Tjokroaminoto
Gerakan sosial-ekonomi SI terus berkembang, hingga naiknya H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) dari Surabaya sebagai pemimpin tertinggi SI tahun 1916. Pasca aktif di SI Surabaya sejak 1912, Tjokroaminoto dipercaya untuk merumuskan anggaran dasar baru SI menyusul sikap Pemerintah Belanda yang menunda memberi izin pada Agustus 1912, dan malah melihatnya sebagai sebuah ancaman bagi rust en orde. Dengan tampilnya Tjokroaminoto, gambaran tentang SI sebagai sebuah gerakan politik mulai muncul. Tjokroaminoto mengubah haluan SI dari penciptaan kemajuan bagi rakyat Hindia Belanda menjadi “perjuangan untuk pemerintah sendiri, atau setidaknya rakyat Indonesia diberi hak menyuarakan aspirasi mereka dalam pelbagai persoalan politik” (Noer, 1980: 104, 112).
Tak seperti ulama, Tjokro tidak memiliki pengalaman mempelajari kitab kuning di pondok pesantren. Dia juga tidak pernah ikut komunitas jawi di halaqah Makkah atau Kairo. Meski demikian, dia terlibat dalam pembentukan wacana keislaman di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Mungkin karena Tjokro tetap terlibat dan tetap dekat dengan jaringan ulama. Kiai Saifuddin Zuhri beberapa menyebut namanya dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, juga nama adik Tjokro.
Lahir pada 16 Agustus 1882 di Bakur, kota kecil di Madiun, Jawa Timur, Tjokro berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Silsilahnya bisa dilacak hingga ke Kasan Besari, seorang ulama terkemuka Jawa pada abad ke-18 dan pemimpin Tegalsari Ponorogo. Kakeknya, Mas Adipati Tjokronegoro, adalah Bupati Ponorogo, sementara ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, ialah seorang wedana (kepala pegawai distrik) di Madiun.
Seperti keluarga ningrat lainnya masa itu, Tjokro muda memperoleh pendidikan Barat. Dia lulus dari sekolah Belanda OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren; Sekolah Pelatihan bagi Pegawai Sipil Pribumi) di Magelang pada 1902, sebuah sekolah dengan masa belajar 7 tahun yang membuka jalan bagi kariernya sebagai seorang priyayi. Dus, di usia 20 tahun, Tjokro mulai bekerja sebagai seorang pangreh praja, juru tulis di kabupaten Ngawi selama tiga tahun.
Namun, pada 1905, dia meninggalkan pekerjaannya dan memulai karier barunya di pusat kota Surabaya, Jawa Timur. Di sini, dia bekerja di Perusahaan Coy & Coy sembari menyelesaikan sekolah insinyur di Sekolah Malam Sipil (Burgelijke Avondschool) dari 1907 sampai 1910. Tjokro kemudian bekerja sebagai insinyur di pabrik gula Rogjampi Surabaya.
Saat bekerja di pabrik itulah Tjokro diajak bergabung dengan Sarekat Islam. Dan, kenyataannya, dia membangun kariernya di organisasi ni. Pada Mei 1912, dia secara resmi menjadi anggota SI Surabaya, memandai debutnya sebagai politisi. Saat memimpin cabang SI Surabaya, Tjokro mengelola perusahaan komersialnya, Setiao Oesaha, yang menyokong kegiatan-kegiatan SI termasuk penerbitan Oetoesan Hindia pada Desember 1912. Karies politiknya kian berkembang saat dia dipercaya mengemban tugas penting mengonversi–berdasarkan kebijakan Pemerintah Belanda tahun 1913–cabang-cabang SI ke dalam SI lokal (Mulyana, 2008: 125).
Maka, dengan dukungan D.A. Rinkes yang bertindak sebagai Penasihat Urusan Pribumi, Tjokro–yang menurut Rinkes telah diberkahi naluri politik tajam yang bisa berguna di setiap keadaan (Shiraishi, 1990: 72)–memasuki arena politik. Dia tidak hanya berhasil dalam misinya mengonversi cabang-cabang SI menjadi SI lokal, tetapi juga membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin tertinggi organisasi. Walhasil, dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta pada 18 Februari 1914, Tjokro ditetapkan sebaagi Ketua Central Sarekat Islam (CSI) yang baru didirikan di Surakarta (Noer, 1980: 106; Shiraishi, 1997: 73).
Oleh karena itu, Tjokro menjadi kepala gerakan SI, mewujudkan hasratnya sebagai seorang “patriot Muslim”, yang mempersembahkan tenaganya untuk kepentingan Islam. Dia merepresentasikan kemunculan kepemimpinan baru yang dibutuhkan kalangan Muslim Hindia Belanda yang “dapat mengklaim berbicara untuk kepentingan Islam”. Lebih penting lagi, Tjokro bersawala untuk Islam dapat ditemukan dalam karya-karyanya. Dua buku pentingnya yang harus diberi perhatian adalah Islam dan Sosialisme (1924) dan Tarich Agama Islam, Riwajat dan Pemandangan atas Kehidupan dan Perdjalanan Nabi Muhammad S.A.W. (1950).
Arkian, melalui Tjokroaminoto, lukisan baru kepemimpinan Islam telah muncul di Hindia Belanda. Karier politik dan intelektualnya menabalkan kondisi di mana aktivis Muslim seperti dirinya bisa memiliki otoritas untuk berbicara Islam kepada pembaca Muslim. Fenomena ini harus diletakkan pada perkembangan reformisme Islam yang, dengan dukungan modernisasi Belanda, berperan dalam menemu-ciptakan ruang di mana Muslim seperti Tjokroaminoto bisa muncul sebagai seorang tokoh yang terlibat dalam mendefinisikan Islam bagi rakyat Indonesia.