Sedang Membaca
Asal-usul Salib
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Asal-usul Salib

Ketika Paus Urbanus II menyerukan perang Salib pada 1095 Masehi untuk merebut kota suci Yerusalem dari kaum muslim, mungkin sama sekali tidak terbayangkan betapa rangkaian peristiwa tragis itu akan menorehkan luka yang begitu perih dan pengaruh yang begitu luas.

Kaum Kristen Eropa mula-mula memang kurang begitu mengenal kaum muslim. Akan tetapi di akhir perang Salib, masing-masing pihak–Islam, Kristen, dan juga Yahudi yang kemudian ikut terlibat dalam konflik itu–mengembangkan perasaan benci dan anggapan bahwa kelompok lain adalah sosok jahat, iblis, musuh Tuhan, yang patut dilaknat dan dimakzulkan.

Simbol salib

Tak diragukan lagi bahwa bagi kaum muslim, simbol salib melambangkan agama Kristen. Dalam pandangan kaum muslim secara umum, Kristen jelas identik dengan salib. Seorang raja Kristen di dalam salah satu cerita rakyat diberi nama panggilan ‘Abdus Shalib (budak salib), sebuah nama dengan mengambil model nama-nama kaum muslim yang banyak menggunakan nama ‘Abd (hamba) yang digabungkan dengan salah satu dari 99 nama indah Allah Swt (seperti ‘Abdul Wahhab). Namun, dalam konteks Kristen, nama itu memiliki arti yang merendahkan.

Sementara kaum muslim telah lama terbiasa dengan keberadaan kaum Kristen Timur di Timur Tengah, kedatangan kaum Frank memberikan pengalaman baru, karena salib memainkan peranan yang jauh lebih penting tinimbang sebelumnya. 

Yang jelas, ada perbedaan yang tegas antara salib sebagai simbol agama Kristen Timur asli yang merupakan minoritas yang tak terganggu di bawah kekuasaan mayoritas muslim dan salib sebagai simbol penaklukan dan pendudukan penyerbu bangsa asing, kaum Frank.

Sementara sumber-sumber muslim tidak menyebutkan bahwa prajurit-prajurit kaum Frank mengenakan salib sebagai bagian dari pakaian militer mereka, dari pelbagai referensi tampak jelas bahwa simbol salib menjadi lebih terlihat setelah kedatangan Tentara Salib.

Bila sebuah kota telah direbut oleh kaum Frank, maka kota itu sering kali mengalami Kristenisasi dengan diubahnya bangunan-bangunan muslim menjadi bangunan Kristen dan dengan pembangunan gereja-gereja baru. Ibnu al-Qalanisi mengatakan bahwa setelah kaum Frank menaklukkan Ma’arrat al-Nu’man pada 492 H./1099 M. “mereka memancangkan salib-salib di seluruh kota itu”.

Menurut sejarawan Carole Hillenbrand dalam karyanya The Crusade: Islamic Perspectives (1999), kaum muslim merayakan kemenangan mereka dengan mengambil alih pusat emosi musuh mereka. Contoh khusus mengenai itu terjadi setelah kemenangan Mawdud dan Tughtein atas kaum Frank pada 506 H./1113 M. Di dekat jembatan al-Sannabra, ketika kaum muslim secara gemilang berhasil merebut gereja tenda kaum Frank. 

Kedua kubu merasakan desakan yang sangat besar untuk menghancurkan simbol-simbol agama lawannya. Menghancurkan salib merupakan aksi simbolis untuk menunjukkan kekalahan Kristen dan kemenangan Islam.

Salahuddin al-Ayyubi (Salahudin) dipuji oleh Ibnu Jubayr dalam ode kemenangan dalam karyanya, karena telah menghancurkan “salib mereka dengan kekuatan militernya” di Hattin. 

Ibnu Abi Thayyi’ menceritakan tentang salib sebagai rampasan perang, yang berupa sepotong kayu berlapis emas dan dihiasi dengan batu-batu mulia, yang menurut mereka telah menjadi tempat penyaliban Tuhan mereka. Salib berlapis emas yang ada di Kubah Batu tidak diturunkan dengan perlahan. Ibnu Syaddad mendedahkan bahwa salib itu dilemparkan ke tanah meski ukurannya sangat besar.

Pasca merebut Yerusalem, Saladin mengirimkan lambang-lambang kemenangan besarnya kepada khalifah di Baghdad. Lambang kemenangannya yang paling berharga adalah salib yang dipasang di puncak Kubah Batu di Yerusalem: “Salib yang terbuat dari tembaga dan dilapis dengan emas itu dikubur di bawah gerbang Nubian [di Baghdad] dan selanjutnya diinjak-injak.” (Baadj, 2015).

Simbol-simbol yang bertentangan

Ibnu al-Jawzi (w. 597 H./1200 M.) dan cucunya memanfaatkan suasana yang sangat emosional dalam pengepungan Damaskus oleh kaum Frank pada 543 H./1148 M. Sebagai peluang untuk memasukkan nilai-nilai propaganda. Di sini Salib dan Alquran digunakan sebagai simbol nyata agama yang saling bertentangan.

Kedua sumber ini menyoroti bagaimana simbol agama Islam yang paling berpengaruh, Alquran, bisa mempertahankan moral dan membangun keimanan dalam situasi yang sulit. Hal ihwal ini pasti berhasil. Pada saat mengepung Damaskus, Alquran ‘Utsmani Suriah–objek paling penting, dan peninggalan yang sangat berharga–digunakan sebagai kekuatan penggerak di masjid Agung. Sebagaimana ditulis oleh Ibnu al-Jawzi, “Orang-orang berkumpul di dalam masjid itu, laki-laki, perempuan, dan pemuda-pemuda, dan mereka membuka Alquran ‘Utsmani. Mereka menaburkan abu di kepala mereka dan meraung dan merendahkan diri mereka sendiri. Allah menjawab mereka.”

Baca juga:  Islamic Book Fair Minus Literasi Sejarah Penerbit Keislaman?
[Secara kebetulan, Ibnu al-Dawadari mengisahkan bahwa ketika kaum Frank merebut Ma’arrat al-Nu’man pada 492 H./1098 M., kaum muslim membawa Alquran ‘Utsmani sebagai pelindung ke Damaskus]. Kedua penulis sejarah itu juga menyisipkan kisah berikut ini segera setelahnya:

Bersama kaum Frank, ikut serta seorang pendeta jangkung dengan janggut panjang yang memandu mereka … Pendeta itu menunggang keledainya dan menggantungkan sebuah salib di lehernya dan memegang dua salib di ketua tangannya. Dia juga menggantungkan sebuah salib di leher keledainya. Di depannya, dia memasang Injil dan salib-salib [lagi] [dan Kitab Suci].

Pendeta itu kemudian berkata [kepada prajurit tersebut], “Al-Masih telah berjanji kepada saya, bahwa saya akan menang hari ini.”

Bisa diperkirakan, tokoh ini, benar-benar kerepotan dengan salib, dan keledainya (yang juga menggunakan salib) sangat kesulitan. Ibnu al-Jawzi menulis, “Ketika kaum muslim melihatnya, mereka mempertontonkan semangat keislaman dan mereka semua menyerang pendeta itu dan membunuhnya beserta dengan keledainya. Mereka mengambil salib-salib itu dan membakarnya.”

Pesan dalam kisah itu cukup jelas dan kedua anekdot ini digunakan dengan cukup hati-hati.

Pada kesempatan lain, digunakan pertentangan antara salib dan menara. Penyair Ayyubiyah, Ibni al-Nabih, menulis perihal al-‘Adil sebagai berikut: “Lewat perantara dia Allah telah menghancurkan salib dan para pengikutnya. Lewat perantara dia menara komunitas muslim telah diangkat.”

Simbol nestapa

Sebagai simbol yang jelas dan utama bagi umat Kristen, salib bagi kaum muslim justru membawa kemalangan. Kaum muslim yang berperang di bawah salib dipastikan akan menemui kekalahan. Para sejarawan menyusun cerita hebat tentang hal ini dalam pertempuran Gaza pada 642 H./1244 M., ketika pasukan Muslim dari Damaskus dan Hims bertempur di bawah bendera kaum Frank melawan kaum Khawarazmi dan pasukan Mesir. Seluruh peristiwa ini dengan memilukan dicatat oleh Ibnu al-Jawzi:

Salib-salib di atas kepala dan para pendeta di batalion itu membuat tanda salib pada kaum muslim dan memberikan sakramen kepada mereka. Di tangan mereka terdapat piala dan bejana-bejana minum yang mereka gunakan untuk memberi minum prajurit muslim itu… Sementara itu, Penguasa Hims … dia mulai menangis, sambil berkata “Saya tahu, ketika kami berangkat dengan menjunjung salib-salib kaum Frank, bahwa kami tidak akan berhasil.”

Pada periode Mamluk, serangan laut yang dilakukan Baybars ke Siprus pada 670 H./1271 M., yang berakhir dengan kekalahan Baybars, dilihat oleh para sejarawan sebagai hukuman Tuhan bagi kaum Muslim yang memilih memasang salib di bendera kapal-kapal mereka.

Lewat penggambaran tentang Raja Yerusalem, al-Qadhi al-Fadhil menunjukkan peranan salib yang sangat penting, baik bagi Raja tersebut maupun para pengikutnya:

Raja mereka ditahan. Di tangannya, dia membawa sebuah benda yang menjadi simbol kepercayaan, benda yang memberinya ikatan sangat kuat dengan agamanya, yaitu, palang penyaliban, yang digunakan untuk memimpin orang-orang keras kepala untuk bertempur.

Al-Qadhi al-Fadhil melanjutkan, “Mereka tidak pernah maju menerjang bahaya tanpa membawa salib di tengah-tengah mereka. Mereka akan mengitarinya seperti laron-laron yang mengelilingi cahaya”.

Namun, patut dicatat bahwa di dalam retorika kaum muslim ini, yang dijadikan pesaing salib Kristen adalah Alquran atau menara. Bukan bulan sabit, seperti yang terjadi kemudian. Meskipun pada awal abad kesebelas, ketika katedral Armenia Ani di timur Anatolia diubah menjadi sebuah masjid, salib di puncak kubahnya diturunkan dan diganti dengan bulan sabit perak.

Sastrawan Amin Maalouf, dalam kitab non-fiksinya The Crusades through Arab Eyes (1983), menjelaskan bahwa sumber-sumber Islam sering kali menyebutkan gambar-gambar dan patung-patung Kristen yang digunakan dalam ibadah mereka. Para penulis muslim umumnya memusuhi gambar-gambar itu. Mereka melukiskan perbedaan antara bagian-bagian dasar masjid dengan apa yang ditemukan di dalam gereja.

Ibnu al-Nabih menceritakan tentang pangeran Ayyubiyah, al-Asyraf:

Anda telah membersihkan mihrab dan mimbar nan agung [di Damietta] dari kotoran mereka setelah kaki [mimbar] itu bergetar.

Dan Anda telah mulai menghancurkan patung al-Masih di atasnya sekalipun orang-orang menciuminya seakan-akan patung itu adalah seorang dewa.

Dalam sebuah kisah populer, Sirat al-Amirah Dzat al-Himmah, seorang pahlawan muslim memasuki sebuah gereja yang di dalamnya terdapat sebuah gambar gereja yang di dalamnya terdapat sebuah gambar yang meneteskan air mata ke kitab Injil.

Al-‘Umari mengisahkan bahwa kekuatan gambar-gambar Kristen itu adalah untuk menggerakkan dan memengaruhi. Dia menyebutkan bahwa pada 585 H./1189 M. kaum Frank di Tirus telah meminta tambahan kekuatan ke Eropa, “Mereka telah membuat sebuah lukisan al-Masih dan seorang Arab yang tengah memukuli al-Masih hingga membuatnya berdarah. Mereka mengatakan: ‘Ini nabi orang-orang Arab yang tengah memukuli al-Masih’.”

Baca juga:  Sesekali, Mari Membincangkan Ayam yang Kita Makan

Al-‘Umari tidak menyebutkan apakah gambar ini dikirimkan sebagai bagian dari pesan ke Eropa untuk mengumpulkan dukungan atau apakah gambar itu untuk konsumsi masyarakat setempat. Mungkin sama meragukannya dengan kisah ini, gambar itu menunjukkan pandangan kaum muslim terhadap kekuatan jahat gambar-gambar visual dan kebodohan umat Kristen yang memercayai kekuatannya.

Pada 665 H./1266-1267 M., Baybars datang ke benteng Safad untuk sembahyang di sebuah menara. Seperti dikisahkan Ibn al-Furat, di sana Baybars melihat sebuah boneka besar yang menurut kaum Frank dapat melindungi benteng itu. Mereka menyebutnya Abu Jurj (ayah George), ”Dia memerintahkan agar patung itu dihancurkan dan tempat itu dibersihkan darinya, dan tempatnya diubah menjadi sebuah mihrab.”

Yang Diketahui Kaum Muslim

Sekalipun meyakini bahwa agama mereka merupakan agama yang benar, kaum muslim pada masa perang Salib cukup mengenal ajaran Kristen dan gereja. Ibnu al-Atsir menyebut pusat-pusat agama yang berbeda dalam pandangan kaum Kristen Timur. Ketika mengisahkan tentang penaklukan Edessa, dia menulis:

Edessa ini adalah salah satu kota yang paling mulia dan dikagumi oleh umat Kristen. Kota ini adalah salah satu kota pusat pendeta bagi mereka: karena yang paling mulia bagi mereka adalah Yerusalem, lalu Antiokhia, Roma, Konstantinopel, dan Edessa.

Al-Harawi tahu bahwa Bethlehem adalah tempat kelahiran Yesus. Ibnu Washil dalam laporannya tentang kunjungannya sebagai utusan Baybars untuk Manfred dari Sisilia pada Ramadan 659 H./1261 M. menunjukkan rasa ketertarikan yang besar dalam soal Kepausan dan mencoba mendedahkannya kepada pembaca muslim:

Paus di Roma bagi mereka (kaum Frank) merupakan wakil dari Kristus, menempati kedudukan Kristus. Dia berhak menyatakan tentang sesuatu hal yang dilarang dan yang diperbolehkan, mencabut dan memisahkan (yaitu kekuasaan untuk mengucilkan seseorang). 

Dialah yang memasangkan mahkota di kepala seorang raja, dan dia juga yang menunjuk para raja itu. Hukum-hukum ditetapkan hanya dengan keputusan Paus. Dia menjalani hidup selibat dan ketika dia meninggal, seseorang akan menggantikan kedudukannya yang kelak juga akan menjalani hidup selibat.

Dalam karyanya yang kurang terkenal, Kitabul Asha (Buku tentang Tongkat), yang oleh Irwin dilukiskan sebagai sebuah “antologi rhabdophilist”, Usamah memuji kesalehan para pendeta Kristen dalam bab ihwal St. Yohanes; Usamah melihatnya berdoa di gereja dekat makam Yohanes Pembaptis di Sebastea di Provinsi Nablus:

Setelah membaca doa, saya keluar ke alun-alun yang salah satu sisinya dikelilingi oleh wilayah suci. Saya menemukan sebuah gerbang yang setengah tertutup. Saya membukanya dan kemudian masuk ke sebuah gereja. Di dalam ada sekitar sepuluh lelaki kamitua. Kepala mereka yang gundul seputih katun yang sudah dibersihkan. Mereka menghadap ke timur dan di bagian dada mereka mengenakan lembar papan yang diikat dengan ban besi yang ujungnya ada kayu salib bergulung seperti bagian belakang pelana. Mereka mengambil sumpah dengan tanda salib ini, dan bersikap ramah kepada orang yang membutuhkannya. Kesalehan mereka menyentuh hati saya. Namun pada saat yang sama, saya menjadi kecewa dan sedih, karena saya belum pernah melihat semangat dan rasa pengabdian seperti itu di kalangan muslim.

Seperti biasa, komentar Usamah tentang “pihak lain” tak pernah memberikan ungkapan pujian. Dia kemudian melanjutkan dengan kisah tentang para sufi yang tingkat pengabdiannya jauh melebihi para pendeta Kristen itu:

Saat itu saya berpikir bahwa tak ada orang di sana. Kemudian saya melihat sekitar seratus orang sufi di atas sajadahnya masing-masing. Wajah mereka kelihatan tenang dan damai, serta badan mereka tunduk dalam rasa pengabdian. Ini adalah pemandangan yang menenteramkan hati, dan saya bersyukur ke hadirat Tuhan Yang mahakuasa ternyata di kalangan umat Muslim terdapat orang-orang yang semangat pengabdiannya melebihi para pendeta Kristen. Sebelum peristiwa ini saya belum pernah menyaksikan orang-orang sufi di tempat ibadah mereka, dan saya juga tidak tahu tentang cara hidup mereka.

Sekali lagi, Usamah tidak bisa melawan godaan untuk menyajikan sebuah perbandingan cerita yang menyudutkan Kristen dan semakin menegaskan keunggulan Islam.

Baca juga:  Ijab-kabul Pernikahan di Jawa Era Sultan Agung

Sedikit diragukan bahwa, setidaknya pada masa Saladin, kaum muslim mengetahui bahwa kaum Frank sedang melangsungkan perang keagamaan sebagaimana mereka. Seperti ditulis oleh Ibnu Syaddad, “Masing-masing pihak mempersembahkan hidupnya untuk kebahagiaan di Hari Akhirat, lebih menyukai kehidupan kekal daripada kehidupan fana di dunia ini.”

Al-Qalqasyandi, dengan mengutip sepucuk surat yang bertanda 1190, berbicara tentang kaum Frank, “Setiap orang menyerukan [jihad] kepada diri mereka sendiri sebelum mereka diseru.”

Sejarawan Paul M. Cobb dalam bukunya The Rise for Paradise: An Islamic History of the Crusades (2014), menjelaskan bahwa saat kaum Frank pertama kali tiba di Timur Tengah, sangatlah jelas bahwa kaum muslim tidak cukup tahu mengapa kaum Frank itu datang. Sebagaimana telah kita ketahui, beberapa elemen visual yang dapat dengan jelas dikenali dan diasosiasikan dengan kaum Frank sering kali disebutkan dalam pelbagai sumber, seperti salib, Injil, dan pendeta. Perlahan, pengetahuan muslim tentang pandangan kaum Frank itu bertambah dan semakin didasarkan pada informasi yang mendalam.

Pada saat Saladin merebut kembali kota Yerusalem, persepsi kaum Frank tentang konflik itu oleh para penulis Muslim digunakan sebagai panduan dalam propaganda mereka pada dekade 1180-an. Sebuah teks yang disebut sebagai surat dari Richard si Hati Singa untuk Salahudin dicatat oleh Ibnu Syaddad;

Satu-satunya pokok pembicaraan di sini adalah perihal Yerusalem, Salib, dan Tanah Suci. Berkelindan dengan Yerusalem, kami percaya bahwa kami tidak akan pernah menyerah hingga titik darah penghabisan. Tentang Tanah Suci, nanti bukan dikembalikan kepada kami, dari sini hingga ke Yordania. Menyangkut Salib, menurut anda itu hanya sepotong kayu tak bernilai. Bagi kami, itu bermakna penting. Karena itu, biarkan Sultan dengan elegan mengembalikannya kepada kami dan kami akan merasa tenang dan akan beristirahat dari kerja keras kami yang tiada henti ini (‘Ulwan, 2002).

Kaum muslim yang melakukan propaganda menyatakan bahwa kaum Frank memiliki semangat keagamaan yang sejati. Pada 585 H./1190 M., ‘Imaduddin mengutip sepucuk surat yang ditulis untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslim. Di situ dia menulis, bahwa semangat keagamaan kaum Frank patut dicontoh untuk menghidupkan kembali semangat moral umat muslim. Dia memuji mereka karena dapat menyadari tujuan-tujuan mereka, memperlihatkan keberanian yang luar biasa, dan mengorbankan harta mereka demi agama:

Di negeri dan tanah-tanah mereka masih belum ada raja, penguasa atau orang mulia. Namun kerja keras dan upaya mereka belum bisa dilampaui oleh kelompok-kelompok masyarakat di sekitar mereka. Mereka tidak memperhitungkan pengorbanan yang mereka lakukan, baik darah atau hidup mereka, demi melindungi agama mereka …. Mereka berbuat apa yang mereka perbuat, mengorbankan apa yang bisa mereka korbankan, benar-benar semata demi membela sosok yang mereka sembah dan untuk menghormati kepercayaan mereka (‘Ulwan, 2002).

Ketika kaum muslim berhasil merampas “Salib Sejati” pada 583 H./1187 M., mereka bisa memahami peran penting salib itu bagi kaum Frank–setidaknya oleh orang-orang tertentu seperti al-Qadhi al-Fadhil dan ‘Imaduddin berkata, “Mereka bertempur di bawah Salib itu dengan lebih gigih dan penuh loyalitas dan mereka melihatnya sebagai sebuah perjanjian yang mereka pegang teguh dengan penuh keyakinan.”

Arkian, kebanyakan umat muslim yang tidak tinggal dekat perlintasan gerakan para prajurit era “Perang Suci” (1095-1272 M) ini atau yang tidak terlibat dalam perjuangan militer, pada umumnya tidak tahu tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Pada waktu terjadinya, Perang-perang Salib tidaklah dipandang umat muslim sebagai sebuah “peristiwa peradaban”, sebagaimana waktu itu dilihat oleh orang-orang Eropa, atau oleh pemikiran zaman kiwari.

Sungguh, bahkan bagi orang-orang muslim yang mengalami pertempuran terus-menerus untuk menguasai Pantai Levant, para prajurit Perang Salib, atau “orang-orang Frank” sebagaimana mereka dikenal, menurut sejarawan Karen Armstrong dalam karyanya Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World (1988), sering kali dianggap sebagai sekadar varian dari banyak prajurit bayaran Bizantium atau gerombolan-gerombolan etnis yang secara berkala dipaksa untuk berdinas militer oleh Kekaisaran Bizantium.

Dan, pada periode ini pulalah kata “Frank” secara luas diserap ke dalam Dunia Islam untuk merujuk kepada semua orang Eropa. Kata “firengi” atau “faranji” masih merupakan kata yang hampir bernuansa slang, yang berlaku universal di seluruh Asia-Muslim untuk merujuk segala macam orang asing dari Barat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top