Rivai Marlaut lahir di Minangkabau pada 1912. Pasca menyelesaikan pendidikan dasar dan teknisnya di Sumatra Barat, dia merantau ke Jakarta untuk meneruskan ke jenjang pendidikan lanjutan, tetapi dia tidak berhasil lulus.
Titimangsa 1934, dia bekerja untuk pelbagai surat kabar dan majalah. Karya sastranya tidak banyak dikenal dan belum termasuk karya sastra utama. Selain novel Dokter Haslinda, Rivai juga menerbitkan sejumlah karya fiksi lainnya.
Secara singkat, narasi novel Dokter Haslinda (Jakarta: Gapura, 1950) adalah sebagai berikut. Haslinda diserang di jalanan Jakarta oleh seorang Gurkha, yaitu prajurit India dalam Angkatan Darat Inggris. Seorang pemuda (pejuang kemerdekaan yang revolusioner), Johan, yang masyhur sebagai seorang mahasiswa hukum, muncul menyelamatkannya. Haslinda memperkenalkan dirinya sebagai Empok Linah dan menawarkan pelayanannya sebagai babu di markas para pemuda.
Mulai keesokan harinya, ia bekerja sebagai babu saat pagi hari dan sebagai dokter di sebuah rumah sakit pada sore harinya. Johan mencurigai Empok Linah memiliki identitas samaran dan mengungkapkan kecurigaannya itu kepada Empok Linah. Karena sakit hati, ia meninggalkan para pemuda dan tak pernah kembali lagi.
Ketika beberapa waktu kemudian, Haslinda dipindahkan ke Yogyakarta, secara kebetulan ia bertemu dengan Johan dan para pemuda yang hidup dalam keadaan yang menyedihkan, sementara tunangannya, dr. Maslan, hidup penuh kemewahan. Haslinda memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dan menyatakan cintanya kepada Johan.
Tatkala Haslinda diperkenalkan oleh sang narator, ia dilukiskan sedemikian rupa sehingga tidaklah mungkin bagi pembaca untuk tidak menyukainya:
Munculnya seorang wanita satria … gadis cantik muda remaja terpelajar pula … Pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengat kodrat dan kecakapannya (DH: 6). Gadis Juwita … gadis yang tercantik di kota Jakarta … seorang dokter wanita yang peramah (DH: 16). Haslinda terkenal gadis dokter yang cantik, ramah tamah dan populer dalam pergaulan (DH: 112).
Bukan hanya kecantikan dan sifat ramah tamah yang menjadi karakternya. Satu aspek penting adalah bahwa ia menawarkan jasanya untuk revolusi. Terlebih lagi, Haslinda benar-benar memafhumi politik dan merupakan tokoh terkemuka dalam organisasi perempuan Istri Sedar (DH: 16, 64). Bukan Cuma narator yang memandangnya secara positif, melainkan juga tokoh-tokoh lain. Di mata Johan, Haslinda adalah seorang bidadari yang secara kebetulan hidup di antara manusia biasa.
Haslinda menetap bersama ibunya dan ia sangat berarti bagi ibunya. Mereka memiliki hubungan yang harmonis, penuh saling pengertian. Sang ibu sepenuhnya mendukung anak perempuannya dan mengizinkan ia menjadi seorang perempuan dewasa yang mandiri. Haslinda senantiasa bebas membuat keputusan sendiri –juga dalam memilih pasangan. Hal ihwal ini semakin mencolok karena Rivai Marlaut mencuaikan citra tradisional sastra Minangkabau, di mana ibu merupakan representasi yang memegang kuasa untuk menentukan aturan dan norma.
Terlepas dari kemandiriannya, Haslinda merupakan produk kesadaran kolektif lingkungan pergaulannya. Sebagai seorang anak tunggal, ia beranggapan bahwa kewajiban pokoknya adalah melayani rakyat dan negaranya karena ia tidak memiliki saudara laki-laki, sementara ayahnya sudah meninggal dunia. Haslinda menganggap tugas (perempuan) merawat orang tidaklah sepenting pertempuran yang dilakukan oleh kaum pria. Para pemuda adalah “kekuatan penggerak perjuangan” (DH: 63), dan kepentingan mereka harus didahulukan.
Tidak ada ruang bagi emosi jika sudah berwicara tentang perjuangan untuk rakyat dan bangsa, tak ada ruang untuk cinta, kekhawatiran, ketakutan, dan kepiluan. Emosi dicap sebagai khas perempuan dalam Dokter Haslinda. Revolusi menuntut ketegaran dan keberanian. Cinta antara lelaki dan perempuan merupakan “racun bagi revolusi” menurut takrif Johan (DH: 91).
Kaum laki-laki disibukkan oleh persoalan-persoalan penting yang serius dan perhatian mereka tidak boleh diganggu oleh perempuan. Haslinda senyatanya telah menginternalisasi pandangan mengenai misi yang lebih tinggi untuk lelaki dan ketidakberartiannya sebagai seorang perempuan. Ia bahkan tidak begitu menghargai profesinya sebagai seorang dokter. Ia melangkah nun jauh lagi ketika ia secara sukarela dan wajar menerima posisi rendah sebagai seorang babu bagi para pemuda.
Perempuan yang sadar politik dan berpendidikan tinggi ini menurunkan harga dirinya menjadi seorang babu dengan tujuan membantu para pemuda dalam melaksanakan apa yang disebut dengan tugas yang lebih tinggi itu. Dengan kedok patriotisme, ia membantar kecerdasan dan posisinya sebagai seorang dokter, serta menyembunyikan identitasnya nan sejati di balik peran seorang bawahan.
Haslinda mewujudkan sikap pengabdian perempuan ke titik ekstrem dan pada saat yang sama menekan emosi keperempuannya. Demi kesetiaan pada rakyat dan negara, ia menjaga jarak dari Johan. Tidak ada yang lebih melukai hatinya tinimbang dengan pertanyaan Johan tentang patriotisme dirinya. Hasilnya baru terlihat di akhir buku ini bahwa, “cinta diproklamirkan oleh kedua belah pihak, yang berjanji akan hidup manis seumur hidup, di samping berjuang semangkin keras untuk bangsa dan negara” (DH: 126).
Dalam Dokter Haslinda, kita laksana melihat etika pernikahan dalam novel Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Balai Pustaka, 1978 [1937]), dengan gagasan cinta monogami dan kesetiaan abadi. Haslinda menyerupai tokoh Tuti; ia pandai, berpendidikan tinggi, dan sadar politik. Meskipun demikian, revolusi telah benar-benar mencuci otaknya dan merusak harga dirinya sebagai seorang perempuan profesional. Dalam perjuangan kemerdekaan, merawat dan menjaga kehidupan tidaklah sepenting bertempur dan membunuh. Haslinda menganggap profesinya sebagai dokter hanya sekadar sebuah tugas perawatan yang sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan (DH: 6).
Dalam perspektif Haslinda, pekerjaan seorang babu berada dalam jalur keperawatan yang sama. Persis seperti Tuti yang menyongsong masa depan Indonesia di sisi Yusuf, begitu pula Haslinda. Ia ditamsilkan akan berbagi rasa cinta dan kesetiaan terhadapa negara bersama Johan. Perihal ini menjadi sebuah akhir romantis, yang dibuat dengan latar belakang revolusi dan pertempuran gerilya.
Dokter Haslinda menadaburkan sebuah ideologi laki-laki yang menghancurkan harga diri perempuan. Lebih destruktif lagi, karena corong ideologi ini adalah seorang perempuan yang memiliki segala kemampuan untuk melakukan sesuatu, selain dari melaksanakan peran perempuan tradisional.
Dalam novel ini, patriotisme dan cinta romantis memiliki tujuan yang sama dengan monopoli politik dan militer oleh kaum pria: penerapan identitas laki-laki untuk menjaga agar perempuan tetap berada dalam posisi tunduk!