Sedang Membaca
Lie Kim Hok: Tokoh Pers Tionghoa Peranakan
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Lie Kim Hok: Tokoh Pers Tionghoa Peranakan

Partisipasi etnis Tionghoa peranakan di jagat pers berbahasa Melayu dimulai pada 1869, ketika Lo Tun Tay menjadi editor untuk surat kabar dwimingguan, Mataharie. Media itu diterbitka oleh percetakan Bruining & Wijt di Batavia.

Hingga saat itu, minat orang Tionghoa di dunia jurnalistik baru sebatas menulis surat, serta menyumbangkan berita dan artikel pada editor surat kabar yang dikelola oleh orang Indo, atau bekerja sebagai penata huruf.

Namun, pertumbuhan dan perkembangan pers itu pada abad ke-19 kiranya tidak mungkin terjadi tanpa dukungan kaum Tionghoa peranakan yang merupakan kelompok pelanggan yang kuat. Sebagai media iklan, pers abad ke-19 sangat menarik bagi para pedagang dan pemilik toko Tionghoa, dan para penerbit yang bijaksana harus yakin bahwa koran mereka menyajikan informasi komersial dan perdagangan eceran yang diminati para pedagang Tionghoa.

Untuk orang Tionghoa yang menyecap pendidikan tertentu, misalnya melalui sekolah misi, sekolah swasta Tionghoa, atau kursus swasta, ragam Melayu rendah dengan tulisan Latin merupakan medium paling sederhana, paling cocok, dan merupakan bentuk komunikasi tertulis yang paling efektif di Hindia, kendati ada juga yang menguasai bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, dan Batak.

Periode malaise ekonomi menyusul krisis ekonomi 1884, dengan jatuhnya harga gula dan kopi di pasar dunia, mendorong beberapa pengusaha Tionghoa mencoba peruntungan mereka dalam bisnis percetakan. Bencana keuangan yang menghantam banyak pemilik perkebunan, tidak mengecualikan satu di antara perusahaan percetakan terbesar di Hindia, Gebroeders Gimberg & Co. Pada 6 April 1886, Bintang Timor, surat kabar berbahasa Melayu yang diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan ini, mengumumkan bahwa Gebroeders Gimberg & Co. mengalami kesulitan keuangan.

Perusahaan itu adalah satu di antara industri terbesar di Hindia Belanda, yang sudah berdiri selama sepuluh tahun, pada 1860 sudah memproduksi 39 karya cetak. Berita tentang sekaratnya perusahaan tersebut mengguncang banyak orang di Surabaya. Bahkan nasib Bintang Timor agar segera melunasi tunggakan utang mereka sebelum diambil langkah hukum. Gebroeders Gimberg & Co. pun akhirnya dijual pada Desember 1886.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (6): Mardin, Kota Tua yang Dinilai Tidak Islam

Pada hari penjualan, seorang Tionghoa Surabaya tampil sebagai penawar yang berhasil mendapatkan hak milik atas perusahaan itu dan, yang tidak kalah pentingnya, hak menerbitkan Bintang Timor, semuanya dengan harga 24.600 gulden. Tak banyak yang diketahui tentang sang pembeli, yang namanya Baba Tjoa Tjoan Lok, tetapi dia mampu membeli perusahaan milik orang Eropa itu dengan dukungan kerabatnya, Tjoa Sien Hie, seorang letnan Tionghoa di Surabaya yang mulai memegang jabatannya sejak 1869, dan Tjoa Tjoan King, yang bertindak sebagai penjamin.

Untuk komunitas Tionghoa, penjualan percetakan ini sangat penting secara simbolik. Hal ihwal ini menandai awal keikutsertaan etnis Tionghoa dalam penerbitan surat kabar, dan mengantar era baru perkembangan pers berbahasa Melayu. Kini orang Indo dan Eropa bukan lagi satu-satunya pemilik koran.

Di Buitenzorg (Bogor) pada akhir 1885, seorang Tionghoa peranakan yang liyan memperoleh hak milik sebuah perusahaan percetakan. Lie Kim Hok, ketika itu berusia sekitar 33 tahun, membeli percetakan itu dari janda mendiang D.J. van der Linden, seorang misionaris Protestan dan editor Bintang Djohar. Lie Kim Hok membeli percetakan itu seharga 1.000 gulden dan, berkat bantuan beberapa temannya, mampu memulai percetakan buku-buku untuk sekolah dan kebutuhan kantor.

Menurut Ahmat Adam dalam bukunya Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913 (2003), Lie Kim Hok (1852-1912) adalah seorang peranakan yang berpendidikan.

Baca juga:  Literasi Islam dengan Puisi di SD Al-Islam Solo

Dilahirkan pada sekitar 1852, dia mulai bersekolah pada usia sepuluh tahun di sekolah (misi) Albers di Cianjur. Kemudian, antara 1866 dan 1869, dia mengikuti sekolah swasta Tionghoa, sebelum masuk ke sekolah misi di Buitenzorg, yang dibuka pada 1869 oleh misionaris S. Coolsma. Pada 1873, ketika Coolsma pindah ke Semarang, sekolah itu diambil alih oleh misionaris D.J. van der Linden, yang bersahabat dengan Lie Kim Hok. Lie, pada gilirannya, membuktikan diri sebagai siswa dan teman yang paling setia.

Di sekolah, Lie Kim Hok berkesempatan menerima pelajaran, baik dalam bahasa Sunda maupun Melayu. Kedekatannya dengan Van der Linden, pemilik sebuah percetakan yang menerbitkan De Opwekker dan Bintang Djohar, tidak hanya mendorong dia masuk agama Kristen, tetapi juga mengenalkannya pada seni dan keterampilan cetak-mencetak. Bahkan ketika mentornya masih hidup, beberapa karyanya diterbitkan dan dicetak di percetakan misionaris milik Van der Linden.

Di bawah bimbingan Van der Linden, Lie Kim Hok juga menjadi menjadi guru bantu di sekolah zending di Buitenzorg, dan pada waktu yang sama memimpin sekolah miliknya sendiri, di dekat rumahnya, untuk anak-anak Tionghoa setempat.

Namun, minatnya yang tumbuh dalam usaha percetakan menyebabkan Lie Kim Hok meninggalkan profesi guru, segera setelah dia mengambil alih percetakan Van der Linden. Tawaran dari W. Meulenhoff, editor Pemberita Betawi, yang mengundangnya membeli saham penerbitan itu, mendorong Lie pindah ke Batavia bersama percetakannya, yang kini bernama Drukkerrij Lie Kim Hok & Co.

Pada 1 September 1886, menyusul beberapa perubahan kepemimpinan dan kepemilikan, Pemberita Betawi lantas dicetak di Lie Kim Hok & Co. Akan tetapi, nampaknya, Lie tidak lama memiliki percetakan itu. Menjelang akhir 1887 perusahaan itu bubar dan percetakannya dijual kepada perusahaan milik orang Eropa, Albrecht & Co., yang meneruskan penerbitan Pemberita Betawi.

Baca juga:  Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)

Dalam kenyataannya, sejak awal Juni 1887, Lie Kim Hok dan Meulenhoff mengalihkan saham mereka di surat kabar itu ke Karseboom & Co. menerbitkan sebuah koran. Pada 2 Januari 1888, meluncurlah Chabar Hindia Olanda dari percetakan Karseboom & Co. dengan J.J. Gouijn sebagai editor. Menyusul penjualan percetakannya, kiprah Lie Kim Hok dalam profesi persuratkabaran tampaknya surut hingga Januari 1898, ketika dia bangkit kembali, tetapi kini sebagai koresponden mingguan Pengadilan, yang diterbitkan dan dicetak oleh De Vries & Fabritius, Bandung, dan dipimpin oleh G. Francis.

Namun, menurut Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010), sumbangsih Lie Kim Hok yang terbesar bagi komunitas Tionghoa di Hindia adalah dalam memperkenalkan gagasan organisasi pan-Tionghoa di Hindia Belanda, yang berpuncak pada kelahiran Tiong Hoa Hwee Koan pada 1900. Dia juga seorang penulis yang masyhur.

Menulis dalam bahasa Melayu rendah, Lie Kim Hok selama bertahun-tahun menulis, menerjemahkan, dan menjadi pengarang-mitra tidak kurang dari 25 buku. Macam-macam yang dia tulis, dari puisi naratif (syair), novelet, dan cerita-cerita terjemahan dari bahasa Tionghoa dan Eropa klasik populer. Karyanya dalam studi linguistik, misalnya karyanya tentang tata bahasa Melayu Betawi dan sebuah karya sintaksis mengenai kata-kata Melayu, yang diberinya judul Kitab Darihal Perkataan-perkataan Melajoe.

Boleh jadi, sebagai penulis sastra Melayu rendah, Lie Kim Hok paling laik dikenang untuk karya-karyanya yang meninggalkan kesan yang tak pernah terhapus dalam perkembangan bahasa dan sastra Indonesia modern.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top