Islam abad pertengahan mewarisi banyak ilmu pengetahuan dari zaman klasik atau bahkan dari zaman peradaban kuno Timur Tengah. Mereka mengembangkan ilmu pengetahuan ini melalui eksperimen dan riset yang mereka lakukan sendiri, utamanya dalam bidang kartografi, geografi, geometri, dan astronomi.
Bidang astronomi secara khusus membutuhkan perhitungan waktu dan ruang yang sangat rumit, tapi akurat. Namun, hal ini sepertinya berdampak kecil terhadap perhitungan dalam kegiatan sehari-hari, khususnya dalam menghitung waktu dan jarak yang membutuhkan metode yang lebih sederhana dan lebih mendasar.
Perhitungan linear pada dasarnya terdiri dari tiga kategori.
Pertama, skala kecil yang biasanya digunakan dalam perdagangan dan hal-hal praktis lainnya, digunakan untuk pakaian dan komoditas-komoditas sejenis, serta untuk menghitung bangunan. Standar ukurannya biasanya dinyatakan dengan istilah tubuh manusia, jari, genggam, jengkal, kubit atau elo, lengan bawah, depa (jarak dari satu ujung jari lainnya dari kedua lengan yang direntangkan).
Penggunaan perhitungan linear yang kedua, yang memerlukan unit yang agak besar, adalah untuk menentukan batasan tanah. Perhitungan seperti itu biasanya digunakan untuk mengukur tanah dan fiskal, juga untuk menentukan batas-batas tanah milik pribadi atau batas-batas tanah wakaf.
Untuk mengumpulkan pajak dan alokasi kewajiban, dibutuhkan perhitungan yang lebih akurat daripada perhitungan untuk perdagangan dan perjalanan.
Perhitungan yang digunakan sebelumnya sebagian besar berbasis pertanian, yaitu luas tanah yang bisa ditaburi sejumlah bibit, yang lainnya adalah luas tanah yang bisa dibajak pada periode waktu tertentu.
Perhitungan waktu yang digunakan untuk mengukur jarak menjadi bahan pembicaraan mengenai apa yang disebut sebagai jarak geografi.
Para ahli geografi dan kartografi memiliki sistem yang kebanyakan berasal dari zaman kuno, namun sistem ini juga terlalu tidak pasti untuk hal-hal yang praktis. Dalam catatan perjalanan, dalam pelbagai sejarah, dalam koresponden publik dan pribadi, jarak antara berbagai tempat sering diukur berdasarkan waktu, yang merupakan unit dasar dari perhitungan jam dan hari.
Akan tetapi, hari memiliki panjang yang berbeda, tergantung pada musim. Sementara, jam yang merupakan pembagian waktu yang dibuat manusia, memiliki pelbagai interpretasi. Dan jarak yang ditempuh dalam jam dan hari yang sudah dapat dipastikan dipengaruhi, atau bahkan ditentukan oleh daerah yang dilalui dan pelaku perjalanan itu sendiri.
Ukuran jarak perjalanan didasarkan pada kemampuan gerak manusia. Oleh karena itu, farsakh dalam bahasa Persia kuno, yang dalam bahasa Yunani disebut parasang, diartikan sebagai jarak yang dapat ditempuh seseorang dengan berjalan kaki dalam satu jam.
Sementara kata marhala dalam bahasa Arab (atau konak dalam bahasa Turki) adalah jarak yang dapat ditempuh seorang pengelana dalam satu hari.
Di provinsi-provinsi bekas Bizantium, kaum muslimin tetap mempertahankan standar perhitungan jarak mil yang dipakai oleh bangsa Roma, yang dalam bahasa Arab disebut mil. Dalam hal ihwal ini juga ada upaya membuat perbandingan di mana satu farsakh sama dengan tiga mil, sementara satu mil sama dengan seratus depa.
Kebiasaan mengukur jarak berdasarkan waktu dan gerak terus berlangsung hingga saat ini.
Tidaklah heran, ketika seorang warga desa ditanya berapa jauh jarak ke desa berikutnya dan menjawab “sebatang rokok”, yang artinya jika Anda menyalakan sebatang rokok sekarang, Anda akan sampai ke desa selanjutnya pada saat rokok itu habis dihisap.
Rambu-rambu jarak pertama dibuat umat muslim pada 86 H. (705 M.) dan didirikan oleh khalifah Abdul Malik di distrik Yerusalem. Dua rambu jarak tersebut menunjukkan arah ke Yerusalem, yang satu berjarak tujuh mil dari Yerusalem, dan satunya lagi berjarak delapan mil dari Yerusalem.
Sementara, dua rambu lainnya menunjukkan arah ke Damaskus, yang satu berada 107 mil dari Damaskus dan satunya lagi berada 109 mil dari Damaskus. Rambu-rambu itu merupakan peninggalan masa lalu, dan penggunaan mil dan rambu jarak secara umum kurang berpengaruh bagi umat muslim di Timur Tengah.
Kata “mil” tetap digunakan dan dimasukkan ke dalam kosa kata Arab. Dalam bahasa Arab kata mil berarti jarak sejauh mata memandang dengan jelas. Ini kurang lebih sama dengan 3000 kubit atau 4000 kubit. Dengan menggunakan standar kubit yang berbeda, mereka menyepakati bahwa jaraknya sama dengan 96.000 jari.
Masalah perhitungan waktu hingga era kontemporer masih menjadi masalah. Hari, bulan, dan tahun tentu saja sifatnya tetap.
Namun, bagi umat Islam dan Yahudi, hari berikutnya masuk ketika matahari terbenam.
Dalam Kejadian 1:5 disebutkan, “dan malam dan pagi adalah hari pertama”. Dalam perihal menghitung waktu yang kurang dari sehari atau lebih dari setahun, manusia cukup cerdas mendapatkan solusinya, yaitu dengan menggunakan jumlah jam dalam satu hari dan kalender untuk menghitung jumlah tahun. Pembagian waktu dalam satu hari bersifat konvensional, sehingga menimbulkan banyak sekali perbedaan.
Prinsip pembagian waktu dalam satu hari, yakni jam (dalam bahasa Arab disebut sa’a, dalam bahasa Aramaik disebut sha’ta, dalam bahasa Ibrani disebut sha’a) sudah dikenal sejak masa kuno.
Dalam kitab suci kaum Yahudi, kata itu muncul hanya lima kali dan semuanya ada dalam Bab Daniel. Demikian dikatakan, bahwa pasca penjajahan oleh bangsa Babilonia, yaitu ketika kaum Yahudi berada dalam pengaruh budaya Babilonia.
Dari lima kali kemunculan itu, empat (Bab 3:6; 15; 4:30; 5:5) merujuk pada peristiwa berbeda yang terjadi pada waktu yang sama. Sementara, hanya satu (Daniel 4:16) kali kata itu merujuk pada definisi satu unit waktu.
Dalam kitab Talmud, kata tersebut banyak digunakan sebagai jumlah pembagi waktu dalam satu hari atau satu malam, walau jumlah pembaginya dan berapa lamanya tidak selalu jelas.
Dalam Alquran, kata sa’a muncul tidak kurang dari 47 kali, 33 di antaranya merujuk pada “jam terakhir”, yang berarti satu waktu.
Waktu Turki-Arab
Masyarakat Arab telah lama menggunakan perhitungan bahwa satu hari dibagi menjadi 24 jam, walaupun tidak bisa dipastikan kapan tepatnya pengetahuan tersebut muncul. Ada dua macam pembagian jam.
Pembagian pertama sifatnya sementara yang bergantung pada musim. Pembagian kedua bersifat tetap dan sama.
Pada masyarakat yang letaknya relatif dekat dengan garis ekuator, perbedaan musim tidak begitu berpengaruh tinimbang dengan wilayah-wilayah di Eropa.
Pada masa rezim Utsmaniyah, sudah ada kesepakatan dalam hal perhitungan waktu, yaitu bahwa satu hari dibagi menjadi 24 jam.
Namun, sesuai tradisi, pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam. Ini berarti, bahwa jam harus selalu dicocokkan tiap hari. Oleh banyak musafir, pengaturan waktu ini disebut sebagai “waktu Turki” atau “waktu Arab”. Kedua sistem perhitungan waktu ini masih berlaku hingga sekarang. Akan tetapi, penggunaan jam dan jam tangan yang semakin banyak, lambat laun menghilangkan perbedaan perhitungan waktu ini.
Selain masalah pembagian waktu dalam satu hari pada saat fajar, siang atau senja, ada satu masalah pembagian waktu yang sangat penting bagi umat muslim, yaitu penentuan waktu sembahyang. Demikian pula, masalah penentuan arah sembahyang, yaitu Makkah. Masalah penentuan arah sembahyang ini menjadi sangat penting di negara-negara yang baru diislamkan, yang belum pernah memiliki kebiasaan sembahyang.
Sembahyang lima waktu menghadap ke Kakbah di kota Makkah merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sembahyang bersama dilakukan sekali dalam sepekan pada hari Jumat.
Dihari-hari lainnya, setiap muslim wajib sembahyang di manapun ia berada. Waktu sembahyang itu ditentukan dalam rentang waktu bukan dalam satu momen dan ditentukan berdasarkan pengamatan.
Kelima waktu sembahyang itu adalah 1: sembahyang sebelum fajar (subuh), 2: sembahyang siang hari (dzuhur), 3: sembahyang sore hari (‘ashar), 4: sembahyang setelah terbenam matahari (magrib), dan 5: sembahyang malam (atau ‘isya) selepas cahaya senja hilang dari pandangan.
Oleh karena itu, penentuan waktu sembahyang yang tepat sangatlah penting. Penentuan waktu sembahyang ini juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan wilayah dan musim. Para cendekiawan dan ilmuwan muslim sudah sejak lama berupaya keras untuk menentukan dan mentabulasi waktu dan arah sembahyang yang tepat. Di satu pihak, hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan. Di pihak lain, perihal ini dilaksanakan dengan membuat alat-alat dan tabel-tabel.
Selain sembahyang, ada kegiatan-kegiatan lain yang membutuhkan ketepatan waktu. Ini adalah sebuah masyarakat yang tidak memiliki parlemen, dewan, atau kotapraja, dan yang kegiatan bisnis umumnya membutuhkan semacam jadwal. Bentuk yang paling mirip dengan dewan, yakni Divan Khilafah Utsmaniyah, melakukan rapat empat hari dalam sepekan, yaitu pada Sabtu, Minggu, Senin, dan Selasa.
Mereka melaksanakan sidang dari pagi hari hingga petang, ketika para pemohon dan orang luar keluar. Pasca makan siang, anggota Divan kemudian melanjutkan agenda sidang yang tersisa.
Di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi, waktu belajar tentu saja disesuaikan dengan waktu sembahyang. Perjalanan kafilah dan individu ditentukan waktunya berdasarkan waktu sembahyang, utamanya tiga waktu dalam satu hari, yaitu waktu terbit matahari, siang hari, dan senja hari.
Salah satu figur penting di negara-negara di Timur Tengah kala itu adalah Munajjim, yakni seorang ahli astrologi dan astronomi. Sebagai seorang ahli astrologi, ia bertugas menentukan waktu-waktu astrologi. Ia harus memilih waktu yang baik untuk melakukan suatu kegiatan seperti pernikahan, serangan militer, perjalanan, dan semacamnya.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli astronomi, ia bertugas membuat catatan tabel-tabel astronomi dan jika perlu memperbaikinya, serta menentukan hubungan antara waktu astronomi dan waktu kegiatan.
Penggunaan beberapa alat untuk menghitung waktu bukanlah sesuatu yang baru di kawasan Timur Tengah. Masyarakat Yunani kuno menggunakan dua alat untuk menghitung waktu, yaitu jam matahari dan jam air.
Menurut sejarawan Herodotus, jam matahari diciptakan oleh masyarakat Babilonia, sementara jam air ditemukan oleh masyarakat Mesir. Jam matahari menunjukkan waktu berdasarkan perubahan panjang dan arah bayangan. Oleh karena itu, perhitungannya menjadi berbeda berdasarkan musim dan tempat.
Para ahli matematika Yunani mencari sejumlah cara untuk mengatasi kedua masalah ini. Jam matahari tentu saja tidak bisa digunakan ketika matahari terbenam atau matahari terbit, atau ketika matahari tidak terlihat, dan tentu saja tidak ada cara untuk mengatasinya.
Jam air, yakni tempat atau alat di mana air menetes dengan kecepatan yang sama, lebih baik tinimbang jam matahari, karena jam air bisa tetap digunakan ketika gelap atau malam.
Namun, jam air memiliki masalah perawatan. Dalam hal ini para ahli matematika Yunani juga berupaya keras dalam menciptakan otomat yang bisa menentukan waktu dengan air. Beberapa otomat bahkan memiliki bunyi musikal tertentu.
Para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan membuat sendiri inovasi alat tersebut. Beberapa hasil ciptaan ini bahkan dijual hingga ke Eropa lebih sebagai karya seni, bukan sebagai benda yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Jam mekanis
Jam mekanis merupakan produk Eropa dan pertama kali diperlihatkan pada awal abad XIV. Penyebaran jam-jam dari Eropa di Timur Tengah cukup lamban. Sultan Mehmed II dari kekhalifahan Utsmaniyah sepertinya tertarik dengan hal ihwal ini.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan Sulaiman Agung yang pada 1547 dihadiahi oleh raja Prancis sebuah “jam besar yang dibuat di Lyons, di mana terdapat air mancur di antara dua belas jam yang menarik air yang dialirkan ke sana, yang merupakan karya seni nan mahal.”
Pada abad XVI, jam dinding dan jam tangan dari Eropa banyak digunakan di Timur Tengah. Jam-jam itu biasanya digunakan di masjid-masjid untuk menentukan waktu sembahyang. Taqi al-Din, seorang pembuat observatorium di Istanbul, bahkan pernah menulis sebuah risalah mengenai jam-jam yang digerakkan oleh bandul dan pegas.
Pada pertengahan dan akhir abad XVII, ada sekelompok pembuat jam dinding dan jam tangan di Istanbul. Akan tetapi mereka adalah emigran dari Eropa, bukan penduduk asli. Pada akhir abad XVII, jam-jam buatan mereka tidak dapat bersaing lagi dengan jam-jam impor dari Eropa, di mana para produsennya membuat jam dinding dan jam tangan tersebut, khusus untuk pasar Timur Tengah.
Para produsen ini terus meningkatkan mutu jam pendulum dan jam yang digerakkan oleh pegas, sehingga jam-jam itu sulit untuk disaingi jam-jam buatan lokal. Dalam surat-suratnya, Voltaire menyebutkan beberapa pembuat jam tangan yang tinggal di rumahnya di Ferney. Dia membantu mereka mengekspor produk-produk mereka ke Turki.
Selama abad XVII dan XVIII, jam semakin sering dibuat, pertama, sebagai hadiah yang diberikan oleh kedutaan-kedutaan dan perusahaan-perusahaan Eropa untuk kalangan bangsawan dan tokoh-tokoh masyarakat di Timur Tengah; kedua, sebagai komoditas perdagangan.
Perawatan dan perbaikan barang-barang asing ini tentu saja menimbulkan masalah. Seringkali ketika jam tidak lagi dapat berfungsi karena satu hal atau lainnya, jam-jam itu sering diabaikan dan dibuang.
Maka muncul upaya untuk mengirimkan para ahli jam berikut jam-jam itu sebagai hadiah untuk menunjukkan penggunaannya, sekaligus cara untuk memperbaikinya bilamana jam-jam itu rusak atau tidak berfungsi. Sebagian dari mereka bahkan menetap di Turki dan beberapa menetap di Persia.
Dalam beberapa perjanjian perdagangan antara pemerintah Eropa dan pemerintah Timur Tengah, pihak Eropa berusaha mengirimkan para ahli jam dinding dan jam tangan berikut produk-produknya.
Pada abad XVIII atau sebelumnya, banyak jam dinding dan jam tangan yang dimiliki pribadi. Hal ini terlihat dalam daftar inventaris orang-orang yang sudah mati. Tabulasi daftar inventaris barang-barang yang dibuat di Barat menempatkan jam dinding dan jam tangan pada urutan pertama.
Jumlahnya hampir dua kali lipat tinimbang dengan pistol dan senapan yang berada pada urutan kedua. Teropong, teleskop, dan kacamata berada pada urutan selanjutnya, dan jumlahnya lebih sedikit.
Pada abad XIX, jam dinding dan jam tangan buatan Eropa banyak digunakan di kalangan pejabat pemerintah atau pribadi. Pembuatan jam untuk umum pada sebuah menara atau bangunan lainnya masih belum dikenal.
Ada beberapa jam untuk umum di provinsi-provinsi Balkan dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah, di mana sebagian besar penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Sebagian dari jam-jam untuk umum itu bahkan sudah ada sebelum penaklukkan oleh rezim Utsmaniyah. Namun, jam-jam ini bersifat lokal dan tidak menjadi tren di tempat lain.
Sebuah jam untuk umum yang didirikan di pasar Isfahan, yang dibangun oleh seseorang yang berasal dari Inggris atas perintah Syah Abbad (1587-1629) sepertinya tidak berusia lama. Baru pada pertengahan abad XIX, jam untuk umum didirikan di Istanbul–barangkali merupakan yang pertama di negara Islam–di atas tanah Istana Dolmabahce. Dan pada sekitar waktu yang sama, di tahun 1854, sebuah menara jam dibangun di sebuah benteng di Kairo, di mana pada menara itu dipasang sebuah jam hadiah dari raja Prancis Louis Philippe untuk penguasa Mesir Muhammad Ali Pasha.
Sebagaimana yang biasanya terjadi pada teknologi dan budaya yang berasal dari luar, dalam perihal perhitungan waktu. Masalah ini semakin buruk dengan adanya perubahan besar-besaran di dunia Islam.
Beberapa abad sebelumnya, Islam Timur Tengah memimpin dunia dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk alat-alat untuk menghitung waktu. Namun teknologi dan sains Timur Tengah telah berhenti berkembang, tepatnya pada saat ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa, khususnya Eropa Barat sedang berkembang.
Kesenjangan itu semakin melebar. Pada akhir abad XVIII, para pembuat jam tangan di Istanbul baru mampu membuat produk-produk jam dinding dan jam tangan yang sama jenisnya sebagaimana yang dibuat di Eropa pada awal abad XVII. Dalam hal ini dan dalam hal-hal lainnya, masyarakat Timur Tengah tidak bisa mengimbangi kemajuan Barat yang berjalan dengan sangat cepat.
Minggu, seperti halnya jam, tidak terkait dengan fenomena alam. Bagi umat Yahudi, Kristen, maupun Muslim, fenomena alam ditentukan oleh kitab suci, dan waktu istirahat ditentukan secara berbeda–Sabtu untuk umat Yahudi, Minggu untuk umat Kristen, dan Jum’at untuk Muslim.
Bahkan perhitungan bulan dan tahun masih menyisakan ruang untuk solusi secara hukum agama dan intelektual manusia. Para ahli astronomi sejak dulu sudah mengetahui perbedaan antara tahun bulan dan tahun matahari.
Mereka membuat pelbagai cara untuk menjembatani perbedaan tersebut, yang salah satunya dikenal sebagai tahun kabisat. Tidak seperti umat Yahudi atau umat Kristen, untuk kepentingan-kepentingan agama, umat Muslim membuat kalender tahun bulan.
Akibatnya, semua kegiatan agama Islam berputar sepanjang tahun matahari tiga kali dalam satu abad. Kalender ini diakui sejak awal berpindahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, yang kemudian masyhur sebagai tahun Hijriah.
Karena benar-benar didasarkan pada perputaran bulan, kalender Hijriah menimbulkan beberapa masalah praktis dalam administrasi publik, terutama ketika penarikan pajak sangat bergantung pada pertanian, yang dalam hal ini juga ditentukan oleh perputaran musim.
Oleh karena itu, di samping menggunakan kalender bulan, pemerintah Muslim juga menggunakan sejumlah kalender matahari yang digunakan untuk keperluan administrasi.
Beberapa kalender matahari itu berasal dari masa pra-Islam, seperti kalender yang digunakan pada masa penaklukkan di Mesir dan Iran. Kalender matahari lainnya berasal dari masa pasca-Islam.
Tahun fiskal atau maliye dalam rezim Utsmaniyah diadaptasi dai kalender matahari di era muslim, dengan menggunakan tanggalan muslim namun dengan bulan-bulan Kristen.
Sejak 1790 M., kalender itu digunakan hingga menjelang runtuhnya kekhalifahan itu. Kalender yang menggabungkan tahun muslim dengan bulan-bulan Persia masa lalu masih tetap digunakan di Iran hingga saat ini.
Namun demikian, tetap ada perbedaan yang tak dapat dihindari antara perhitungan bulan Islam ddanperhitungan tahun Islam yang diadaptasi berdasarkan kalender matahari.
Oleh karena itu, sebagai contoh, revolusi Turki Muda pada 1908 jatuh pada 1326 Hijriah dan 1324 tahun maliye. Sementara revolusi Iran pada 1979 jatuh pada 1399 Hijriah dan 1358 kalender matahari Iran.
Dengan kesulitan semacam itu, tidak mengherankan bahwa kalender Kristen, dalam versi Gregoria, saat ini digunakan oleh hampir semua lembaga publik dan dan pemerintah–baik oleh muslim dan Yahudi di Timur Tengah, dan oleh non-Kristen di manapun di jagat. Globalisasi era ini disimbolkan oleh penggantian Masehi dan Sebelum Masehi dengan Era Bersama (C.E.–Common Era) dan B.C.E. secara internasional.
“Masa” adalah kiasan yang ada dalam Alquran 45:23/24, yang berbunyi, “Mereka [orang-orang kafir] berkata ‘kehidupan kita tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. Lema “masa” dalam bahasa Arab adalah dahr, yakni salah satu kata kata dalam bahasa Arab yang yang berarti waktu.
Lema ini biasa digunakan untuk merujuk pada durasi waktu. Istilah dahriyaa, dari kata dahr, adalah istilah klasik yang digunakan oleh ahli agama Islam untuk materialisme dalam pelbagai bentuknya. Memang ada banyak buku-buku teologi dan filsafat yang membahas tentang sifat waktu. Namun pembahasan seperti itu kurang relevan pada saat ini.
Jam dan jadwal, kalender dan program adalah instrumen-instrumen yang dengannya modernitas dan konsep modernitas diperkenalkan.
Zaman Now, seluruh dunia, termasuk di Timur-Tengah, telah sepenuhnya menerima instrumen-instrumen tersebut; sehingga kini jam, jadwal, kalender, dan program tidak lagi dianggap berasal dari Barat.
Transformasi kehidupan berlangsung dengan begitu dahsyat berkat diperkenalkannya konsep satu hari 24 jam, dan dengan digunakannya alat-alat untuk memonitor dan bahkan untuk merencanakan berlalunya waktu.
Selain jadwal perjalanan, moda transportasi juga telah memungkinkan masyarakat Timur Tengah untuk membuat hal-hal seperti jadwal, agenda, program, jeda, reses, dan barangkali yang paling sulit, dalam membuat mereka agar mau memenuhi janji pertemuan.
Kata terakhir mengenai hal ini barangkali dapat dikutip dari Georges Duhamel, penulis terkenal asal Prancis yang berkeliling di Timur Tengah pada 1947:
Selama perjalanan saya di Timur, saya telah melakukan dan masih melakukan pelbagai upaya yang sungguh-sungguh untuk tiba terlambat pada sebuah janji pertemuan yang mereka bisa berikan kepadaku, yang waktunya telah dibahas dan disepakati bersama. Saya harus mengakui bahwa upaya-upaya yang baik ini tetap belum berhasil.
Orang-orang bijak dan berpengalaman … kadang berkata kepada saya: “Di sini langit terlalu biru, matahari terlalu panas. Kenapa terburu-buru? Kenapa harus menyiksa diri di tengah manisnya hidup? Di sini semua orang terlambat.
Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah bergabung dengan mereka. Ia yang datang tepat waktu berisiko membuang waktunya sendiri, dan itu tak lucu. Karena itu, tidak perlu tepat waktu.
Sikap terlalu tepat waktu kurang begitu menguntungkan, tetapi yang pasti sangat tidak mengenakan. Sikap seperti itu kurang luwes, kurang angan-angan, kurang gembira, dan bahkan kurang bermartabat.