyair Palestina masih menulis, bahwa seorang ibu masih menanam pohon, bahwa seorang anak masih menggambar bendera di dinding, telah cukup untuk dianggap ancaman. Kekuasaan otoriter selalu gemetar di hadapan simbol-simbol kecil yang tak bisa dibungkam.
Di balik jargon tentang perdamaian, dunia Barat tetap menjadi pelindung utama sistem apartheid ini. Miliaran dolar bantuan militer mengalir dari Washington ke Tel Aviv, sementara suara-suara kritis disensor dan didiskreditkan di ruang publik. Kritik terhadap Israel dicap sebagai antisemitisme, bukan karena validitas argumen, tetapi karena keberanian untuk membuka luka yang selama ini ditutup plester moral palsu.
Narasi resmi selalu ingin membuat dunia percaya bahwa konflik ini rumit. Tapi sejatinya, ini bukan soal kompleksitas, melainkan keberanian menyebut nama pada penindasan: ini adalah kolonialisme, ini adalah apartheid, ini adalah supremasi. Selama istilah-istilah itu ditolak, maka diskusi apa pun hanyalah kosmetika untuk mengaburkan luka.
Yang menyedihkan bukan hanya penghancuran tanah, tetapi juga penghancuran bahasa. Bahasa Palestina direduksi menjadi dialek, sejarah mereka dianggap fiksi, dan memori mereka dipenjara bersama tubuh-tubuh yang memberanikan diri bercerita. Di kamp-kamp pengungsi, anak-anak belajar dua hal: mengeja nama desa yang telah hilang, dan menyembunyikan air mata ketika ditanya “dari mana kamu berasal?”
Akan tetapi yang tak diperhitungkan kekuasaan adalah ketahanan manusia. Palestina, dalam keterbatasannya, menciptakan kosmos perlawanan yang tak bisa dibeli atau dibom. Ia hidup dalam musik, dalam mural, dalam cerita lisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam setiap puisi Darwish, dalam setiap senyum anak yang bermain di antara puing, hidup sebuah dunia yang tak pernah sepenuhnya luluh lantak.
Mungkin, di sanalah letak kebenaran sejati: bahwa tanah tidak hanya milik mereka yang memiliki senjata, tapi juga milik mereka yang masih bersedia mengingat. Di tengah reruntuhan, suara itu tetap menyala: kami ada, kami tahu siapa kami, dan kami menolak dilupakan. Tidak karena kebencian, tapi karena hak untuk hidup sebagai manusia utuh.
Andai dunia benar-benar ingin mengakhiri konflik ini, maka ia harus lebih dulu belajar mendengar. Bukan pada mereka yang berseragam dan berdasi, tapi pada suara lirih dari balik tenda pengungsi, pada nada getir dari nisan-nisan tanpa nama, dan pada suara anak-anak yang masih percaya bahwa langit adalah milik semua orang, bukan hanya mereka yang memegang kunci negara.